BAB I
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus
mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula
mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu-ilmu
pengetahuan modern diajarkan disamping ilmu agama. Pogram yang diajukannya
sebagai pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk
mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan
oleh misionaris asing dan yang didirikan oleh pemerintah. Katanya di sekolah
asing, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah,
siswa tidak diajar agama sama sekali.
Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan
impor, yang mencangkup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun
perempuan. Semuannya harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis
dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan
sektarian dan menyoroti perbedaan Islam-Kristen.
Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di
sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern.
Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak.
Sesungguhnya kata Muhammad Abduh bahwa kemajuan ilmu di mulai dari Timur baru
ke Barat, kemudian saat ini kita harus mengambil kembali ilmu-ilmu yang hilang
dari kita, apalagi ilmu-ilmu tersebut dikuasai oleh orang-orang di Barat. Dari
penjelasannya tersebut, dapat dipahami bahwa pada masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu
modern itu berkembang di negeri Barat yang pada awalnya berasal dari negeri
Timur, maka ilmu yang hilang itu harus dicari kembali dari negeri Barat.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam
kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan
demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang
timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar
akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar
memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia
Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama
yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam
dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam
pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang
belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Ia juga memperhatikan sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ia
berpendapat, perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kuat ke sekolah ini,
termasuk mata pelajaran sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Atas
usahanya maka didirikanlah Majelis Pengajaran Tinggi. Muhammad Abduh melihat
bahaya pada dualisme pendidikan. Sistem madrasah lama akan melahirkan
ulama’-ulama’ yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern,
sedangkan sekolah-sekolah Islam akan melahirkan ahli-ahli yang sedikit
pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan ilmu modern ke
dalam Al-Ahzar dan memperkuat pendidikan agama di sekolah pemerintah, jurang
yang memisah golongan ulama’ dari golongan ahli ilmu modern akan dapat
diperkecil.
I. Kurikulum Menurut Muhammad Abduh
1.
Kurikulum Sekolah Dasar
Isi dan lama pendidikan harus beragam, sesuai dengan tujuan
dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak tukang kayu dan
petani harus mendapat pendidikan minimum agar dapat meneruskan jejak ayahnya.
Kurikulum sekolah ini harus meliputi buku ikhtisar doktrin Islam yang
berdasarkan ajaran sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian, teks
ringkasan yang memaparkan secara garis besar pondasi kehidupan etika dan moral
dan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah, dan teks ringkas sejarah
hidup Nabi Muhammad, kehidupan sahabat dan sebab-sebab kejayaan Islam.
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar meliputi: membaca,
menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab,
pelajaran agama, pelajaran Akhlak. Fiqh dan Akhlak, buku yang dipelajari di
sekolah dasar juga berhubungan dengan halal dan haram dari perbuatan
sehari-hari, akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah, dan bahaya bid’ah. Semua itu
diterangkan dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an, hadits shahih, dan
memberikan contoh-contoh orang-orang yang jujur dari umat terdahulu. Doktrin
yang harus dilakukan oleh seorang guru pada tingkatan ini adalah segala
perbuatan yang tidak bersandar dari Allah dan Rasulullah Saw tidak boleh diterima.
Sejarah, buku yang dipelajari ialah sirah al-nabawiyah dan
shahabatnya yang berhubungan dengan akhlak mulia, perbuatan agung, pesan-pesan
agama yang berhubungan dengan pengorbanan jiwa dan harta. Selain itu, juga
boleh ditambah dengan sejarah khilafat Utsmaniyah. Semua itu, hendaknya
diajarkan dengan ringkas dan mudah diterima akal.
2.
Kurikulum Sekolah Menengah
Siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari
syari’at, militer, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah. Kurikulum
yang diajarkan pada Sekolah Menengah, semua yang ada dalam Sekolah Dasar, hanya
saja materi-materi lebih diperdalam dan diperluas lagi. Adapun ciri-ciri yang
lain pada kurikulum di sekolah menengah sebagai berikut:
a. Mantiq atau ilmu logika dan dasar-dasar penalaran.
b. Akidah, Pada tingkat ini materi yang dikemukakan dengan
pembuktian akal dan dalil-dalil yang, pasti. Pada tingkat ini juga, belum
diajarkan perbedaan pendapat atau pembagian firqah-firqah dalam Islam. Pada
tingkat ini sudah diajarkan fungsi akidah dalam kehidupan, protokol berdebat,
teks tentang doktrin, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan
konflik, pembahasan lebih rinci mengenai perbedaan antara kristen dan islam dan
keefektifan doktrin islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akhirat, teks
yang menjelaskan mana yang benar dan salah.
c. Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak
hanya pengembangan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran ditekankan pada
aspek sebab, kegunaan, dan menghormati orang tua, apa pengaruhnya terhadap
kehidupan keluarga, dan sebagainya. Landasan pelajaran-pelajaran itu harus
bersumber pada dalil-dalil yang shahih dan praktek ajaran Islam al-salaf
al-shalih.
d. Sejarah Islam. Materi pelajaran di sini adalah pengembangan dari
materi sejarah Islam pada tingkat dasar. Pada tingkat ini, sejarah Islam dapat
dilihat dari perspektif agama dan aspek politik, harus berada dibelakang aspek
agama. Materinya juga meliputi berbagai penaklukkan dan penyebaran Islam.
3.
Kurikulum Sekolah Tingkat Atas.
Pelajaran agama Islam pada tingkatan ini dijelaskan oleh
Muhammad Abduh mencakup mata pelajaran : Tafsir, hadits, bahasa arab dengan segala
cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh
Imam al-Ghazali dalam bukunya yang termasyhur ihya ‘Ulum ad-Din. Ushul Fiqih,
Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah nabi Muhammad Saw. dan
shahabat-shahabatnya yang diuraikan secara rinci. Sejarah peralihan kekuasaan
Islam, sejarah kerajaan Ustmaniyah, dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan
Islam ke tangan lain dengan menerangkan penyebabnya, retorika (tehnik
berpidato), dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Pada tingkat ini, ilmu kalam diberikan dengan menerangkan
aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam, dengan menjelaskan dalil-dalil
yang menopang pendapat setiap aliran. Pada tingkat ini, pelajaran ilmu kalam
tidak bertujuan untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala
pemikiran siswa.
Muhammad Imarah berpendapat bahwa kurikulum perguruan tinggi
menurut Muhammad Abduh sebagai berikut: Tafsir al-Qur’an. Yang paling penting
dalam pelajaran ini adalah membaca dan memahami al-Qur’an yang diturunkan oleh
Allah SWT dengan sejumlah hikmahnya, Bahasa Arab dan tata bahasanya, Hadits,
khususnya yang dikutip para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, Akhlak dengan
penjelasan yang rinci seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya
Ulum al-Din dan mencocokkannya dengan akidah Islam, Ushul Fiqh, Sejarah yang
lama dan yang baru, logika dan khithabah, Ilmu kalam dan penelitan agama.
Selanjutnya Muhammad Abduh tidak merinci karena menurutnya
setiap sekolah memiliki kecenderungan-kecenderungan atau penekanan- penekanan
yang berbeda antara satu materi pelajaran dengan materi pelajarn yang lainnya. Pada
tingkatan yang terakhir ini harus dibimbing atau diajar oleh guru-guru yang
professional dan berakhlak mahmudah. Mahasiswa yang kuliah juga tidak diberikan
tanda tamat belajar (ijazah) sembarangan kecuali setelah mereka mengikuti ujian
yang mendalam dan mengikuti komprehensif dan dinyatakan lulus.
II. Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam disini adalah
semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode
yang dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran. Sesungguhnya,
membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi
pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan
metode pengajaran.
Prof.Dr.Ramayulis dalam metodologi pengajaran agama Islam
menyebutkan bahwa tidak ada satu metode yang dijamin baik untuk setiap tujuan
pengajaran dalam setiap situasi. Setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangan. Untuk itu, semua metode pendidikan atau pengajaran menurut Muhammad
Abduh yang akan diuraikan di bawah ini tidak menolak dan menafikan adanya
metode-metode yang lainnya. Metode metode yang akan diuraikan, dipilih atas
pertimbangan literatur yang ditemukan.
Da1am pembahasan ini, akan diuraikan metode menghafal, metode
diskusi, metode tanya jawab, metode darmawisata, metode demonstrasi, metode
latihan, metode tauladan, cara belajar siswa aktif (CBSA), dan langkah-langkah
pengajaran.
1)
Metode Menghafal
“Saya, kata Muhammad
Abduh, telah mengalami pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa
memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu
tanpa memahami istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak
memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar dan putus asa.” (kata Muhammad
Abduh saat ia belajar di mesjid Ahmadi Thanta yang menggunakan sistem
menghafal).
Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh,
ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari
pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan
metode diskusi.
2)
Metode Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya
terhadap metode menghafal, dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal
itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima,
dalam keterangannya tentang “ وبالوالدين إحسانا” Disebutkan bahwa metode orang tua dalam
mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia passif, sehingga mereka
(para Orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua
mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka. Anak-anak dijadikan
berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak
marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan
keinginan orang tua.
Rumah adalah lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran
yang buruk dan mencetak kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para
orang tua yang mendidik anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan
kehinaan mereka anggap suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad
Abduh mengatakan, “Wahai ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan
kepada umat baik di sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua
terhadap anak dan apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat
terhadap dua kelompok itu. Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori
kemerdekaan dan kebebasan. Dua kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya
bangunan Islam. Para sosiolog bagian utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma)
mengakui bahwa peradaban mereka maju karena mereka berlandaskan dua dasar di
atas (kebebasan berpikir dan berbuat)”.
Pada penjelasan tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat
bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat
dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan
kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode
diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh
dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghafal dalam proses belajar
tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak
yang hafal al-Qur’an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan
bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghafal, tetapi dapat
diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghafal, sepertinya
ia berpendapat bahwa metode menghafal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak
mengatakan buruk).
3)
Metode Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu untuk
meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya; ia menerangkan kaidah atau
sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai aspek pekerjaan.
Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik
cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang
demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia
menjadi seorang ahli.
Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada
usaha seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan,
maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk
memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
4)
Metode Darmawisata.
Muhammad Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan
dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam hal metode darmawisata misalnya
menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan. Ketika ingin
mengajarkan kepada anak didik materi “pesawat” hendaknya mereka dibawa langsung
ke bandara. Ketika ingin mengajarkan “kapal” hendaknya anak didik dibawa ke
pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,
5)
Metode Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi’liyah)
hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan cara
berceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi’liyah
harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata
cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di
mesjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan ; “Hendaknya guru mengadakan
praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam waktu yang cukup
lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan mentalnya untuk
mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.”
6)
Metode Latihan
Untuk mengintegrasikan antara pendidikan akal dan jiwa, guru
di sekolah harus menyuruh anak didik untuk melakukan shalat lima waktu. Bagi
sekolah yang memiliki anak didik beragama non Islam seperti Kristen, maka guru
hendaknya tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat, namun meskipun anak
didik yang non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual
tersebut tidak boleh hilang dari mereka.
7)
Metode Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak didik untuk memiliki sifat
kasih sayang terhadap sesama manusia. Dalam mengajarkan pesan kasih sayang itu,
guru dapat memberi tauladan kepada anak didik. Tauladan yang baik jauh lebih
berpengaruh kepada jiwa anak didik dari pada sekedar teori. Selain aspek
tauladan, guru juga harus memperhatikan dan memilih gaya bahasa yang serasi
untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa yang digunakan
guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.
III. Cara Belajar Siswa Aktif
Muhammad Abduh mengajar materi Risalah al-Tauhid, al-Bashair,
Asrair al-Balaghah, dan Dalail al-I’jaz. Ia mengajar buku-buku tersebut dengan
keterangan yang singkat dan padat. Anak didiknya sangat sedikit yang bertanya.
Sedikit yang bertanya maksudnya bukan sedikit yang paham materi pelajaran yang
diterangkan oleh Muhammad Abduh, tetapi keterangan Muhammad Abduh yang singkat
dan padat itu sudah membuat anak didiknya paham. Jika ada yang bertanya karena
kesulitan dalam memahami, maka ia menjawab dengan jawaban yang singkat dan
padat juga.
Pembiasaan berpikir sesuai dengan hukum akal. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa tidak wajib bepikir kecuali untuk sesuatu yang benar. Jika
seseorang menemukan jalan berpikirnya benar, maka ia boleh mengikutinya dan
jika ia menemukan jalan berpikirnya salah, maka ia harus meninggalkannya.
IV. Langkah-Langkah Mengajar
Adapun alat pembelajaran yang paling efesien melalui pengajaran
tafsir al-Qur’an harus disebutkan judul atau temanya dan dikemukakan
hubungannya dengan pembaharuan umat. Dalam pembaharuan masyarakat Muhammad
Abduh berusaha menghubungkan Islam dengan peradaban modern dan ilmu
pengetahuan. Selain itu ia juga berusaha menghindari kesalahan dalam memahami
teks-teks agama karena ia berpendapat bahwa akidah yang bersih dari bid’ah akan
melahirkan perbuatan yang baik.Dalam pengajaran Muhammad Abduh juga sangat
memperhatikan urusan agama dan dunia serta akhlak yang mulia.
Muhammad Abduh mengajar dengan menempuh tiga langkah, yaitu:
mengutarakan materi (matan), menerangkan (al-syarh), menyebutkan
hasyiyah-hasyiyah-nya. Terkadang Muhammad Abduh menambahkan langkah terakhir
dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau dilihat dari langkah-langkah yang
ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah
pengajaran tersebut pada materi yang mangandung perbedaan pendapat seperti
materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh. Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya
tidak membaca hasyiyah suatu buku.
Dan keterangan suatu buku untuk menghindar suatu taklid ia
tidak mengajarkan sampai akhir masa pembaharuan di Universitas al-Azhar Mesir
selain matan (materi). Meninggalkan hasyiyah dan keterangan buku serta
mengajarkan matan nya yang dilakukan Muhammad Abduh berhubungan dengan ayat
al-Qur’an dan hadits sebab para ulama sebenarnya berbeda pendapat dalam
memahami nas-nas tersebut. Muhammad Abduh juga mengarang Ta’liqat dari buku
al-Bashair al-Nashiriyah dalam ilmu mantiq, tetapi ia tidak mewajibkan anak
didiknya untuk membacanya. Muhammad Abduh mengarang Ta’liqat tersebut untuk
mempermudah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir dalam memahami pendapatnya
tentang ilmu mantiq.
Muhammad Abduh ketika mengajar meletakkan buku catatan materi
di depannya, kemudian ia menulis judul materi pelajaran yang akan diajarkan
dengan singkat dan jelas. Selain itu, ia juga menulis beberapa pertanyaan yang
akan dijawab setiap tatap muka. Muhammad Abduh tidak lupa menulis tujuan
pembelajaran setiap tatap muka dengan ungkapan yang variatif. Menurut Rasyid
Ridha langkah-langkah pengajaran atau kegiatan pengajaran seperti yang
dilakukan oleh Muhammad Abduh sangat berbeda dengan yang dilakukan gurunya
Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani pertama kali meminta anak didiknya
bertanya, kemudian masalah itu diidentifikasi dan selanjutnya ia menerangkannya
dengan merujuk suatu buku untuk memahamkan anak didik.
Hendaknya seorang guru kata Muhammad Abduh dapat mengetahui
dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran
dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara
psikologis menerimanya (materi – pelajaran). Guru ketika ingin mengajar harus
memposisikannya sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi sedikit sampai
pada derajat setinggi mungkin. Ini adalah keterampilan untuk mengetahui tingkat
kemampuan otak dan cara menggunakannya. Keterampilan khusus ini harus
dipelajari calon guru selama enam belas tahun dan jika inti-intinya saja, maka
cuknp ditempuh selama delapan tahun.
Ada beberahal yang harus diperhatikan dalam memahami
pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pendidikan dan pengajaran. Ia
berpendapat bahwa metode penyampaian ilmu kepada manusia tidak selalu sama.
Metode dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman. Contoh yang
dikemukakan Muhammad Abduh adalah teknologi pos dalam mengirim uang. Mestinya
amanah penitipan uang mesti disampaikan langsung kepada orang yang
bersangkutan, tetapi dengan adanya teknologi pos ini, maka caranya pun
mengalami perubahan.
1).
Pendidik
a.
Tugas Guru
Pendidikan adalah tugas guru yang pertama dan pengajaran
adalah tugas keduanya. Muhammad Abduh mengatakan; “Tujuan utama mendirikan
sekolah adalah untuk pengajaran. Pengajaran yang dimaksud oleh Muhammad Abduh
tentu pendidikan sekolah formal yang sangat berbeda dengan pendidikan non
formal. Pendidikan Sekolah tentu memiliki keteraturan, sedangkan pendidikan non
sekolah tentu tentu tidak ada keteraturan formalnya, seperti tidak ada
kurikulum yang sama antara satu pendidikan rumah dengan rumah yang lain, tidak
seragamnya tujuan pendidikan rumah tangga, tidak sama waktu belajarnya, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, pengajaran menurut Muhammad Abduh identik
dengan keteraturan belajar. Dengan kata lain, pendidikan tidak selamanya
melalui pengajaran tetapi pengajaran adalah salah satu bentuk pendidikan. Jadi
antara pendidikan dan pengajaran terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh,
hendaknya dalam pengajaran di sekolah-sekolah selalu diperhatikan pendidikan
akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] , sehingga anak didik menemukan
kebahagiaan yang sempurna selama ia hidup.”
Sebenarnya tugas seorang guru tidak sekedar mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada anak didik, karena tugas utamanya adalah mendidik dan
mengajar dalam pengertian yang terbatas. Mengajar adalah sebagian dari
perbuatan mendidik. Dalam pengertian yang baru, mengajar merupakan upaya dan
proses membuat anak didik mau belajar (Causing Children to learn) [learning how
to learn]. Dari sekolah diharapkan anak didik dapat meningkatkan kecerdasannya,
terbentuk akhlak dan kepribadiannya, mendapatkan keterampilan dalam bekerja,
meningkatkan kemampuan estetikanya, dan berkemampuan secara layak untuk hidup di
tengah-tengah masyarakatnya.
Dari penjelasan tentang tugas pendidik yang tersebut di atas,
dapat dipahami bahwa tugas tersebut disebut tugas profesi. Menurut Mahammad
Abduh, di Mesir pada dasarnya substansi pendidikan telah hilang karena para
pendidik tidak berkepentingan pada anak didik yang diajarinya karena itu sulit
mencapai tujuan. Suatu kritikan tajam dari Muhammad Abduh tentang guru-guru
Mesir pada masanya mereka tidak perduli keadaan muridnya, hubungan antara guru
dan murid terbatas hanya di kelas, moral guru kurang mulia. Bahkan lebih
ekstrimnya lagi guru tidak boleh berhubungan dengan murid. Guru-guru dalam
mengajar saat itu tidak menjelaskan tujuan instruksionalnya tidak ada buku
pegangan mereka. Sikap afektif merupakan komplementasi bagi ranah kognitif. Ia
harus berdisiplin yang benar karena guru bukan saja fungsional yang digaji dan
yang mempunyai tanggung jawab tertentu yang justru membatasi
kewajiban-kewajiban sehingga membuat terciptannya jarak antara guru, murid, dan
masyarakat.
Dan penjelasn tentang kritik Muhammad Abduh terhadap guru
yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru hanya berfungsi sebagai
pengajar yang menciptakan jarak dari anak didiknya. Dalam kondisi seperti di
atas, biasanya anak didik sangat hormat dan takut kepada gurunya. Hubungan
seperti ini terkesan birokratis antara atasan dan bawahan. Di sini secara
implisit Muhammad Abduh menginginkan guru bersahabat dengan anak didiknya. Guru
yang menjadi orang tua kedua bagi anak didik. Dengan demikian, tujuan
pendidikan lebih mudah berhasil. Dalam kata lain, Muhammad Abduh berpendapat
bahwa guru memiliki tugas kemanusiaan.
b.
Kompetensi Guru
Mempertegas pendapatnya mengenai pengajar yang menurutnya
tidak layak mengajar karena umumnya para pengajar masa itu disebut “Fuqaha”
tidaklah mengerti sama sekali hal-hal lain kecuali hafal al-Qur’an secara
verbal tanpa mengetahui artinya. Dari penjelasan tentang kompetensi guru yang
tersebut, Muhammad Abduh menghendaki guru yang professional, mengetahui akan
ilmu pendidikan, ilmu psikologi, dan sebagainya. Hanya saja ia tidak merincikan
kompetensi seorang guru, tetapi setidaknya kritikannya itu dapat dilihat dari
potret dirinya sebagai seorang guru sebagaimana digambarkan oleh C.C.Adams.
Mengenai guru yang baik pakar pendidikan C.C Adams menggambarkan bahwa Muhammad
Abduh merupakan seorang guru yang bijaksana, mengetahui keadaan objektif
muridnya, baik fisik, mental, dan pengetahuan, sehingga dapat mengkomunikasikan
segala sesuatunya selama proses pengajaran secara benar.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh berkata; “Seharusnya guru
memilik pengetahuan atau pertimbangan yang memadai tentang muridnya, sehingga
ia dapat menilai pemikiran dan kesiapan muridnya untuk menerima apa yang
dikatakannya. Selanjutnya C.C.Adams bahwa Muhammad Abduh sangat menguasai
masalah-masalah Ahli sunnah secara mendalam baik literature primer dan sekunder
yang selalu dirujuk dalam pengajarannya. Guru yang professional menurutnya,
setidaknya memiliki kompetensi berikut ini; Prilaku yang baik , pengetahuan
luas , menguasai materi.
Dari penjelasan tentang kompetensi yang disebutkan di atas,
Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru yang profesional harus memiliki
kompetensi berprilaku yang baik, berwawasan dan berpengetahuan yang luas, dan
menguasai materi. Ketiga katagori kompetensi tersebut masih dikenal dalam ilmu
pendidikan sekarang ini. Prilaku yang baik sebagai kompetensi guru disebut oleh
Muhammad Uzer Utsman dengan kompetensi professional .
c.
Sifat Seorang Pendidik
Pendidikan menurut Muhanumad Abduh hendaknya berusaha
menghasilkan manusia yang berakhlak mahmudah. Oleh karena itu, pendidikan harus
menghasilkan insan-insan berakhlak mahmudah. Karena di antara hasil yang akan
dicapai dalam pendidikan pembinaan akhlak mulia, maka sudah pasti guru sebagai
tenaga pendidik juga harus berakhlak mahmudah. Muhammad Abduh tidak merinci
secara detail apa itu akhlak mulia, tetapi ia mengungkapkannya secara umum dan
global.
Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru
harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik].
Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan
energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya.
Dalam rangka mengajarkan akhlak mulia, menurutnya seorang
guru harus menjadi tauladan bagi anak didiknya, sehingga kesempurnaan sikapnya
menjadi pelajaran tambahan bagi mereka (anak didik). Prilaku yang baik dari
seorang guru akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada ilmu
yang ia sampaikan. Hendaknya guru (kata Muhammad Abduh) berusaha menselaraskan
Islam dengan peradaban modern dan Islam dengan ilmu. Hendaknya juga guru
mengajar dengan keterangan yang jelas dengan menyebutkan judul atau temanya.
Menurut Muhammad Imarah, bahwa Muhammad Abduh menganut
madzhab pendidikan demokratis. Ia berpendapat pendidikan harus memperhatikan
perkembangan dan periode anak, sehingga bisa menyesuaikan, tujuan, kurikulum,
dan metode pengajaran yang layak digunakan oleh guru.
d.
Panduan Khusus Pendidik Islam
Telah dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa agama tidak satu
tetapi bermacam-macam dan demikian juga madzhab-madzhab dalam agama
masing-masing. Oleh sebab itu, hendaknya satu agama dengan agama yang lain
saling menghormati akidah masing-masing dan tidak menghina akidah orang lain.
Dari keterngan singkat tentang pelajaran agama terdahulu, dapat dipahami dalam
konteks pendidikan guru menurut Muhammad Abduh harus memberikan materi-materi
pelajaran agama yang dapat memperkuat akidah anak didik. Guru tidak boleh
memberi keterangan yang berupaya untuk mendiskriditkan agama yang lain.
Sebagai panduan operasional dalam pelajaran agama, hendaknya
guru menerapkan nilai-nilai berikut: Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan)
terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan
akidahnya. Membangkitkan rasa kemanusiaan. Hendaknya ditanamakan oleh guru
kepada semua anak didik bahwa semua manusia bersaudara bersumber dari satu
bapak dan satu ibu, maka hendaknya yang satu memberi manfaat bagi yang lainnya.
Oleh sebab itu semua manusia harus saling mencintai.
2).
Anak Didik
a.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Didik.
Dalam pembahasan pasal ini lebih dahulu kita ketahui
bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang fitrah manusia dalam kaitannya dengan
perkembangan anak didik. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Imarah, pada umumnya pendidikan sekolah pada masa Kerajaan Utsmani
tidak membuahkan hasil apa-apa, dan para lulusan sekolah-sekolah dasar itu
tidak memperhatikan terjadinya proses perkembangan fitrah mereka. Terbukti
bahwa perilaku mereka tidak mencerminkan kesucian fitrah mereka.
Kritikan Muhammad Abduh di atas tentang pelaksanaan
pendidikan di Kerajaan Ustmani tersebut lebih lanjut dapat dipahami dari
pendapatnya bahwa setiap individu memiliki potensi fitri yang baik, namun
individu tersebut kemudian dapat berubah-rubah corak dan bentuknya sejalan
dengan pendidikan yang ditempuh atau dialaminya. Lebih tegas, ia mengatakan
bahwa manusia tidak jadi apa-apa kecuali dengan pendidikan dengan memahami
ajaran yang dibawa oleh Rasul, baik dalam aspek hukum, hikmah, dan lain-lain.
Lebih lanjut, dalam membicarakan fitrah manusia, Muhammad
Abduh pernah mengutip hadits nabi pada pidato resepsi di al-Jami’ah al-Khariyah
“kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, faabawahu yuhawwidanihi au
yunashshiranihi au yumajjisanihi” kata “yuladu ‘ala al-fitrah” adalah
menunjukkan pada potensi bawaan manusia, sedangkan tiga fi’il mudhari itu
[yuhawidanihi, yunashshiranihi, dan yumajjisanihi,] mengidentifikasikan suatu
proses perkembangan anak didik melalui pendidikan. Potensi bawaan [fitrah] ada
yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah.
Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah
sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Fitrah aqliyah manusia, erat
hubungannya dengan kualitas gizi anak selama dalam kandungan dan selanjutnya
disempurnakan dalam masa penyusuan selama dua tahun. Setelah dua tahun kata
Andi Hakim Nasution, perkembangan otak akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi
anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan sebagai alat kecerdasan tidak
berarti lagi. Akan tetapi kecerdasan bayi itu akan bertambah melalui kegiatan
fisiknya yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam hadits yang menjelaskan tentang fitrah manusia tersebut
diatas, dapat dipahami bahwa manusia lahir membawa fitrah. Fitrah lahiriyah
berupa potensi aqliyah dan nafsiyah. Kedua fitrah manusia itu berkembang dengan
melalui proses pendidikan. Dengan demikian, Muhammad Abduh mengakui pembawaan
lahir dan mementingkan proses pendidikan. Jadi jelaslah bahwa Muhammad Abduh
sangat dekat dengan aliran konvergensi. Dalam kata lain, proses perkembangan
aqliyah dan nafsiyah manusia setelah dua tahun banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (empiris).
b.
Tugas Anak Didik
Tugas sebagai anak didik tentunya bermacam-macam. Ada
tugasnya terhadap dirinya, terhadap orang tuanya, terhadap teman-temannya,
terhadap gurunya, terhadap pendidikan, dan sebagainya. Tugas anak didik
terhadap pendidikan menurut Muhammacl Abduh adalah belajar bersungguh-sungguh.
Pendapatnya ini didukung oleh data bahwa ketika ia mengajar di Universitas
al-Azhar, mewajibkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajar, tidak boleh
memiliki kesibukan selainnya. Ia juga mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti
ujian umum tahunan setelah mereka mengikuti ujian sesuai dengan tingkatan,
kepintaran, dan kapasitas keilmuan mereka secara lisan.
c.
Fungsi Motivasi Bagi Anak Didik
Pada fitrahnya, manusia ingin mulia dan dimuliakan. Salah
satu bentuk pemuliaan di sekolah adalah pemberian beasiswa, baik beasiswa
prestasi ataupun beasiswa tidak mampu. Dalam hal ini, Muhammad Abduh dalam
pembaharuannya di Universitas al-Azhar memberikan beasiswa bagi para mahasiswa
berprestasi sebagai motivasi untuk lebih bersemangat lagi dalam belajar. Beasiswa
yang diberikan kepada mahasiswa termasuk leaving cost. Sistem pendidikan yang
memberikan beasiswa adalah salah satu bentuk memotivasi anak didik yang masih
relevan sampai sekarang. Beasiswa sebagai reword sangat berguna untuk
membangkitkan semangat belajar yang berimplikasi pada kompetisi anak didik,
karena padu dasarnya manusia ingin lebih mulia dari yang lainnya.
Konsep ini jugalah yang tersirat dalam ayat fastabiqul
al-khairat. Muhammad Abduh tidak saja memperhatikan kesejahteraan mahasiswa, ia
juga memperlihatkan kesejahteraan guru-guru dengan memberikan perumahan khusus
untuk mereka bagi mereka juga disediakan kantor-kantor khusus untuk bekerja.
d.
Perpustakaan dan Anak Didik
Belajar untuk memperoleh ilmu tentu tidak cukup hanya
didapatkan dari guru. Demi memperluas wawasan, anak didik harus senang membaca.
Senang membaca, salah satunya dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fasilitas
perpustakaan adalah salah satu wadah untuk menciptakan cinta membaca. Dalam
kaitannya dengan perpustakaan, Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di
Universitas Al-Azhar sangat apresiatif terhadap pengembangan, perpustakaan yang
menginventarisir buku-buku. Sebagian perpustakaan itu ditempatkan di
mesjid-mesjid yang dekat.
Oleh sebab itu, Muhammad Abduh menyediakan anggaran [budget]
khusus untuk menambah buku-buku di perpustakaan, sehingga perpustakaan
Universitas al-Azhar mengoleksi buku-huku dari berbagai ilmu pengetahuan.
e.
Sistem Drop Out dan Anak Didik
Dalam rangka menciptakan kesungguhan belajar anak didik, maka
perlu dibuat aturan-aturan, salah satunya adalah sistem droup out. Berkenaan
dengan drop out, Muhammad Abduh juga menerapkan sistem ini di Universitas
al-Azhar. Paling lama seseorang kuliah di Universitas al-Azhar lima belas
tahun. Delapan tahun pertama, mahasiswa bisa mendapatkan ijazah lokal dan empat
tahun berikutnya bisa mendapatkan ijazah sarjana.
Jika dibandingkan dengan masa studinya dalam menempuh gelar
‘Alim di lembaga pendidikan ini, maka Muhammad Abduh dapat dikatagorikan
mahasiswa yang sungguh dalam belajar, karena ia dapat menyelesaikan studinya
selama sebelas tahun. Sistem drop out, masih sangat diperlukan dan relevan,
khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya yang baik, dalam hal ini
budaya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
BAB II
PENETAPAN POSISI TOKOH
1. Kata
Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah
berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Dalam hal kurikulum
seperti apa yang di katakan oleh Muhammad Abduh diatas, maka bisa di katakan
dia termasuk dalam Aliran Pragmatis, karena menganggap bahwa kolaborasi antara
ilmu agama dan ilmu umum akan menciptakan akhlak yang baik bagi para pelajar
atau peserta didik.
2. Dalam
metode menghafal, Abduh berpendapat bahwa hal itu akan membuat anak didik
bahkan dirinya prustasi karena tdk memahami apa yang di hafal, menghafal boleh
asal jangan sampai hanya berhenti disitu, harus ada tindak lanjut untuk
memahami apa yang dihafal. Dan hal ini termasuk dalam Aliran Pragmatis,
sebagaimana kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Khaldun terhadap sistem menghafal
yang dipakai pada masa itu.
3. Dari
beberapa metode yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh, seperti metode Tanya Jawab
dimana seorang anak didik tidak boleh merasa cukup dengan apa yang disampaikan
oleh sang pendidik akan tetapi harus memperdalam dengan terus belajar dengan
apapun caranya, maka masuk dalam Aliran Pragmatis. Dan sebagai bukti lagi bahwa
apa yang disampaikan oleh Abduh diatas adalah masuk dalam Aliran Pragmatis
adalah metode Darmawisata, metode Demonstrasi dan metode Latihan. Dimana anak
didik tidak hanya menerima materi-materi saja akan tetapi perlu langsung terjun
kelapangan dan sekaligus mempraktekan materi-materi itu sehingga akhirnya sang
anak didik bisa benar-benar berilmu (ilmu yang bisa difungsikan sebagaimana
fungsi dalam dunia nyata, misalkan Pilot nanti bisa menerbangkan pesawat dan
yang lainnya).
4. Hendaknya
seorang guru kata Muhammad Abduh dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah
anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu
dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerimanya (materi –
pelajaran). Hal ini juga nampak dalam Aliran Pragmatis.
5. Kritikan
Abduh dalam hal hubungan guru dan anak didik yang terkesan birokratis antara
atasan dan bawahan ini adalah seperti yang sampaikan oleh Ibnu Khaldun, bahwa
hubungan antara guru dan anak didik harus harmonis, artinya rilek tidak ada
tekanan rasa taku satu sama lain, sehingga akan memunculkan hubungan timbal
balik yang akan memudahkan transformasi ilmu dari seorang guru terhadap
muridnya. Maka termasuk Aliran Pragmatis.
6. Selanjutnya,
Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan
tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus
memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia
berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan energik, sehingga ia
dapat melaksanakan semua tugasnya. Dalam hal ini Abduh lebih condong dengan
Aliran Konservatif, yang menganggap bahwa guru adalah pengisi jiwa seorang anak
didik, panutan anak didik, sehingga harus mempunyai sifat-sifat yang baik.
7. Abduh
berpendapat bahwa seorang guru dalam menjelaskan tentang akidah, maka guru
tidak boleh mendiskriditkan a agama lain. Dalam hal ini Muhammad Abduh dapat
disebut penganut Madzhab Pluralisme dalam ajaran agama.
8. Dari
keterangan tentang fitrah manusia tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
menurut Muhammad Abduh, manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan
memliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak
seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Di antara
potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak
berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah,
tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu,
pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada
tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran
nativesme dan empirisme.
Jadi secara garis besar, bahwa pemikiran pendidikan Muhammad
Abduh adalah termasuk dalam Aliran Pragmatis.
BAB III
KRITIKAN
1. Menurut Abduh : Semuanya harus mendapat pendidikan agama,
mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan Islam-Kristen. Entah
apa yang dimaksudkan dengan mengabaikan dalam pandangan Muhammad Abduh diatas,
namun yang jelas dengan adanya perbedaan itulah rahmatal lil alamin Islam bisa
nampak dan terdapat hikmah yang sangat besar. Dan ungkapan ini terkesan
menafikan hasil ijtihad dari ulama’-ulma’ terdahulu yang telah diakui
keautentikannya. Memang semua itu bisa dimaklumi karena Abduh adalah termasuk
orang yang mengedepankan rasional yang bisa kita lihat dari beberapa
pendapatnya. Kemudian yang ditekankan adalah menyoroti perbedaan antara Islam
dan Kristen, tetapi dalam metode pengajaran seorang guru, dia mengungkapkan
bahwa seorang guru tidak boleh mendiskriditkan agama lain. Lalu bagaimana cara
penyorotan yang akan mengasilkan hasil yang maksimal terhadap anak didik yang
sampai menancap didalam hati mereka terhadap perbedaan dua agama itu bila harus
tidak ada diskredit salah satunya?
2. Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di
sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern.
Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak.
Pembinaan akhlak adalah suatu masalah yang komplek dala rana dunia pendidikan
zaman sekarang, banyak siswa yang menganggap gurunya sebagai seorang teman
biasa. Dalam hal ini perlu adanya sebuah sistem yang mngedepankan nilai-nilai
moral yang lebih tinggi, dan hal itu tidak ada kecuali pada pelajaran agama.
Agama sangat menekankan para pemeluknya berakhlak mulia, sehingga yag lebih
diutamakan adalah materi pelajaran agama yang menjelaskan tentang akhlak
tentunya. Pencampuran dua hal yang tidak sama malah akan merancaukan anak didik
yang belum berkompeten. Sehingga harus ada pemilahan dua hal yang tidak sama
tersebut, baru kemudian setelah anak didik telah mempunyai besik yang mapan,
kita masukan hal yang berbeda kedalamnya.
3. Metode menghafal, dalam beberapa karyanya, tidak ada kejelasan
apakah Abduh menggunakan metode ini atau tidak, namun ada indikasi bahwa yang
digunakannya dalam al-azhar adalah metode diskusi. Metode menghafal juga perlu
diterapkan, namun diteruskan pada pemahaman apa yang dihafal, sehingga
dimengerti apa yang dipelajarinya. Karena suatu hafalansangat membantu anak
didik dalam memahami suatu fan ilmu, seperti yang diterapkan oleh ulama’-ulama’
klasik dan terbukti bahwa mereka berhasil yang akhirnya mereka menjadi
ilmuan-ilmuan besar dalam islam. namun tentunya bukan hanya sekedar menghafal
saja tanpa di barengi usaha untuk memahami. Hafalan dan usaha pemahan haruslah
balance agar berhasil dalam mempelajari sebuah fan ilmu.
4. Keterangan yang sedikit dan padat mengenai sasaran, atau dengan
bahasa sekarang adalah cara belajar siswa aktif (CBSA). Satu sisi memang bagus
untuk menimbulkan siswa bisa terbiasa dengan berusaha untuk memahami, sehingga
bila dia belum paham dengan keterangan dari guru akan mencari usaha lain.
Dengan membaca buku atau bertanya terhadap temannya atau gurunya. Namun satu
sisi juga menjadi malapetaka bagi siswa itu sendiri, bila hal yang baik dari
suatu sistem itu tidak disadari oleh sang siswa, karena seakan-akan dia sudah
dianggap bisa oleh sang guru dengan hanya keterangan yang sedikit, dan tidak
didukung dengan kesedaran diri untuk bennar-benar bisa menggapai ilmu, seperti
realita yang terjadi dengan para pelajar negeri ini saat ini, maka hasilnya pun
telah kita lihat bersama dari pembelajaran CBSA di tanah air ini. tidak sedikit
dari pemuda kita yang tidak malah pintar tapi malah sebaliknya.
5. Pembiasaan berpikir sesuai dengan hukum akal. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa tidak wajib bepikir kecuali untuk sesuatu yang benar. Jika
seseorang menemukan jalan berpikirnya benar, maka ia boleh mengikutinya dan
jika ia menemukan jalan berpikirnya salah, maka ia harus meninggalkannya.
Mengedepankan akal dalam hukum. Dari sini kita tau bahwa jelaslah Muhammad
Abduh adalah golongan rasionalisme. Ini akan memunculkan beberapa mujtahid yang
perlu ditinjau ulang hasil ijtihadnya, karena tidaklah semudah itu untuk bisa
menghasilkan sebuah putusan hukum yang autentik. Sudahkah orang itu memenuhi
beberapa syarat dalam berijtihad? Sehingga sah apa yang telah diijtihadkan
darinya. Pembiasaan berpikir yang mengedepankan akal ini juga akan menjadikan
menyisihkan hal-hal yang tidak masuk akal, semuanya harus rasional, yang tidak
rasional tidak diterima. Ini jelas sama dengan pola pikir dari sekte-sekte
terdahulu dalam Islam. bahkan ironi bila pola seperti ini di bawah dalam rana
tauhid.
6. Kemudian masalah metode diskusi, satu sisi sangat baik
diterapkan, karena dengan metode diskusi akan menjadikan sebuah motivator tersendiri
bagi anak didik disamping akan mendapat ilmu yang belum dia ketahui dari teman
diskusi. disisi lain, perbaikan tujuan dan jiwa besar harus ditanamkan terlebih
dahulu pada anak didik. Karena dengan tujuan yang benar, dia akan mendapat
beberapa manfaat dari apa yan dihasilkan dari diskusi itu bukan sekedar menjadi
singa forum akan tetapi akan bisa membentuk jiwa anak didik untuk siap
menghadapi permaslahan yang ada di masyarakat ketika dia telah terjun dalam
kemasyarakatan. Dengan jiwa yang besar artinya, dia akan senang hati menerima
pendapat yang benar meskipun itu datang dari lawannya dalam diskusi tanpa ada
kedongkolan karena merasa terkalahkan dalam diskusi. dan dewasa ini, dual hal
ini lah yang mulai ditinggalkan oleh kaum terpelajar Negeri ini. padahal bisa
sangat fatal bila dua hal ini hilang dari jiwa seorang ilmuan atau calon ilmuan
ini. karena bila sudah hal ini terjadi (tidak dengan tujuan yang benar dan
tidak berjiwa besar) maka apa yang dia dapat dari diskusi itu malah bisa
menjadi malapetaka bagi dirinya. Karena suatu hal meski itu adalah hal yang
baik namun diperoleh dengan tidak baik, tentunya akan menghasilkan sesuatu yang
tidak baik pula. Misakan saja penuntut ilmu atau pelajar, bila dia dalam
mencari ilmu tidak dengan tujuan yang benar, maka ketika ilmu telah didapat
pasti akan disalahgunakan atau bisa dikatakan tidak bermanfaat. Dalam artian
menurt aliran konservatif adalah ilmu yang manfaat adalah semakin sesorang itu
berilmu, maka akan semakin baik ibadahnya dan semakin dia bersungguh-sungguh
dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya.
7. Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap agama lain.
Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya.
Padangan seperti ini dari sisi kemanusian memang sangat harus diterapkan dan
dinampakkan dalam realita, namun tetap beranggapan dalam keyakinan bahwa apa
yang menjadi ajaran agama lain adalah salah dan harus ada penolakan secara
individu (dalam keyakinan mengakui bahwa itu salah dan harus ingkar), meski
dalam sebuah komunitas kita tidak boleh menistakan idiologi lain, karena akan
melanggar hak kebebasan manusia itu sendiri.
8. Dari penjelsan tersebut di atas tentang lama masa kuliah dan
sistem drop out, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan gelar sarjana
minimal membutuhkan waktu dua belas tahun. Jika ditarik dalam konteks sistem
pendidikan tinggi saat ini, maka masa dua belas tahun bisa sampai pada tingkat
doktoral. disisi lain memang menuntut ilmu tidaklah dibatasi ruang dan waktu,
jadi penekanan waktu yang lama adalah suatu hal yang baik. Pengisolasian
menuntut lmu yang seharusnya tidak dibatasi oleh ruang yang menjadi masalah.
Sebuah formalitas saja harus ditempuh dengan masa 12 tahun. Padahal bila bisa
kurang dari itu, namun tidak berhenti hanya disitu dalam menuntut ilmu,
seseorang akan bisa bisa bermanfaat bagi orang lain misalnya lingkungan tempat
di lahir atau juga keluarga dengan ilmu yang sudah di dapat, dan orang itu bisa
memperdalam ilmunya lagi. Tentunya ada dua manfaat yang didapat, satu kembali
pada dirinya yaitu, dia bisa memperdalam ilmunya. Dan yang kedua adalah dia
bisa menyebarkan ilmu yang telah dia dapat.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan
dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang
besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak
dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada
manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan
percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana
diungkapkan Doktor. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam
gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru
beliu Jamaluddin Al-Afghani.
2. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa, Melalui al-Azhar,
Muhammad Abduh mulai merekonstruksi kurikulum, terutama dengan memberikan
materi baru, yakni logika dan filsafat. Demikian pula ilmu-ilmu lain, perlu
untuk dijadikan perbendaharaan bagi lulusannya yang diharapkan menjadi ulama
modern. Karena Menurut Abduh menganggap bahwa pengajaran yang dilakukan kepada
para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa
mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.
3. Selain itu, beliau juga memperhatikan masalah metode pengajaran
bahasa arab. Menurut beliau sistem menghafal di luar kepala perlu diganti
dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
4. Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan
pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Pemikiran dibidang pendidikan dan
pengajaran umum:
a. Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
b. Perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan
disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
c. Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam. Jika ia
rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka baik pula umat Islam.
d. Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal
intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti
pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
5. Muhammad Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan
Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian
tentang pemikiran pendidikan Islam . Abduh berada pada wilayah
historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian,
rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan
pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan
dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai
perubahan dan tantangan masa depan.
6. Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor
pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan
pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk
peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih ada yang relevan pada
bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut.
7. Dari keterangan yang panjang lebar tentang sifat guru di atas,
secara umum itu mengandung akhlak mahmudah. Sifat-sifat para nabi, khususnya
nabi Muhammad Saw dikenal dengan empat sifat (sidiq, amanah, tabligh, fatanah).
Empat sifat nabi Muhammada Saw itu dapat mewakili akhlak mahmudah.
8. Dari uraian Muhammad Abduh tentang metode pengajaran tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa guru dalam mengajar tidak perlu menerangkan panjang
lebar kalau intinya hanya sedikit, tetapi lebih baik singkat padat dan mengenai
sasaran (qalla wa dalla). Hal ini juga menjadi indikasi bahwa Muhammad Abduh
dalam mengajar menginginkan anak didik lebih aktif dan kreatif, sehingga guru
hanya membantu dan mengantarkan anak didik pada pemahaman materi. Dalam kata
lain, guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator. Dalam konteks
kekinian, konsep metode pengajaran yang dimaksud oleh Muhammmad Abduh di
antaranya sesuai dengan metode diskusi, tanya jawab, dan cara belajar siswa
aktif.
9. Dari uraian tersebut di atas tentang kewajiban belajar dan
ujian, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh menerapkan disiplin belajar yang
baik. Kemudian sistem ujian umum tahunan yang dimaksud berbentuk tes tulis
setelah dilakukan tes lisan untuk melihat kemampuan mahasiswa yang variatif.
Konsep disiplin belajar yang diterapkan oleh Muhammad Abduh masih relevan
sampai sekarang. Sistem boarding school dan beberapa pesantren di Indonesia
juga masih menerapkan system ini. Adapun sistem ujian lisan dan tulis inipun
masih banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
10.
Dari penjelasan tersebut di atas
tentang perpustakaan, dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan tidak bisa
terlepas dari perpustakaan, apalagi perguruan tinggi. Di antara fungsi
perpustakaan bagi anak didik, yaitu: alat memotivasi untuk cinta membaca,
fasilitas untuk memperdalam ilmu, dan membantu anak didik yang tidak mampu
membeli buku.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ilyas. 1996. Pioneers of Islamic Revival. Bandung:
Mizan
Imarah,
Muhammad. 2007. 45 Tokoh Pengukir Sejarah (terj). Solo: Era Intermedia
Mohammad,
Herry. dkk. 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema
Insani.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Mj
Achyadi, Mohammed. file:///E:/syaikh-muhammad-abduh-dan-reformasi.html Selasa,
Februari 02, 2010.C. C Adams, file:///E:/sekilas-pandangan-mabduh-tokoh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar