Kamis, 15 Maret 2012

KESESUAIAN PIAGAM MADINAH DENGAN NKRI


Ditulis dalam rangka untuk mencancel pendapat Hti yang mengatasnamakan Syariat Islam harus diterapkan secara penuh di Negeri tercinta ini.
Menurut Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994) Piagam Madinah (Mistaq  al-Madinah) merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Nasional (nation-state) dan menempatkan Nabi Muhammad Saw tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin Negara. Oleh karena itu para Kiai beranggapan bahwa nasionalisme terkait dengan teks Piagam Madinah yang ada 47 pasal tersebut[1].
Nasinalisme dalam prespektif khazanah Islam klasiksebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama penduduk madinah.  Pada waktu itu, Madinah tidak hanya dihuni oleh umat Islam saja, akan tetapi juga dihuni oleh golongan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, dan bahkan mereka yang masih menyembah berhala (musyrikin), serta meeka yg mempunyai kepercayaan lainnya, seperti penyembah api (majusi). Dari kemajmukan komunitas yang ada di Madinah waktu itu, di satukan oleh Nabi dengan Piagam Madinah. Tidak dengan sentimen agama atau kepercayaan, akan tetapi mereka disatukan dengan sentiman kepemilikan bersama, yakni bagaimana mempertahankan mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar apapun ancamannya.
Lebih lanjut, perlu dikemukakan bahwa para kiai dalam wacana ini berpendapat : Penyatuan yang dilakukan oleh Nabi dengan Piagam Madinah bukanlah Agamanya, artinya mereka yang tidak beragama Islam tidak dipaksa untuk masuk Islam, tetapi yang lebih penting adalah digugah rasa kepemilikannya terhadap kota Madinah sebagai tempat tinggal bersama, dan jaminan perlindungan bagi semua warganya. Dalam hal ini para kiai menyatakan ada beberapa Hadis yang mendasari pendapat mereka. Seperti yang disampaikan oleh KH. Yasri Marzuki dan KH. Misbah Abrar menyatakan :
“Ada sebuah Hadits yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Tidak rela terhadap siapa pun yang menganiaya orang kafir Madinah, jika terkait dalam perlindugan perjajian ini”
Dalam pembentukan Piagam Madinah, ternyata  ada semangat untuk tidak hanya melindungi umat Islam, tetapi juga menyelamatkan Madinah sebagai tempat di mana umat Islam dan Pemeluk agama lainnya hidup secara ko-eksistensi. Semangat tersebut tampak dari adanya keingin untuk menjaga dan menyelamatkan Madinah dari berbagai serangan oorang luar,, terutama kauum Quraisy Makkah. Oleh karena itu, realitas sosial yang mengemuka di dalam Piagam Madinah adalah pengakuan adanya pluralitas di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yaknii adanya variasi agama, keyakinan, kabillahh dan latar belakang kehidupan. Itulah sebabnya para kiaimengaakan  Piagam Madinah bukan sebagai perjanjian agama, melainkan merupakan “kontrak sosial-kebangsaan” yang menyangkut aspek hubungan antara umat manusia di dunia (mu’amalah dunyawiyah) tanpa melihat agama, suku, dan kabilah-kabilahnya.
Dengan paparan diatas bisa kita simpulkan bahwa kebersamaan dalam Islam sangat dianjurkan, sebagaimana yang telah di contohkan oleh beliau Nabi Saw dalam Piagam Madinah tersebut. Beliau memberi kebebasan beragama terhadap komunitas non Islam di Madinah itu, tanpa memaksakan ajaran Islam pada mereka, bahkan nyawa mereka dijamin keselamatannya oleh Nabi. Karena bilawaktu bitu Islam secara penuh diterapkan, maka akan terjadi kekacauan antara beberapa komunitas di Madinah yang semula memang sudah bertikai.
Apakah mereka yang mangaku mau menegakkan syaiat Islam harus menerapkan hukum Islam secara paksa...? tanpa melihat kemajmukan komunitas yang ada...? padahal ajaran syariat keseharian mereka saja banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Saw...? apakah kita rela kesatuan ini di lalu lantahkan oleh mereka....? saya kira jawaban yang tepat adalah TIDAK. Dengan beberapa alasan yang mendasar :
  1. Karena Islam adalah Agama yang rahmat, penuh kasih sayang, tidak suka kekerasan. Dan dalil tentang hal ini sangat banyak dan sudah sering kali disampaikan oleh para mubaligh.
  2. Penerapan Hukum Islam dalam Negara ini akan menimbulkan kekacauan, bahkan perang saudara akan muncul, sehingga tidak relevan bila itu diterapkan. Karena mencegah madlorot / kerusakan yang lebih besar itu lebih diperioritaskan dari pada mewujudkan suatu maslahah / kebaikan yang masih spekulatif.
  3. Dasar Negara tercinta ini sudah tidak melanggar ketentuan syari’at, bila kita pahami secara mendalam apa yang terdapat dalam butir-butir Pancasila sebaga filosofi Negara sangat pas dengan ajaran Islam yang cinta damai dan sangat membenci kekacauan.
  4. Khilafah Islamiyah atau Daulah Islamiyah tidak ada dasar yang autentik dari Al-Qur’an / Al-Hadits, kalau to ada seperti yang disampaikan oleh sebuah komunitas, itu hanya interpretasi dari mmereka yang ngawur dan tidak berdasar pada teori-teori tafsir yang diajarkan oleh ulama’ salaf terdahulu. Hanya sebuah manipulasi dalil untuk memenuhi kepentingan komunitas mereka.
  5. Tidak kah cukup ajaran Nabi Saw dalam Piagam Madinah sebagai bukti bahwa kesatuan, kebersamaan lebih diperioritaskan dari pada penerapan hukum Islam secara penuh. Ini sesuai dengan tujuan dari NKRI. Yaitu negara kesatuan yang terdiri dari beberapa daerah yang telah diakui sebagai daerah kekuasaan Negara.


[1] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007, Hal. 241
________________________


By : Lesmana Achmad El Hadie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar