BAB I
PENDAHULUAN
Sering
terngiang dalam telinga kita sebuah ungkapan “filsafat”, dan setiap kita
mendengarnya pasti akal kita akan langsung tertuju dengan nama-nama top
dibidang itu, seperti Plato, Aristo dan ashhab-ashhabnya. Ironisnya mereka
bukanlah dari golongan kita komunitas muslim. Sehingga bagi mereka yang tidak
mau memahami secara mendalam, dan tidak mau menelusuri secara tuntas akan
berfikir negatif.
Karena
itu perlu kiranya kita mengetahui bahwa dalam rana islam juga mempunyai
pendekar-pendekar hebat dalam bidang ini, seperti yang ta’ asing lagi ditelinga
kita, adalah Abu Hamid ibn Ahmad ibn Ahmad Al-Ghozali, disamping seorang sufi,
ternyata beliau juga sangat hebat dalam bidang filsafat, ada lagi Al-Kindi,
Al-Farabi, dan Ar-Rozi mereka semua adalah ahli filsafat dalam rana islam.
Dalam
makalah ini akan kami bahas tentang tokoh filsafat islam yang terakhir, yaitu
Ar-Rozi beliau adalah seorang dokter dan juga ahli filsafat. Bagaimana riwayat
hidup beliau, apa saja yang menjadi buah karyanya, pandangannya tentang moral dan
juga bagaimana metafisika menurut Ar-Rozi.
BAB II
PEMBAHASAN
I. RIWAYAT
HIDUP
Ar-Rozi dilahirkan di
Ravy, di propinsi Khurasan, menurut sebagian versi adalah seorang penukar uang
sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran. Ia memperoleh reputasi yang baik
dalam bidang kedokteran, sehingga ia diangkat menjadi kepala rumah sakit di
kota asalnya dalam usia kira-kira 30 tahunan. Kemudian mengambil alih
kepemimpinan rumah sakit di bagdad. Beliau meninggal kira-kira pada tahun 925.[1]
II. KARYA-KARYA
Sebagai seorang
filosof, Ar-Rozi banyak mengarang buku fisika di bidang ilmu filsafat maupun di
bidang ilmiah. Ia sendiri mengaku dalam sebuah autobiografis bahwa ia telah
menyusun tidak kurang 200 karya tentang semua bidang pengetahuan fisika dan
metafisika, kecuali matematika, karena suatu alasan yang tidak diketahui. Ia
juga mengarang tentang medis, yaitu Al-Hawi yang terkenal dengan nama Al-Jami’,
yaitu sebuah buku tentang ikhtisar ilmu kedokteran, yang diterjemahkan dalam
bahasa latin pada tahun 1279 dengan Continens dan beredar luas di lingkungan
ilmu kedokteran sampai abad ke 16. Namun sayang sekali, karya beliau yang
begitu banyak yang sampai pada kita hanya beberapa saja, sebagaimana akan kami
sebutkan di bawah ini :
1. Sekumpulan
risalah logika berkenaan dengan kategori-kategori, demostrasi, isagoge, dengan
logika seperti yang dinyatakan dalam ungkapan kalam islam.
2. Sekumpulan
risalah metafisika pada umumnya.
3. Materi
muthlak dan partikular.
4. Plenum
dan vacum, ruang dan waktu.
5. Fisika
6. Bahwa
dunia mempunyai pencipta yang bijaksana.
7. Tentang
keabadian dan tidak keabadian Tuhan. Dan lain sebagainya yang kurang lebih ada
19 judul.[2]
III.
PANDANGAN
TENTANG MORAL
Dalam
bukunya “ al-Tibb al-Ruhani dan Sirat al-Falasifah”, menurut beliau, dalam
hidup ini kita jangan terlalu zuhud tetapi jangan terlalu tamak. Yang paling
baik adalah yang moderat. Artinya jangan terlalu mengumbar nafsu tetapi jangan
terlalu pula membunuh nafsu. Segala sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan
saja.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, ia membuat dua batas. Pertama batas tertinggi, yaitu
menjahui kesenangan yang hanya dapat diperoleh dengan jalan menyakiti orang
lain ataupun bertentangan dengan rasio. Kedua batas terendah, ialah menemukan
apa yang tidak merusak atau menyebabkan penyakit dan berpakaian sekadar untuk
menutup tubuh.
Risalah
etika Ar-Rozi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Physic),
merupakan sebuah penjelasan yang terpercaya mengenai ajaran Plato tentang jiwa
yang mempunyai tiga bagian seperti yang dikemukakan dalam Republik, dan senam (
yang ia sebut “obat pencahar rohani”) di satu pihak, dan senam (yang ia sebut
“obat pencahar”) dipihak lain, untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan yang
menurut ajaran Plato merupakan tanda lurusnya moral spiritual jiwa.[3]
IV. METAFISIKA
MENURUT AR-ROZI
Menurut Al-Biruni, persoalan metafisika yang
digarap Ar-Rozi itu tidak lain hanyalah merupakan penjiplakan dari filsafat
Yunani Kuno. Problem utamanya adalah tentang adanyalima prinsip yang kekal.
Lima prinsip yang kekal yang merupakan pokok metafisika Ar-Rozi adalah materi,
ruang, waktu, jiwa dan pencipta (Bari, Demiurgus). Keabadian materi yang sedang
“dalam pembentukan”, menyratkan (adanya) bukan saja seorng pencipta yang telah
mendahuluinya, tetapi juga sebuah substantun atau materi di mana tindakan itu
melekat. Selain itu, konsep yang sebenarnya dari ex nihilo tidak dapat
dipertahankan secara logis, karena jika Tuhan telah mampu menciptakan sesuatu
dari tiada, karena hal ini merupakan modus pembuatan yang paling sederhana dan
paling tepat. Tetapi karena tidak demikian halnya, maka dunia haruslah
dikatakan telah diciptakan dari materi tanpa bentuk, yang telah mendahuluinya
sejak semula.
Materi memerlukan sebuah locus tempat ia
tinggal, dan locus ini adalah prinsip yang kedua, ruang. Ruang dipahami oleh
Ar-Rozi sebagai konsep abstrak, yang berbeda dengan “tempat” (tonos)
Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari tubuh. Akibatnya, ia
menarik garis perbedaan antara tempat atau ruang universal dan partikular.
Tempat (ruang) universal sama sekali berbeda dengan tubuh, sehungga konsep
tubuh yang menempatinyatidak perlu masuk dalam definisinya, seperti yang
implisit dalam konsep ruang Aristoteles, atau “batas tubuh yang paling dalam
yang terkandung di dalamnya”, dan dengan cara ini kemungkinan (adanya) yang
kosong dipertahankan secara logis.[4]
Kekekalan dua prinsip yang lain, sang
pencipta dan jiwa, dalam sistem Ar-Rozi dikaitkan erat dengan usaha yang berani
untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran pencipta dunia,
yang telah begitu mengganggu (pikiran) para filosof sejak zaman Plato.
Persoalan yang ia gumuli bukan apakah dunia ini diciptakan atau tidak (karena,
seperti Plato, ia percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang abadi), melainkan
masalah yang lebih rumit yang terus membahana lewat risalah-risalah polemik
teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Kristen. Apakah Tuhan menciptakan
dunia, seperti yang dikatakan kaum Skolastik Latin kemudian, melalui suatu
“kemestian lama (necessity of nature), atau melalui sebuah tindakan kehendak
bebas?. Jika “kemestian alam” yang dituntut, katanya, maka konsekuensi logisnya
adalah bahwa Tuhan, yang menciptakan dunia dalam waktu, berbeda dalam waktu itu
sendiri karena suatu produk alamiah harus terjadi secara niscaya atas pelaku
alamiahnya dalam waktu. Di pihak lain jika tindakan kehendak bebaslah yang akan
dijadikan jawaban, maka pertanyaan lain akan muncul : “mengapa Tuhan lebih suka
menciptakan dunia dalam waktu partikular ketimbang dalam (cara) yang lainnya.
Jawaban yang diajukan Ar-Rozi menunjukan
dengan jelas unsur-unsur Platonik dan Neo-Platonik baik dalam pemikiran maupun
kecerdasannya untuk dapat memasukkan lima prinsip yang kekal kedala sebuah
sistem metafisika yang koheren. Jiwa, seperti yang telah kita lihat, bersifat
sama-sam kekal dengan Tuhan, materi, dan waktu.[5]
Pemikiran Ar-Rozi tentang kelima
postulat kemudian dijadikan dasar dalam wujud alam. Artinya alam itu baru akan
terwujud bila kelima postulat tersebut ada. Adapun penjabaran darikelima
postulat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tuhan
Menurut
Ar-Rozi Tuhan itu Maha Bijaksana. Ia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini
keluar dari-Nya sebagai sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta
egala sesuatu. Kekuasaan-Nya tidak ada yang menyamai. Ia mengetahui segala
sesuatu dengan sempurna. Pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia.
Sebab pengetahuan manusia dibatasi oleh pengalaman. Sedangkan pengetahuan Tuhan
tidak dibatasi oleh pengalaman.
b. Jiwa
Universal
Alam
ini diciptakan Tuhan dengan suatu tujuan. Semula Ia tidak berkehendak untuk
menciptakannya, namun kemudian kehendak itu ada. Kalau demikian tentu ada yang
mendorongnya. Sudah barang tentu pendorong itu sendiri harus abadi bisa
merupakan sebab dari yang hidup tetapi dungu. Karena menyadari kebodohannya
jiwa tertarik pada benda agar dapat memperoleh kesenangan material. Melihat
jiwa yang demikian ini.[6]
Menurut Ar-Rozi dunia yang sesungguhnya
itu dapat dapat dicapai dengan filsafat. Oleh karena itu siapa yang belajar
filsafat akan mengerti dunia yang sebenarnya serta memperoleh pengetahuan
selamanya akan tetap berada di dunia sebelum disadarkan oleh filsafat.
c. Benda
Benda pertama terdiri dari atom-atom.
Masing-masing atom tadi memiliki volume. Tanpa penggabungan dari atom-atom tadi
tidak akan ada sesuatu yang terwujud. Karenanya sulitlah untuk membayangkan
adanya creatio ex nihilo. Atom-atom sifat sendiri bila padat ia akan menjadi
tanah, kalau kurang padat akan menjadi air. Bila lebih jarang akan menjadi
udara dan akhirnya kalau paling jarang akan menjadi api.
Sebenarnya teori Ar-Rozi ini (tentang
benda) merupakan penggabungan antara teori Demokratis dan teori Empedokles.
Selanjutnya Ar-Rozi mengatakan bahwa bila tidak ada di dunia ini sesuatu yang
berasal kecuali dari benda lain, maka semestinya alam ini berasal dari sesuatu
yang lain. Dan sesuatu yang lain itu adalah benda. Jadi benda itu abadi, pada
mulanya ia tidak terbentuk tetapi terpancar di mana-mana.
d. Ruang
Absolut
Oleh karena materi yang pertama itu
kekal, maka membutuhkan ruang yang sifatnya kekal juga, sebab tidak mungkin
kekal itu berada di dalam yang nisbi. Menurut Ar-Rozi ruang ada dua macam;
yaitu ruang absolut dan ruang relatif. Ruang absolut tidak menggantungkan
wujudnya pada alam maupun benda-benda yang membutuhkan ruang. Sebaliknya setiap
ruang mesti diisi benda, ruang ini disebut ruang relatif.
e. Masa
Absolut
Menurut Ar-Rozi waktupun dibagi
menjadi dua macam, yaitu waktu absolut dan waktu yang terbatas. Waktu absolut
ialah perputaran waktu, sifatnya bergerak dan kekal. Waktu yang terbatas adalah
waktu yang diukur berdasarkan dan pergerakan bumi, matahari dan
bintang-bintang.[7]
Harus dikemukakan segera bahwa Ar-Rozi
tidak mengajukan pembuktian apapun tentang kekekalan pencipta maupun jiwa.
Cukup jelas Ia mempercayai bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan sifat
sementara, berbeda dengan Plato yang mempunyai anggapan bahwa dunia diciptakan
tetapi bersifat abadi. Oleh karena itukeabadian jiwa dan pencipta harus
dinyatakan telah diajukan oleh Ar-Rozi, sama dengan Plato, sebagai sebuah
pernyataan aksiomatik. Tidak saja keabadian jiwa , baik a parte ante maupun a
parte post, tetapi juga pernah filsafat sebagai satu-satunya jalan ke arah penyucian
jiwa dan pelepasannya dari belenggu tubuh, mencerminkan pengaruh
Platonik-Pythagorean yang cukup kentara, yang bertentangan dengan konsep islam
tentang wahyu dan konsep kenabian.
Sebenarnya karena keinginannya untuk
menyesuaikan diri sepenihnya dengan premis rasionalistiknya, Ar-Rozi telah
menolak secara terang-terangan konsep wahyu dan peranan nabi sebagai mediator
antara Tuhan dan manusia. Menurut hematnya kenabian itu tidak berguna, karena
cahaya akal yang diberikan Tuhan cukup memadai untuk mengetahui kebenaran, dan
juga menjijikkan, karena ia telah menjadi penyebab dari begitu banyak
pertumpahan darah dan peperangan antara suatu bangsa (mungkin, orang-orang
Arab) yang menyakini dirinya dianugerahi wahyu illahi dan yang lain sebagai
orang-orang yang kurang beruntung.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
1. Ar-Rozi
adalah ahli filsafat Islam dan juga seorang dokter
2. Bukunya
yang paling besar adalah “Al-Hawi” yang lebih dikenal dengan nama “Al-Jami.”
Yaitu buku yang mengkupas tentang ilmu kedokteran.
3. Besar
kemungkinan bahwa inspirasi pemikiran metafisikanya pada hakekatnya adalah
Platonik dan tulisan-tulisan etikanya pada dasarnya adalah diilhami oleh
gagasan-gagasan moralitas Sokratik.
4. Ar-Rozi
berbeda dengan Plato dalam penyifatan dunia diciptakan.
II.
PESAN
1. Memang
semua ilmu yang bisa mengantarkan kita bisa mendekatkan diri pada Sang Pencipta
alam raya ini, boleh kita pelajari bahkan bisa wajib, tetapi bila kita
memahaminya separu-separu, bukan hal yang mustahil kita akan terjerumus dengan
keterbatasan akal kita.
2. Kita
harus tau benar mana ajaran dari filosofi islam yang sesuai dengan ajaran yang
telah kita ketahui, sehingga kita bisa mawas diri dari hal-hal yang dilarang
oleh syari’at.
3. Filsafat
disatu sisi bisa bermanfa’at, disisi yang lain bisa juga membawa madlorot bagi
pemiliknya.
4. Selalu
berpegang teguh pada ajaran orang-orang yang kridibilatas dan kualitas dhohir
bathinnya tidak diragukan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Majid Fakri;
Sejarah Filsafat Islam;
Sudarsono; filsafat
islam Rineka Cipta; 2004.
[1] Sudarsono; filsafat
islam; hal. 54. Rineka Cipta; 2004. & Majid Fakri; Sejarah Filsafat Islam;
hal. 150.