Minggu, 06 Mei 2012

DALIL DZOHIR DAN MUAWWAL


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah wahyu yang Agung, peraturan untuk semua umat di dunia ini, sehingga sangat kerdil bagi orang yang menganggap cukup memahami Al-Qur’an hanya dengan terjemahan saja, Karena lafadz-lafadz didalam Al-Qur’an sangatlah  multi tafsir. Dan Al-Qur’an akan selalu relevan dengan zaman, apapun zamannya.
Untuk memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, salah satunya adalah dengan menggunakan Ilmu Ushul Fiqh, ilmu ini adalah ilmu para Imam Mujtahid untuk merumuskan sebuah hukum yang digali dari Al-Qur’an, Hadits dan dari sumber-sumber yang legal menurut Syara’.
Dalam makalah ini akan membahas tentang dalil dzohir dan dalil muawwal yang merupakan bab atau pembahasan yang terdapat di dalam ilmu Ushul Fiqih. Yaitu akan membahas sebagaimana tertera dalam rumusan masalah.
RUMUSAN MASALAH
  1. Devinisi dalil Dzohir
  2. Hukum amal dengan lafadz Dzohir
  3. Devinisi dalil yang di-Ta’wil atau muawwal
  4. Klasifikasi Penggunaan kata Ta’wil
  5. Perbedaan Ta’wil dan tafsir
  6. Dalil-dalil Ta’wil
  7. Bentuk-bentuk dalil yang di-Ta’wil atau Wuawwal
  8. Contoh-contoh Lafadz yang Dzohir
BAB II
PEMBAHASAN
I.                   DEVINISI  AD-DZOHIR
Secara etimology adalah jelas, sedangkan secara terminology, menurut Ibnu Al-Hajib adalah suatu lafadz yang menunjukkan dilalah dzonniyah, adakalanya diunggulkan dengan ma’na lughot, seperti lafadz الاسد ma’na yang diungulkan adalah hewan yang bertaring, sedangkan ma’na yang dikalahkan adalah laki-laki pemberani. Adakalanya diunggulkan dengan ma’na Syar’i, seperti sholat yaitu suatu pekerjaan yang terdapat rukuk dan sujud, mengalahkan mana do’a. Ada juga diunggulkan dengan ma’na ‘Urf, seperti lafadz الغائط yaitu tempat buang hajat, yang sebenarnya lafadz itu adalah isim fail yang berma’na pelaku pekerjaan buang hajat, namun ma’na yang diunggulkan adalah tempat buang hajat yang diadopsi dari ‘Urf.[1]
Ada juga yang mengartikan Dzohir adalah sebuah lafadz yang memuat dua ma’na yang salah satunya lebih jelas dari pada ma’na yang lain. Seperti contoh perkataan : “Hari ini Aku melihat asad” kata asad dalam ungkapan itu berma’na dzohir hewan yang bertaring[2]. Namun ada juga yang mengatakan bahwa Dzohir adalah lafadz yang menunjukkan ma’na yang jelas.
Imam As-Syasyi mengartikan Dzohir adalah sebuah kalam yang maksud kalam itu bisa dimengerti oleh orang yang mendengarkan (As-sami’) dengan hanya mendengarkan saja tanpa berangan-angan.[3] Sedangkan Wahbah Zuhaili mengartikan dzohir adalah dalil yang punya arti sendiri, akan tetapi orientasinya bukanlah apa yang tersurat dari dalil itu, karena bisa di ta’wil.[4]  Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
 “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.”
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
II.                HUKUM AMAL DENGAN LAFADZ DZOHIR
Hukum dalil yang Dzohir adalah wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik dalam dalil yang umum atau pun khusus.[5] Imam Abi Bakar Muhammad ibnu Ahmad as-Sarakhosi dalam membahas hukum amal muawwal mengatakan : “hukum amal terhadap dalil muawwal adalah wajib dengan mempertimbangkan wajib amal dengan dalil yang dzohir”.[6]
III.             DEVINISIS DALIL YANG DI TA’WIL atau WUAWWAL
Setelah kita mengetahui devinisi dzohir, maka akan dijelaskan juga devinisi ta’wil. Baik secara etimologi ataupun termenologinya. Secara etimologi, kata ta'wil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ (الأَوْلُ artinya adalah الرجوع (kembali),[7] dan العاقبة (akibat atau pahala),[8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59 : ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا artinya: “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” dan hadits من صام الدهر فلا صام ولا آل Artinya: “Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya.”
Sedangkan Ta’wil secara termenologi para ulama terdapat perbedaan dalam mendevinisikannya. Antara lain: menurut Ibnu Manzhur, ada dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab;  Pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[9]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara istilah bermakna mengalihkan lafadz dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[10]
 Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah menyatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[11]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil".[12] Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz dzahir".[13] 
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[14]
Dari beberapa devinisi diatas dapat kita simpulkan bahwa ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
IV.             KLASIFIKASI PENGGUNAAN KATA TA’WIL
Dari penggunaannya, kata ta'wil dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam pengertian:[15]
  1. Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
ü Ta'wil Amr , yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadits riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca,  سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).
ü Ta'wil Ikhbar, yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.
 هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ
Artinya: “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu:  "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”. Dalam ayat ini, Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
  1. Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Artinya: “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan (ta'wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
  1.  Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadits (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf ' As. dalam QS. Yusuf : 6.
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Artinya: “Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu.”
Dan perkataan Nabi Yusuf pada Ayahandanya dalam al-Qur’an surat Yusuf: 100.  
يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
Artinya: “Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.”
V.                PERBEDAAN TA’WIL DAN TAFSIR
Dari difinisi ta'wil di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan antara keduanya. Tafsir dalam terminologi adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, memahami maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul, dan nasikh dan mansukh.
Al-Bajili mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta'wil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan). Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari ta'wil.[16] Ini juga merupakan pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan ta'wil untuk para fuqaha' (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[17]
Sangat beragam pendapat ulama’ berkaitan dengan perbedaan antara Ta’wil dan Tafsir, namun dari beeberapa pendapat diatas bisa kita simpulkan bahwa ringkasnya, ta'wil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta'wil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafadz yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta'wil menggunakan beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir biasanya hanya membahas lafadz-lafadz sedangkan ta'wil membahas makna-makna.
VI.             DALIL-DALIL TA’WIL
Telah dijelaskan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafadz dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Sehingga Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[18]
Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna dzahir.
1. Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3)[19]. Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadits bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah ra, yang mati yang akan dibuang, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". Hadits tersebut adalah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam lewat lalu bersabda, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).  Dalil dari hadits ini mengalihkan sebuah lafadz dari makna zhahirnya.
2. Ijma'. seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Secara dzahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
3. Qiyas. diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
4. Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ).[20] Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan dzahir lafadz hadits dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafadznya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at.[21]
VII. BENTUK-BENTUK  DALIL YANG  DI-TA’WIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith.
Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[22]
1. Mengalihkan lafadz dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء....ٍ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…..”. Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haid, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam surat Al-Ahzab: 49.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”  Ayat ini menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2. Mengalihkan lafadz dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3. menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145.[23] sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3. Mengalihkan lafadz dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam surat An-Nisa': 2.[24] yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6.[25]  yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa.
Dengan ayat kedua tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafadz yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[26]
4. Mengalihkan lafadz dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam surat Al-Baqarah: 282.[27] yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya surat Al-Baqarah: 283.[28] 
VIII.       CONTOH-CONTOH LAFADZ YANG DZOHIR
1.      وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ayat ini secara dzohir (dengan hanya mendengar/membaca) menjelaskan legalnya jual beli dan haramnya riba. Sedangkan bila melihat bahwa dalam ayat tersebut antara jual beli dan riba dibedakan , maka dinamakan Nash.[29]
2.      وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Melihat runtutan kalam dan dengan didengar saja sudah dapat dipahami hukum nikah adalah boleh. Dan secara nash adalah menjelaskan jumlah istri yang legal menurut Syara’.[30]
3.      لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Ayat ini secara nash adalah menghukumi bagi seorang suami yang ketika dalam akad nikah tidak menyebutkan mahar, maka tetap wajib membayar mahar kepada istrinya. Dan secara dzohir merupakan tirani bagi suami untuk bercerai.
4.      يأيها الناس اتقوا ربكم
Artinya: “Hai manusia bertaqwalah kalian semua kepada Tuhan kalian.”
5.      من ملك ذا رحم محرم منه عتق عليه
Hadits Nabi saw ini nash menjelaskan bahwa budak yang dibeli oleh seorang kerabat berhak untuk merdeka, dan secara dzohir tetapnya kepemilikan terhadap budak itu bagi seorang kerabat tersebut.[31]
BAB III
PENUTUP
I.                   KESIMPULAN
1.   Dalil/Lafadz Dzohir kejelasan yang ditunjukkan memang dari  dalil itu sendiri, sedangkan Nash meski sama-sama jelas yang ditunjukkan, akan tetapi kalau nash tidak muncul dari lafadz itu sendiri, melainkan melihat qorinah (indikasi) dari runtutan kalam.
2.    Lafadz yang dzohir bisa dita’wil dengan sebuah dalil
3.    Ta’wil lebih mendalam atau lebih luas dibandingkan kata tafsir, karena tafsir biasanya adalah mengartikan sebuah lafadz dari sisi bahasa. Sedangkan ta’wil adalah bisa dengan bahasa atau dengan kontekstual sesuai dengan dalil yang dijadikan mena’wil.
4.    Bentuk-bentuk Ta’wil adalah macam-macam pena’wilan yang terdapat didalam al-Qur’an.
II.                PESAN
1.    Dengan memahami kaidah-kaidah perumusan hukum akan menjadikan orang semakin bijak dalam menyikapi beberapa perkara dan tidak mudah menyalahkan hal-hal yang sebenarnya masih dianggap benar oleh orang lain dengan argumen dan dalil yang kuat.
2.    Apa yang kami paparkan diatas semoga bisa bermanfaat bagi diri kami sendiri khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
3.    Dan apa yang kami sampaikan diatas, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
              Abi Yahya Zakariyah Syaikhul Islam Al-Anshori, Ghoyatul Wushul Syarkhu Lubbul ‘Ushul, (Al-Haromain), 2000.
Ibnu Abdullah Ibnu Yusuf Abdul Malik Al-Juwaini, Nadzom Waroqot wa Syarkhihi fi Hamisyi An-Nufahat, (Al-Haromain), 2006.
Ibnu Ahmad ibn sahal Abi Bakar Muhammad as-Sarakhosi, Ushulu as-Sarkhosi, (Maktabah as-Syamilah).
Ibnu Muhammad Ibnu Ishaq Ahmad Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Jawzi Ibnu, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli), 1995.
Bin Abdullah Muhammad Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadits), 2006.
Bin Muhammad Ali Al-Jurjani, At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah.tt).
Hamid Abu Al-Ghazali, Al-Mustasfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah), 2008.
Kamal As-Sayyid Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil, (Iran: Dar Faraqid), 2006.
Manshur Abu Al-Maturidi, Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad), 1983.
Manzhur Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
Musthafa Sa'id Kan'an Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah), 2007.
Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), 2008.
Taimiyah Ibnu, Al-Iklil, (maktabah as-Syamilah).
Wahhab Abdul bin Ali As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah), 2003.
Zuhaili Wahbah, Ushul Al-Fiqih Al-Islami.1990.


         [1] Syaikhul Islam Abi Yahya Zakariyah Al-Anshori, Ghoyatul Wushul Syarkhu Lubbul ‘Ushul, (Al-Haromain), 2000, hlm.83
[2]  Abdul Malik Ibnu Abdullah Ibnu Yusuf Al-Juwaini, Nadzom Waroqot wa Syarkhihi fi Hamisyi An-Nufahat, (Al-Haromain), 2006, hlm.90
[3] Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, Maktabah Asy-Syamilah, Vol.01, hlm. 68.
       [4] Wahbah Zuhaili, 1990, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, Dar Al-Fikr, 1986, hlm 166.
[5] Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, (Maktabah Asy-Syamilah), Vol.01, hlm. 72.
[6] Abi Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn sahal as-Sarakhosi, Ushulu as-Sarkhosi, (Maktabah as-Syamilah), Vol. 1, hlm. 163.
[7] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi, hlm. 32.
[8]  Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadits), 2006. hlm.416.
        [9] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi, hlm. 32.
[10] Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah), 1988. hlm. 50.
[11] Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo: Maktabah Matbuli), 1995. hlm. 111, cet 1
[12] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, vol. I, hlm. 511.
        [13] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustasfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah), 2008. Hlm. 312.
[14] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil, (maktabah as-Syamilah), hlm. 27-28.
[15] Ibid, hal. 28-30, dan As-Sayyid Kamal Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah Baina Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid), 2006. hlm.295.
       [16] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), 2008. hlm.759.
[17] Abu Manshur Al-Maturidi, Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad), 1983. hlm.5.
        [18] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah), 2008. hal. 312. dan Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah), 2003. hlm.54.
[19] حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
        [20] HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab zakat kambing.
[21] Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, (Palestina: Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah), 2007. hal. 30-33.
[22] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr), 1986. vol.1, hlm. 314.
 [23] قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
 [24] وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
 [25] وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً
[26] Makna hakiki dari yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum usia baligh.
 [27] يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا تَدايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَما عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَداءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْداهُما فَتُذَكِّرَ إِحْداهُمَا الْأُخْرى وَلا يَأْبَ الشُّهَداءُ إِذا ما دُعُوا وَلا تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيراً أَوْ كَبِيراً إِلى أَجَلِهِ ذلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهادَةِ وَأَدْنى أَلاَّ تَرْتابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجارَةً حاضِرَةً تُدِيرُونَها بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوها وَأَشْهِدُوا إِذا تَبايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
[28] وَإِنْ كُنْتُمْ عَلى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كاتِباً فَرِهانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْها فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
[29] Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ishaq Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, (Maktabah Asy-Syamilah), Vol.01, hlm. 68.
[30] Ibid, hlm. 72.
[31] Ibid, hlm. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar