BAB I
PEMBUKAAN
إِنَّمَا
الصَّدَقاتُ لِلْفُقَراءِ وَالْمَساكِينِ وَالْعامِلِينَ عَلَيْها
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقابِ وَالْغارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
(60)
Artinya:
“
Didalam ayat diatas
dapat kita pahami bahwa Allah mengkhususkan sebagian hambanya dengan harta yang
berlimpa sebagai nikmat bagi mereka. Dan Allah menjadikan rasa syukur dari
mereka dengan wajib mengeluarkan zakat terhadap orang yang tidak mempunyai
harta sama sekali, sebagai ganti dari-Nya dalam apa yang Allah firmankan. وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها .
Sebuah dilema bagi
dunia Islam ditengah-tengah era dewasa ini, dimana suatu kebenaran diukur
dengan rasional dan menuntut wujud yang nyata, bukan suatu yang jumud yang
tidak bisa di rasionalkan. Sebuah keharusan ini menuntut pemikir muslim untuk
merasionalkan dan mengaktualkan ajaran Islam dari berbagai sudut pandang.
Diakui ataupun tidak,
didalam Islam sendiri sebenarnya ada ajaran yang bisa dirasionalkan dan ada
pula yang memang ajaran itu sebuah ujian bagi pemeluknya untuk membuktikan
seberapa loyalitas mereka terhadap Islam. Artinya ajaran yang sifatnya
dokmatis, tidak bisa dirasionalkan, atau lebih tepatnya belum bisa
dirasionalkan.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan
dijelaskan sedikit tentang hikmah dari beberapa golongan yang berhak menerima
zakat dala ajaran Islam. Yang memuat :
- Definisi Golongan-golongan peneima zakat
- Hikmah Golongan penerima zakat
BAB II
PEMBAHASAN
I. DEVINISI
GOLONGAN PENERIMA ZAKAT
Kemudian secara
devinitif masing-masing golongan penerima zakat adalah:
1)
Faqir
Adalah
orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai pekerjaan yang dapat
mencukupi kebutuhannya. Seperti orang yang butuh 10 ribu tiap harinya namun dia
hanya punya 2000 atau 3000 saja.[1]
Ada juga yang menambahkan pengartian Faqir diatas yaitu, orang yang tidak
mempunyai suami, orang tua dan tidak mempunyai anak yang dapat mencukupi
kebutuhannya.[2]
2)
Miskin
Adalah
orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan apa yang ia miliki atau
dengan pekerjaan yang ia miliki yang halal. Seperti orang yang kebutuhannya
10.000 namun dia hanya mampu atau mempunyai 8.000.[3]
kepemilikan rumah yang layak, pakaian dan lainnya tidak menangguhkan status
kemiskinan atau kefakiran dalam definisi para fuqoha.
3)
‘Amil
Secara
bahasa Arab bermakna orang yang bekerja. Sedangkan secara istilah berarti orang
yang diberikan tugas oleh Negara (ulil amri Islam) untuk mengurus zakat dan
mengumpulkannya dari orang yang berhak mengeluarkan zakat, kemudian ia akan
membagikan kepada golongan yang berhak menerima, dan ia diberikan otoritas oleh
Negara (ulil amri Islam) untuk mengurus zakat tersebut.[4]
4)
Muallafah
Qulubuhum
Menurut
Ibnu Qudamah, mualaf ada dua katagori, yaitu muslim dan non muslim. Mualaf non
muslim juga ada dua, yaitu komunitas yang diharapkan keislamanya dan komunitas
yang ditakuti kejahatan mereka. Sedangkan mualaf yang muslim ada empat
katagori. Pertama, para pembesar yang mempunyai pengaruh dan wibawa
dalam komunitasnya yang memiliki pesaing dari kalangan nonmuslim atau dari kalangan
muslim yang niatnya masuk islam sudah baik dan kokoh.
Kedua,
pembesar yang sangat ditaati oleh kaumnya dan masuk islam dalam keadaan lemah
hatinya. Ketiga, kelompok yang diharapkan bergabung dengan umat islam
untuk memerangi kelompok nonmuslim dan melindungi kaum muslim yang berdekatan
dengan mereka. Keempat, kelompok yang diharapkan membantupemerintah
memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.[5]
Menurut
Abdul Hamid al-Barahimi, secara umum mualaf adalah orang-orang yang masuk Islam
dan membutuhkan pertolongan (secara ekonomi), orang-orang yang punya cita-cita
masuk Islam, nonmuslim yang diharapkan tidak menyerang kaum muslim, dan
nonmuslim yang diharapkan dapat memberi bantuan dan perlindungan kepada umat
Islam.[6]
5)
Ar-Riqob
Adalah
para budak Mukatab, yaitu seorang budak yang mengadakan transaksi pengkeditan
kepada Tuannya untuk kemerdekaan dirinya dengan beberapa ketentuan yang
disyaratkan. Dan disyaratkan transaksi pengkredetan yang ia lakukan adalah sah
menurut syara’.[7]
Menurut
al-Ghozali, perbudakan adalah kondisi seseorang dibawah kekuasaan orang lain
(tuannya), bekerja tanpa gaji, dan tidak memiliki hak-hak layaknya manusia
lainnya. Kalau demikian tentunya perbudakan telah banyak mengebiri hak asasi
manusia yang utuh.[8]
6)
Al-Ghorim
Adalah
orang yang menanggung hutang, ada kalanya menanggung hutangnya dua orang atau
dua komunitas yang bertikai karena pembunuhan atau selain pembunuhan untuk
menghindari fitnah yang akan disebabkan dari pertikaian tersebut.[9]
7)
Ibnu Sabil
Adalah
setiap musafir (orang yang dalam perjaalanan) tidak dengan tujuan ma’siat.
Dengan catatan dia membutuhkan dan berada di tempat pembagian zakat.
8)
Fi sabilillah
(para pejuang di jalan Allah)
Adalah
para pejuang perang di jalan Allah yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah.
Dalam golongan ini mencakup penjaga benteng pertahanan orang muslim.
II.
HIKMAH GOLONGAN
PENERIMA ZAKAT
1. Faqir
dan Miskin
Telah dijelaskan
diatas, bahwa orang faqir adalah orang yang sangat kurang dalam memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak bisa memenuhi
kebutuhannya. Bagi orang kaya yang memberikan zakat terhadap orang fakir atau
orang miskin, disamping mereka membantu memenuhi kebutuhan mereka, juga
terdapat hikmah yang lain yaitu, mengeliminasikan jeleknya meminta-minta bagi
mereka.
Yang mana di dalam
Islam menjelaskan bahwa orang yang meminta-minta apalagi sampai merintih dan
menangis di depan orang yang kaya untuk mengharapkan ibahnya adalah tergolong
pekerjaan yang hina. Sehingga dengan pemberiaannya itu, orang kaya telah
menghilangkan kehinaan bagi faqir dan miskin.
Dan hikmah yang lain
adalah menumbuhkan rasa ibah, perihatin dan kasih sayang terhadap mereka
berdua. Bahkan bisa sampai meneteskan air mata yang muncul karena rasa syukur
karena dirinya tidak dijadikan seperti itu oleh Allah swt. Dan masih banyak
lagi hikmah yang lain.[10]
2. ‘Amil
Eksistensi amil dalam
dunia Islam sangat diperlukan, artinya mereka lah yang mempunyai loyalitas
untuk rela berkeliling ke desa memintai atau mengambil zakat dari setiap orang
yang telah diwajibkan (memenuhi syarat wajib zakat). Karena bila hal itu tidak
terealisasikan maka keteledoran atau acuh dari masyarakat untuk memberikan atau
mengantarkan zakatnya kepada yang berhak semakin besar karena kesibukan mereka.
Dan tentunya khas Negara juga akan semakin devisit dan habis pada akhirnya.
Karena itu, amil diberi
zakat sebagai apresiasi dari loyalitas mereka dengan pekerjaannya itu. Dan
hikmah yang lain adalah mereka membantu melaksanakan kewajiban bagi yang wajib
zakat dan meminimalisir mereka untuk berbuat khiyanah dengan tidak membayar
zakat yang hanya dengan alasan tidak ada yang menarik atau mengambil zakat dari
mereka.[11]
3. Muallafah
Qulubuhum
Katagori
pertama, diberi zakat untuk menarik simpati rival-rivalnya yang
nonmuslim agar mereka ikut masuk islam. Atau bagi rival sesama muslim agar
tetap mempertahankan keimanannya. Kedua, Diberi zakat agar komitmen
dengan islamnya bertambah kuat.[12]
Mereka
yang lemah (kondisi ekonominya) ketika kafir. Dengan memberi zakat terhadap
mereka tentunya akan membantu finansialnya, sehingga tumbuh dihati mereka rasa
mantab bahwa Islam benar-benar Agama yang peduli terhadap kaum lemah dan tetap
memeluk Islam. Disamping itu, akan menarik perhatian bagi komunitas lamanya
untuk mengikuti jejaknya masuk Islam.[13]
4. Ar-Riqob
(al-Mukatab)
Telah kita ketahui,
bahwa seorang budak layaknya sebuah komoditi bagi tuannya. Apapun yang
dilakukan tanpa upah atau gaji kecuali hanya makan baginya. Sehingga sangat
hina lah seorang budak, bahkan statusnya dalam pidana saja disamakan dengan
seekor hewan. Yang demikian itu Islam sangat tidak menyukainya, karena dalam
Islam status semua manusia adalah sama dari sudut pandang apapun. Hanya
ketaqwaan saja lah yang membedakan manusia di mata Sang Mahapencipta.
Kalau demikian, maka
Islam sangat senang dengan status kemerdekaan bagi seorang budak. Dengan diberi
zakat, maka dia bisa membayar cicilannya terhadap tuannya dan akhirnya bisa
merdeka dan menjadi manusia yang normal, yang tidak dikendalikan oleh tuannya
laksana komoditi.[14]
5. Al-Ghorim
Ghorim diberi zakat
terdapat suatu hikamah. Yaitu, seandainya dia termasuk orang yang terpandang
dalam komunitasnya, tentunya ketika bertemu dengan orang-orang yang ia hutangi
dia akan merasa hina dan kecil. Apalagi kalau dia seorang yang mudah malu, maka
hal itu merupakan siksaan bagi dirinya. Maka dengan pemberian zakat, dia bisa
melunasi hutangnya atau setidaknya dapat membayar hutangnya ketika masa
tagihan.
Hikmah lain adalah
sebagai penangkal keputus asaan dan pemberi kepecayaan terhadap si Ghorim.
6. Ibnu
Sabil
Seorang musafir statusnya
adalah jauh dari rumah, sanak famili dan keluarga. dalam kondisi seperti ini
dia membutuhkan dua perkara. Yaitu, memenuhi kebutuhannya pada waktu itu dan
untuk pulang ke rumah bertemu dengan kelurganya. Maka tentunya pemberian zakat
terhadap mereka bisa membantu memenuhi dua kebutuhan tersebut.
7. Fi
sabilillah (para pejuang di jalan Allah yang tidak mendapat loyalti pemerintah)
Sudah tidak disangsikan
lagi loyalitas mereka bagi Islam dan kaum muslimin. Dikatakan kalau zakat
diberikan terhadap beberapa golongan diatas, maka maslahatnya kembali pada
individunya, sedangkan zakat yang diberikan terhadap para pejuang Islam ini
maslahatnya kembali pada ia sendiri dan pada halayak umum umat Islam.
Para pejuang dan
stafnya ini menjaga dan mempertahankan kekuasaan Islam. Bahkan meluaskan
wilayah kekuasaan Islam yang endingnya adalah semakin kuatnya Islam, semakin
banyak lahan yang dapat dimanfaatkan oleh orang muslim untuk memenuhi
kebutuhannya. Kalau itu sudah tercapai, maka kedamaian dan ketentramanlah yang akan
terwujud ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Inilah hikmah pemberian zakat
terhadap para pejuang Islam yang dianggap maslahatnya lebih menyeluruh.[15]
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
- Sebuah kemiskinan identik dengan sebuah kekurangan, dalam kondisi kekurangan, iman seseorang mudah terombang-ambing dengan rayuan dari pihak luar (nonmuslim), sehingga Islam mewajibkan zakat untuk membantu kekurangan dari pemeluknya. Dan juga sebagai wujud nyata sosialisme dalam Islam
- Islam tidak mengenal perbedaan status kesosialan (kasta), terbukti Islam sangat senang terhadap hilangnya perbudakan. Karena perbudakan hanya akan mempekosa hak asasi manusia secara utuh.
- Di dalam ‘Amil mencakup beberapa stafnya juga berhak menerima zakat dalam Islam
- Islam sangat menghargai loyalitas dari pemeluknya. Terbukti bukan hanya pahala yang sifatnya abstrak yang diberikan, namun di dunia ini pun Islam memberikan sesuatu yang berharga bagi pemeluknya.
II.
PESAN
- Apa yang telah dipaparkan hanyalah sebuah hikmah, bukan merupakan sebuah ilat yang menjadi alasan pokok dan dapat merubah suatu hukum.
- Semoga apa yang telah dipaparkan dapat menambah kecintaan kita terhadap Islam, semoga menjad spirit dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam bagi kita semua.
- Akhir kata, dari apa yang telah terhaturkan penuh dengan kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Abdullah bin
Muhammad bin Qudamah al-Hanbali, al-Mugni, Beirut: Dar Ihya at-Turats
al-Islami.
Ahmad Ali al-Jurjawi, Hikmah
at-Tasyri’ wa Falsafah, Maktabah at-Tausi’ wa ad-Dirosat fi ad-Dar al-Fikr,
tt.
Ahmad
Syihabuddin ibn Muhammad ibn Hajar al-Haitami, Minhajul Qoyyum Syarkhu
al-Muqoddimah al-Hadromiyah, Maktabah as-Syamilah.
al-Qulyubi Syihabuddin,
Hasyiyah al-Qulyubi, Maktabah as-Syamilah.
Muhammad
Abu Hamid bin Ahmad al-Ghozali, Ihya’ Ulum ad-Din, Beirut: Dar al-kutub
al-Ilmiyah, 2005.
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf
an-Nawawi, Majmu’ Syarakh Muhadzab, Maktabah as-Syamilah, hlm. 204.
[1]
Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi, Maktabah as-Syamilah, hlm. 21.
[2]
Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad ibn Hajar al-Haitami, Minhajul Qoyyum Syarkhu
al-Muqoddimah al-Hadromiyah, Maktabah as-Syamilah, hlm. 489.
[3]
Ibid, hlm. 490.
[4]
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, Maktabah as-Syamilah.
[5]
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Hanbali, al-Mugni, Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-Islami, vol. 6, hlm. 5.107.
[6]
Abdul Hamid al-Barahimi, al-‘Adalah al-Ijtima’iyyahFi al-Iqtishod al-Islam,
Beirut: Markaz dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1997, Cet. 1, hlm. 116.
[7]
Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi, Maktabah as-Syamilah, hlm. 21.
[8]
Abu Hamid muhammad bin Ahmad al-Ghozali, Ihya’ Ulum ad-Din, Beirut: Dar
al-kutub al-Ilmiyah, 2005, vol. 4, hlm. 21-22.
[9]
Abu Zakaria muhyiddin Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Majmu’ Syarakh Muhadzab,
Maktabah as-Syamilah, hlm. 204.
[10]
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafah, Maktabah at-Tausi’
wa ad-Dirosat fi ad-Dar al-Fikr, tt, vol. 1, hlm. 121.
[11]
Ibid, hlm. 122.
[12]
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Hanbali, al-Mugni, Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-Islami, vol. 6, hlm. 5.107.
[13]
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafah, Maktabah at-Tausi’
wa ad-Dirosat fi ad-Dar al-Fikr, tt, vol. 1, hlm. 124-125.
[14]
Ibid, 125.
terimakasih :)
BalasHapus