Ditulis
dalam rangka untuk mencancel pendapat Hti yang mengatasnamakan Syariat Islam
harus diterapkan secara penuh di Negeri tercinta ini.
Menurut Montgomery Watt (1988) dan
Bernard Lewis (1994) Piagam Madinah (Mistaq al-Madinah) merupakan cikal bakal terbentuknya
Negara Nasional (nation-state) dan menempatkan Nabi Muhammad Saw tidak sekedar
sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin Negara. Oleh karena itu
para Kiai beranggapan bahwa nasionalisme terkait dengan teks Piagam Madinah
yang ada 47 pasal tersebut[1].
Nasinalisme dalam prespektif khazanah
Islam klasiksebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama penduduk madinah. Pada waktu itu, Madinah tidak hanya dihuni
oleh umat Islam saja, akan tetapi juga dihuni oleh golongan selain Islam,
seperti Yahudi, Nasrani, dan bahkan mereka yang masih menyembah berhala
(musyrikin), serta meeka yg mempunyai kepercayaan lainnya, seperti penyembah
api (majusi). Dari kemajmukan komunitas yang ada di Madinah waktu itu, di
satukan oleh Nabi dengan Piagam Madinah. Tidak dengan sentimen agama atau
kepercayaan, akan tetapi mereka disatukan dengan sentiman kepemilikan bersama,
yakni bagaimana mempertahankan mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang
datang dari luar apapun ancamannya.
Lebih lanjut, perlu dikemukakan bahwa
para kiai dalam wacana ini berpendapat : Penyatuan yang dilakukan oleh Nabi
dengan Piagam Madinah bukanlah Agamanya, artinya mereka yang tidak beragama Islam
tidak dipaksa untuk masuk Islam, tetapi yang lebih penting adalah digugah rasa
kepemilikannya terhadap kota Madinah sebagai tempat tinggal bersama, dan
jaminan perlindungan bagi semua warganya. Dalam hal ini para kiai menyatakan
ada beberapa Hadis yang mendasari pendapat mereka. Seperti yang disampaikan
oleh KH. Yasri Marzuki dan KH. Misbah Abrar menyatakan :
“Ada sebuah Hadits yang menerangkan
bahwa Nabi Muhammad Saw. Tidak rela terhadap siapa pun yang menganiaya orang
kafir Madinah, jika terkait dalam perlindugan perjajian ini”
Dalam pembentukan Piagam Madinah,
ternyata ada semangat untuk tidak hanya
melindungi umat Islam, tetapi juga menyelamatkan Madinah sebagai tempat di mana
umat Islam dan Pemeluk agama lainnya hidup secara ko-eksistensi. Semangat
tersebut tampak dari adanya keingin untuk menjaga dan menyelamatkan Madinah
dari berbagai serangan oorang luar,, terutama kauum Quraisy Makkah. Oleh karena
itu, realitas sosial yang mengemuka di dalam Piagam Madinah adalah pengakuan
adanya pluralitas di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yaknii adanya
variasi agama, keyakinan, kabillahh dan latar belakang kehidupan. Itulah
sebabnya para kiaimengaakan Piagam
Madinah bukan sebagai perjanjian agama, melainkan merupakan “kontrak
sosial-kebangsaan” yang menyangkut aspek hubungan antara umat manusia di dunia
(mu’amalah dunyawiyah) tanpa melihat agama, suku, dan kabilah-kabilahnya.
Dengan paparan diatas bisa kita
simpulkan bahwa kebersamaan dalam Islam sangat dianjurkan, sebagaimana yang
telah di contohkan oleh beliau Nabi Saw dalam Piagam Madinah tersebut. Beliau
memberi kebebasan beragama terhadap komunitas non Islam di Madinah itu, tanpa
memaksakan ajaran Islam pada mereka, bahkan nyawa mereka dijamin keselamatannya
oleh Nabi. Karena bilawaktu bitu Islam secara penuh diterapkan, maka akan
terjadi kekacauan antara beberapa komunitas di Madinah yang semula memang sudah
bertikai.
Apakah mereka yang mangaku mau
menegakkan syaiat Islam harus menerapkan hukum Islam secara paksa...? tanpa
melihat kemajmukan komunitas yang ada...? padahal ajaran syariat keseharian
mereka saja banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Saw...? apakah kita
rela kesatuan ini di lalu lantahkan oleh mereka....? saya kira jawaban yang
tepat adalah TIDAK. Dengan beberapa alasan yang mendasar :
- Karena Islam adalah Agama yang rahmat, penuh kasih sayang, tidak suka kekerasan. Dan dalil tentang hal ini sangat banyak dan sudah sering kali disampaikan oleh para mubaligh.
- Penerapan Hukum Islam dalam Negara ini akan menimbulkan kekacauan, bahkan perang saudara akan muncul, sehingga tidak relevan bila itu diterapkan. Karena mencegah madlorot / kerusakan yang lebih besar itu lebih diperioritaskan dari pada mewujudkan suatu maslahah / kebaikan yang masih spekulatif.
- Dasar Negara tercinta ini sudah tidak melanggar ketentuan syari’at, bila kita pahami secara mendalam apa yang terdapat dalam butir-butir Pancasila sebaga filosofi Negara sangat pas dengan ajaran Islam yang cinta damai dan sangat membenci kekacauan.
- Khilafah Islamiyah atau Daulah Islamiyah tidak ada dasar yang autentik dari Al-Qur’an / Al-Hadits, kalau to ada seperti yang disampaikan oleh sebuah komunitas, itu hanya interpretasi dari mmereka yang ngawur dan tidak berdasar pada teori-teori tafsir yang diajarkan oleh ulama’ salaf terdahulu. Hanya sebuah manipulasi dalil untuk memenuhi kepentingan komunitas mereka.
- Tidak kah cukup ajaran Nabi Saw dalam Piagam Madinah sebagai bukti bahwa kesatuan, kebersamaan lebih diperioritaskan dari pada penerapan hukum Islam secara penuh. Ini sesuai dengan tujuan dari NKRI. Yaitu negara kesatuan yang terdiri dari beberapa daerah yang telah diakui sebagai daerah kekuasaan Negara.
[1]
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007,
Hal. 241
________________________
By : Lesmana Achmad El Hadie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar