BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah wahyu
yang Agung, peraturan untuk semua umat di dunia ini, sehingga sangat kerdil
bagi orang yang menganggap cukup memahami Al-Qur’an hanya dengan terjemahan
saja, Karena lafadz-lafadz didalam Al-Qur’an sangatlah multi tafsir. Dan Al-Qur’an akan selalu
relevan dengan zaman, apapun zamannya.
Untuk memahami
Al-Qur’an dengan baik dan benar, salah satunya adalah dengan menggunakan Ilmu
Ushul Fiqh, ilmu ini adalah ilmu para Imam Mujtahid untuk merumuskan sebuah
hukum yang digali dari Al-Qur’an, Hadits dan dari sumber-sumber yang legal
menurut Syara’.
Dalam makalah ini akan
membahas tentang dalil dzohir dan dalil muawwal yang merupakan bab
atau pembahasan yang terdapat di dalam ilmu Ushul Fiqih. Yaitu akan membahas
sebagaimana tertera dalam rumusan masalah.
RUMUSAN MASALAH
- Devinisi dalil Dzohir
- Hukum amal dengan lafadz Dzohir
- Devinisi dalil yang di-Ta’wil atau muawwal
- Klasifikasi Penggunaan kata Ta’wil
- Perbedaan Ta’wil dan tafsir
- Dalil-dalil Ta’wil
- Bentuk-bentuk dalil yang di-Ta’wil atau Wuawwal
- Contoh-contoh Lafadz yang Dzohir
BAB II
PEMBAHASAN
I.
DEVINISI AD-DZOHIR
Secara etimology adalah
jelas, sedangkan secara terminology, menurut Ibnu Al-Hajib adalah suatu lafadz
yang menunjukkan dilalah dzonniyah, adakalanya diunggulkan dengan ma’na
lughot, seperti lafadz الاسد ma’na yang diungulkan adalah hewan yang bertaring, sedangkan
ma’na yang dikalahkan adalah laki-laki pemberani. Adakalanya diunggulkan dengan
ma’na Syar’i, seperti sholat yaitu suatu pekerjaan yang terdapat rukuk dan
sujud, mengalahkan mana do’a. Ada juga diunggulkan dengan ma’na ‘Urf, seperti
lafadz الغائط yaitu tempat buang hajat, yang sebenarnya lafadz itu adalah
isim fail yang berma’na pelaku pekerjaan buang hajat, namun ma’na yang
diunggulkan adalah tempat buang hajat yang diadopsi dari ‘Urf.[1]
Ada juga yang
mengartikan Dzohir adalah sebuah lafadz yang memuat dua ma’na yang salah
satunya lebih jelas dari pada ma’na yang lain. Seperti contoh perkataan : “Hari
ini Aku melihat asad” kata asad dalam ungkapan itu berma’na
dzohir hewan yang bertaring[2].
Namun ada juga yang mengatakan bahwa Dzohir adalah lafadz yang
menunjukkan ma’na yang jelas.
Imam As-Syasyi
mengartikan Dzohir adalah sebuah kalam yang maksud kalam itu bisa
dimengerti oleh orang yang mendengarkan (As-sami’) dengan hanya mendengarkan
saja tanpa berangan-angan.[3]
Sedangkan Wahbah Zuhaili mengartikan dzohir adalah dalil yang punya arti
sendiri, akan tetapi orientasinya bukanlah apa yang tersurat dari dalil itu,
karena bisa di ta’wil.[4]
Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف
المراد منه السامع بنفس من غير تامل
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari
pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.”
Dari definisi tersebut tampak jelas
bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi
bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu
tetap mempunyai kemungkinan lain.
II.
HUKUM AMAL
DENGAN LAFADZ DZOHIR
Hukum dalil yang Dzohir adalah wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik dalam
dalil yang umum atau pun khusus.[5]
Imam Abi Bakar Muhammad ibnu Ahmad as-Sarakhosi dalam membahas hukum amal muawwal
mengatakan : “hukum amal terhadap dalil muawwal adalah wajib dengan
mempertimbangkan wajib amal dengan dalil yang dzohir”.[6]
III.
DEVINISIS DALIL
YANG DI TA’WIL atau WUAWWAL
Setelah kita mengetahui
devinisi dzohir, maka akan dijelaskan juga devinisi ta’wil. Baik
secara etimologi ataupun termenologinya. Secara etimologi, kata ta'wil
berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ أَوْلٌ (الأَوْلُ artinya adalah الرجوع (kembali),[7]
dan العاقبة
(akibat atau pahala),[8]
seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59 : ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
artinya: “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” dan
hadits من صام الدهر فلا صام ولا آل Artinya: “Barangsiapa
yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada
balasannya.”
Sedangkan Ta’wil
secara termenologi para ulama terdapat perbedaan dalam mendevinisikannya.
Antara lain: menurut Ibnu Manzhur, ada dua pengertian ta'wil secara
istilah dalam Lisan Al-Arab; Pertama,
ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil
adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain
karena ada dalil.[9]
Al-Jurjani dalam kamus
istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil
secara istilah bermakna mengalihkan lafadz dari maknanya yang zhahir
kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain
itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[10]
Ibnu Al-Jawzi
dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah menyatakan bahwa, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[11]
Imam Haramain
Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud
(esoteris) dalam pandangan penta'wil".[12]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan,
"Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna
dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz dzahir".[13]
Sedangkan menurut Ibnu
Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan
bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan
sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama.
Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami'
Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian,
para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil
yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut
ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf
adalah mengalihkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah
(marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[14]
Dari beberapa devinisi
diatas dapat kita simpulkan bahwa ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim
dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu
pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh)
dengan berdasarkan dalil.
IV.
KLASIFIKASI
PENGGUNAAN KATA TA’WIL
Dari penggunaannya,
kata ta'wil dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi
tiga macam pengertian:[15]
- Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah
perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi
menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr
(perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
ü Ta'wil Amr , yaitu dengan
mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadits riwayat Aisyah Radhiyallah
'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan
sujudnya banyak membaca, سبحنك اللهم ربنا و
بحمدك اللهم اغفر لي (Maha Suci
Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).
ü Ta'wil Ikhbar, yaitu terjadinya
suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf
: 53.
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا
تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ
قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ
شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا
نَعْمَلُ
Artinya: “Tiadalah
mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada
hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang
melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul
Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan
memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga
kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”. Dalam
ayat ini, Allah
mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil
(terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
- Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang
dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa
seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan
roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ
صَبْرًا
Artinya: “Dan bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
(ta'wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
- Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya
atau ta'wil al-ahadits (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub
kepada putranya Nabi Yusuf ' As. dalam QS. Yusuf : 6.
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Artinya: “Dan
demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya
kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya
kepadamu.”
Dan perkataan Nabi Yusuf pada
Ayahandanya dalam al-Qur’an surat Yusuf: 100.
يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي
حَقًّا
Artinya: “Wahai ayahku
inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya
suatu kenyataan.”
V.
PERBEDAAN TA’WIL
DAN TAFSIR
Dari difinisi ta'wil
di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan antara
keduanya. Tafsir dalam terminologi adalah ilmu untuk memahami kitabullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, memahami maknanya, mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu,
sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul, dan
nasikh dan mansukh.
Al-Bajili mengatakan
bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta'wil berkaitan
dengan dirayah (ilmu pengetahuan). Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr
Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar
(riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari ta'wil.[16]
Ini juga merupakan pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan
bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan ta'wil untuk para fuqaha'
(ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu
dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta mereka
tidak akan berbicara tanpa ilmu.[17]
Sangat beragam pendapat
ulama’ berkaitan dengan perbedaan antara Ta’wil dan Tafsir, namun
dari beeberapa pendapat diatas bisa kita simpulkan bahwa ringkasnya, ta'wil
adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir
merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari
sebuah ayat, maka ta'wil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafadz
yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan
riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta'wil menggunakan
beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir
biasanya hanya membahas lafadz-lafadz sedangkan ta'wil membahas makna-makna.
VI.
DALIL-DALIL TA’WIL
Telah dijelaskan di
atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafadz dari makna zhahirnya (makna
rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Sehingga
Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil.
Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih,
sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[18]
Menurut para ulama, ada
bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna
marjuh) dari pada makna dzahir.
1. Nash Al-Qur'an
dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan
yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3)[19].
Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya.
Namun ada hadits bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat
tentang kambing milik Maimunah ra, yang mati yang akan dibuang, "Kenapa
kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para
sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang
diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". Hadits tersebut adalah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا
أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ
فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Artinya: “Dari Ibnu
Abbas ra, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor
kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi
wasallam lewat lalu bersabda, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya
kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi
ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai
hanyalah memakannya". (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab
sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542). Dalil dari hadits ini mengalihkan sebuah lafadz
dari makna zhahirnya.
2. Ijma'. seperti
firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Wahai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Secara dzahir ayat
ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang
merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan anak-anak yang
belum baligh.
3. Qiyas. diantara
para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak
laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq
tidak berlaku.
4. Hikmah Tasyri'
dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor
kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً
شَاةٌ).[20]
Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan dzahir
lafadz hadits dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah)
karena lafadznya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah,
boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari
mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih
bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan
keinginan syari'at.[21]
VII.
BENTUK-BENTUK DALIL YANG DI-TA’WIL
Para ulama ushul
merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila
dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan
untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para
ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith.
Dari pendalaman kajian
tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan
lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid
al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi,
atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[22]
1. Mengalihkan
lafadz dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut
takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء....ٍ
Artinya: “Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…..”. Ayat ini
berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haid, monopouse, atau
dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam surat
Al-Ahzab: 49.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian untuk
menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
Ayat ini menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah
(masa tunggu).
2. Mengalihkan
lafadz dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad),
dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد
المطلق). Seperti firman Allah
tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3. menggunakan lafazh mutlak
(muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir"
(masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145.[23]
sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3. Mengalihkan
lafadz dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah
dalam surat An-Nisa': 2.[24]
yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini
bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6.[25] yang menerangkan untuk menyerahkan
harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa.
Dengan ayat kedua tersebut,
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafadz yatim pada ayat yang pertama
bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka
baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[26]
4. Mengalihkan
lafadz dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti
perintah untuk mencatat hutang piutang dalam surat Al-Baqarah: 282.[27]
yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang
mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya surat Al-Baqarah: 283.[28]
VIII.
CONTOH-CONTOH
LAFADZ YANG DZOHIR
1. وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Dan Allah telah
menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ayat ini secara dzohir
(dengan hanya mendengar/membaca) menjelaskan legalnya jual beli dan haramnya
riba. Sedangkan bila melihat bahwa dalam ayat tersebut antara jual beli dan
riba dibedakan , maka dinamakan Nash.[29]
2. وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Melihat runtutan kalam dan dengan didengar saja sudah dapat dipahami hukum
nikah adalah boleh. Dan secara nash adalah menjelaskan jumlah istri yang
legal menurut Syara’.[30]
3. لَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Ayat ini secara nash adalah menghukumi bagi seorang suami yang
ketika dalam akad nikah tidak menyebutkan mahar, maka tetap wajib membayar
mahar kepada istrinya. Dan secara dzohir merupakan tirani bagi suami
untuk bercerai.
4. يأيها الناس
اتقوا ربكم
Artinya: “Hai manusia bertaqwalah kalian semua kepada Tuhan kalian.”
5. من ملك ذا رحم
محرم منه عتق عليه
Hadits Nabi saw ini nash menjelaskan bahwa budak yang dibeli oleh
seorang kerabat berhak untuk merdeka, dan secara dzohir tetapnya
kepemilikan terhadap budak itu bagi seorang kerabat tersebut.[31]
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
1. Dalil/Lafadz
Dzohir kejelasan
yang ditunjukkan memang dari dalil itu sendiri, sedangkan Nash
meski sama-sama jelas yang ditunjukkan, akan tetapi kalau nash tidak
muncul dari lafadz itu sendiri, melainkan melihat qorinah (indikasi) dari
runtutan kalam.
2.
Lafadz yang dzohir bisa
dita’wil dengan sebuah dalil
3.
Ta’wil lebih mendalam atau lebih
luas dibandingkan kata tafsir, karena tafsir biasanya adalah mengartikan sebuah
lafadz dari sisi bahasa. Sedangkan ta’wil adalah bisa dengan bahasa atau dengan
kontekstual sesuai dengan dalil yang dijadikan mena’wil.
4.
Bentuk-bentuk Ta’wil adalah
macam-macam pena’wilan yang terdapat didalam al-Qur’an.
II.
PESAN
1.
Dengan memahami kaidah-kaidah
perumusan hukum akan menjadikan orang semakin bijak dalam menyikapi beberapa
perkara dan tidak mudah menyalahkan hal-hal yang sebenarnya masih dianggap
benar oleh orang lain dengan argumen dan dalil yang kuat.
2.
Apa yang kami paparkan diatas semoga
bisa bermanfaat bagi diri kami sendiri khususnya, dan bagi pembaca pada
umumnya.
3.
Dan apa yang kami sampaikan diatas,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk lebih
baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Yahya Zakariyah Syaikhul Islam Al-Anshori, Ghoyatul
Wushul Syarkhu Lubbul ‘Ushul, (Al-Haromain), 2000.
Ibnu Abdullah Ibnu
Yusuf Abdul Malik Al-Juwaini, Nadzom Waroqot wa Syarkhihi fi Hamisyi
An-Nufahat, (Al-Haromain), 2006.
Ibnu Ahmad ibn sahal
Abi Bakar Muhammad as-Sarakhosi, Ushulu as-Sarkhosi, (Maktabah as-Syamilah).
Ibnu Muhammad Ibnu
Ishaq Ahmad Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Jawzi Ibnu, Al-Idhah li Qawanin
Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli), 1995.
Bin Abdullah Muhammad Az-Zarkasyi,
Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadits), 2006.
Bin Muhammad Ali Al-Jurjani,
At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah.tt).
Hamid Abu Al-Ghazali, Al-Mustasfa
Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah), 2008.
Kamal As-Sayyid
Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil, (Iran: Dar Faraqid), 2006.
Manshur Abu
Al-Maturidi, Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad), 1983.
Manzhur Ibnu, Lisan al-Arab,
(Beirut: Dar Shadir, tt).
Musthafa Sa'id Kan'an Shatat,
At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah), 2007.
Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqan fi
Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), 2008.
Taimiyah Ibnu, Al-Iklil, (maktabah
as-Syamilah).
Wahhab Abdul bin Ali
As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah),
2003.
Zuhaili Wahbah, Ushul Al-Fiqih
Al-Islami.1990.
[2]
Abdul
Malik Ibnu Abdullah Ibnu Yusuf Al-Juwaini, Nadzom Waroqot wa Syarkhihi fi
Hamisyi An-Nufahat, (Al-Haromain), 2006, hlm.90
[3]
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, Maktabah Asy-Syamilah, Vol.01, hlm.
68.
[5]
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, (Maktabah Asy-Syamilah), Vol.01, hlm.
72.
[6]
Abi Bakar Muhammad ibn
Ahmad ibn sahal as-Sarakhosi, Ushulu as-Sarkhosi, (Maktabah as-Syamilah), Vol.
1, hlm. 163.
[7]
Ibnu Manzhur, Lisan
al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi, hlm. 32.
[8]
Muhammad
bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadits),
2006. hlm.416.
[10]
Ali bin Muhammad
Al-Jurjani, Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah), 1988. hlm. 50.
[11]
Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li
Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo:
Maktabah Matbuli), 1995. hlm. 111, cet 1
[12]
Abdul Malik bin Abdullah
bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, vol. I, hlm. 511.
[14]
Ibnu Taimiyah, Al-Iklil,
(maktabah as-Syamilah), hlm. 27-28.
[15]
Ibid, hal. 28-30, dan
As-Sayyid Kamal Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah
Baina Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid), 2006. hlm.295.
[17]
Abu Manshur Al-Maturidi,
Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad), 1983. hlm.5.
[19] حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
[21]
Kan'an Musthafa Sa'id
Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, (Palestina: Jami'ah An-Najah
Al-Wathaniyah), 2007. hal. 30-33.
[22]
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul
Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr), 1986. vol.1, hlm. 314.
[25]
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ
فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا
تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ
حَسِيباً
[26]
Makna hakiki dari yatim
adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum usia baligh.
[27]
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا تَدايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كاتِبٌ
بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَما عَلَّمَهُ اللَّهُ
فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً
أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَداءِ أَنْ
تَضِلَّ إِحْداهُما فَتُذَكِّرَ إِحْداهُمَا الْأُخْرى وَلا يَأْبَ الشُّهَداءُ
إِذا ما دُعُوا وَلا تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيراً أَوْ كَبِيراً إِلى
أَجَلِهِ ذلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهادَةِ وَأَدْنى
أَلاَّ تَرْتابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجارَةً حاضِرَةً تُدِيرُونَها بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوها وَأَشْهِدُوا إِذا تَبايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
[28] وَإِنْ كُنْتُمْ عَلى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كاتِباً
فَرِهانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهادَةَ
وَمَنْ يَكْتُمْها فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
[29]
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, (Maktabah Asy-Syamilah), Vol.01, hlm.
68.
[30]
Ibid, hlm. 72.