Minggu, 10 Juni 2012

KRITIK TERHADAP POLA PIKIR PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH


BAB I
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan disamping ilmu agama. Pogram yang diajukannya sebagai pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing dan yang didirikan oleh pemerintah. Katanya di sekolah asing, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali.
Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencangkup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuannya harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan Islam-Kristen.
Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak. Sesungguhnya kata Muhammad Abduh bahwa kemajuan ilmu di mulai dari Timur baru ke Barat, kemudian saat ini kita harus mengambil kembali ilmu-ilmu yang hilang dari kita, apalagi ilmu-ilmu tersebut dikuasai oleh orang-orang di Barat. Dari penjelasannya tersebut, dapat dipahami bahwa pada masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu modern itu berkembang di negeri Barat yang pada awalnya berasal dari negeri Timur, maka ilmu yang hilang itu harus dicari kembali dari negeri Barat.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Ia juga memperhatikan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ia berpendapat, perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kuat ke sekolah ini, termasuk mata pelajaran sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Atas usahanya maka didirikanlah Majelis Pengajaran Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya pada dualisme pendidikan. Sistem madrasah lama akan melahirkan ulama’-ulama’ yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern, sedangkan sekolah-sekolah Islam akan melahirkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan ilmu modern ke dalam Al-Ahzar dan memperkuat pendidikan agama di sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama’ dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
I. Kurikulum Menurut Muhammad Abduh
1. Kurikulum Sekolah Dasar
Isi dan lama pendidikan harus beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak tukang kayu dan petani harus mendapat pendidikan minimum agar dapat meneruskan jejak ayahnya. Kurikulum sekolah ini harus meliputi buku ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian, teks ringkasan yang memaparkan secara garis besar pondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah, dan teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan sahabat dan sebab-sebab kejayaan Islam.
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar meliputi: membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama, pelajaran Akhlak. Fiqh dan Akhlak, buku yang dipelajari di sekolah dasar juga berhubungan dengan halal dan haram dari perbuatan sehari-hari, akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah, dan bahaya bid’ah. Semua itu diterangkan dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an, hadits shahih, dan memberikan contoh-contoh orang-orang yang jujur dari umat terdahulu. Doktrin yang harus dilakukan oleh seorang guru pada tingkatan ini adalah segala perbuatan yang tidak bersandar dari Allah dan Rasulullah Saw tidak boleh diterima.
Sejarah, buku yang dipelajari ialah sirah al-nabawiyah dan shahabatnya yang berhubungan dengan akhlak mulia, perbuatan agung, pesan-pesan agama yang berhubungan dengan pengorbanan jiwa dan harta. Selain itu, juga boleh ditambah dengan sejarah khilafat Utsmaniyah. Semua itu, hendaknya diajarkan dengan ringkas dan mudah diterima akal.
2. Kurikulum Sekolah Menengah
Siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syari’at, militer, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah. Kurikulum yang diajarkan pada Sekolah Menengah, semua yang ada dalam Sekolah Dasar, hanya saja materi-materi lebih diperdalam dan diperluas lagi. Adapun ciri-ciri yang lain pada kurikulum di sekolah menengah sebagai berikut:
a.    Mantiq atau ilmu logika dan dasar-dasar penalaran.
b.    Akidah, Pada tingkat ini materi yang dikemukakan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang, pasti. Pada tingkat ini juga, belum diajarkan perbedaan pendapat atau pembagian firqah-firqah dalam Islam. Pada tingkat ini sudah diajarkan fungsi akidah dalam kehidupan, protokol berdebat, teks tentang doktrin, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan konflik, pembahasan lebih rinci mengenai perbedaan antara kristen dan islam dan keefektifan doktrin islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akhirat, teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah.
c.    Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak hanya pengembangan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran ditekankan pada aspek sebab, kegunaan, dan menghormati orang tua, apa pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga, dan sebagainya. Landasan pelajaran-pelajaran itu harus bersumber pada dalil-dalil yang shahih dan praktek ajaran Islam al-salaf al-shalih.
d.   Sejarah Islam. Materi pelajaran di sini adalah pengembangan dari materi sejarah Islam pada tingkat dasar. Pada tingkat ini, sejarah Islam dapat dilihat dari perspektif agama dan aspek politik, harus berada dibelakang aspek agama. Materinya juga meliputi berbagai penaklukkan dan penyebaran Islam.
3. Kurikulum Sekolah Tingkat Atas.
Pelajaran agama Islam pada tingkatan ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh mencakup mata pelajaran : Tafsir, hadits, bahasa arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya yang termasyhur ihya ‘Ulum ad-Din. Ushul Fiqih, Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah nabi Muhammad Saw. dan shahabat-shahabatnya yang diuraikan secara rinci. Sejarah peralihan kekuasaan Islam, sejarah kerajaan Ustmaniyah, dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam ke tangan lain dengan menerangkan penyebabnya, retorika (tehnik berpidato), dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Pada tingkat ini, ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam, dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada tingkat ini, pelajaran ilmu kalam tidak bertujuan untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran siswa.
Muhammad Imarah berpendapat bahwa kurikulum perguruan tinggi menurut Muhammad Abduh sebagai berikut: Tafsir al-Qur’an. Yang paling penting dalam pelajaran ini adalah membaca dan memahami al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT dengan sejumlah hikmahnya, Bahasa Arab dan tata bahasanya, Hadits, khususnya yang dikutip para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, Akhlak dengan penjelasan yang rinci seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din dan mencocokkannya dengan akidah Islam, Ushul Fiqh, Sejarah yang lama dan yang baru, logika dan khithabah, Ilmu kalam dan penelitan agama.
Selanjutnya Muhammad Abduh tidak merinci karena menurutnya setiap sekolah memiliki kecenderungan-kecenderungan atau penekanan- penekanan yang berbeda antara satu materi pelajaran dengan materi pelajarn yang lainnya. Pada tingkatan yang terakhir ini harus dibimbing atau diajar oleh guru-guru yang professional dan berakhlak mahmudah. Mahasiswa yang kuliah juga tidak diberikan tanda tamat belajar (ijazah) sembarangan kecuali setelah mereka mengikuti ujian yang mendalam dan mengikuti komprehensif dan dinyatakan lulus.
II. Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam disini adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran. Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan metode pengajaran.
Prof.Dr.Ramayulis dalam metodologi pengajaran agama Islam menyebutkan bahwa tidak ada satu metode yang dijamin baik untuk setiap tujuan pengajaran dalam setiap situasi. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, semua metode pendidikan atau pengajaran menurut Muhammad Abduh yang akan diuraikan di bawah ini tidak menolak dan menafikan adanya metode-metode yang lainnya. Metode metode yang akan diuraikan, dipilih atas pertimbangan literatur yang ditemukan.
Da1am pembahasan ini, akan diuraikan metode menghafal, metode diskusi, metode tanya jawab, metode darmawisata, metode demonstrasi, metode latihan, metode tauladan, cara belajar siswa aktif (CBSA), dan langkah-langkah pengajaran.
1) Metode Menghafal
 “Saya, kata Muhammad Abduh, telah mengalami pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar dan putus asa.” (kata Muhammad Abduh saat ia belajar di mesjid Ahmadi Thanta yang menggunakan sistem menghafal).
Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2) Metode Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghafal, dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi. Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya tentang “ وبالوالدين إحسانا” Disebutkan bahwa metode orang tua dalam mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia passif, sehingga mereka (para Orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka. Anak-anak dijadikan berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua.
Rumah adalah lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan, “Wahai ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok itu. Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan. Dua kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam. Para sosiolog bagian utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju karena mereka berlandaskan dua dasar di atas (kebebasan berpikir dan berbuat)”.
Pada penjelasan tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghafal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hafal al-Qur’an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghafal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghafal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode menghafal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
3) Metode Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya; ia menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang ahli.
Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
4) Metode Darmawisata.
Muhammad Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam hal metode darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan. Ketika ingin mengajarkan kepada anak didik materi “pesawat” hendaknya mereka dibawa langsung ke bandara. Ketika ingin mengajarkan “kapal” hendaknya anak didik dibawa ke pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,
5) Metode Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi’liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan cara berceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi’liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di mesjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan ; “Hendaknya guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.”
6) Metode Latihan
Untuk mengintegrasikan antara pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang dari mereka.
7) Metode Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia. Dalam mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak didik. Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.
III. Cara Belajar Siswa Aktif
Muhammad Abduh mengajar materi Risalah al-Tauhid, al-Bashair, Asrair al-Balaghah, dan Dalail al-I’jaz. Ia mengajar buku-buku tersebut dengan keterangan yang singkat dan padat. Anak didiknya sangat sedikit yang bertanya. Sedikit yang bertanya maksudnya bukan sedikit yang paham materi pelajaran yang diterangkan oleh Muhammad Abduh, tetapi keterangan Muhammad Abduh yang singkat dan padat itu sudah membuat anak didiknya paham. Jika ada yang bertanya karena kesulitan dalam memahami, maka ia menjawab dengan jawaban yang singkat dan padat juga.
Pembiasaan berpikir sesuai dengan hukum akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa tidak wajib bepikir kecuali untuk sesuatu yang benar. Jika seseorang menemukan jalan berpikirnya benar, maka ia boleh mengikutinya dan jika ia menemukan jalan berpikirnya salah, maka ia harus meninggalkannya.
IV. Langkah-Langkah Mengajar
Adapun alat pembelajaran yang paling efesien melalui pengajaran tafsir al-Qur’an harus disebutkan judul atau temanya dan dikemukakan hubungannya dengan pembaharuan umat. Dalam pembaharuan masyarakat Muhammad Abduh berusaha menghubungkan Islam dengan peradaban modern dan ilmu pengetahuan. Selain itu ia juga berusaha menghindari kesalahan dalam memahami teks-teks agama karena ia berpendapat bahwa akidah yang bersih dari bid’ah akan melahirkan perbuatan yang baik.Dalam pengajaran Muhammad Abduh juga sangat memperhatikan urusan agama dan dunia serta akhlak yang mulia.
Muhammad Abduh mengajar dengan menempuh tiga langkah, yaitu: mengutarakan materi (matan), menerangkan (al-syarh), menyebutkan hasyiyah-hasyiyah-nya. Terkadang Muhammad Abduh menambahkan langkah terakhir dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau dilihat dari langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pengajaran tersebut pada materi yang mangandung perbedaan pendapat seperti materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh. Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya tidak membaca hasyiyah suatu buku.
Dan keterangan suatu buku untuk menghindar suatu taklid ia tidak mengajarkan sampai akhir masa pembaharuan di Universitas al-Azhar Mesir selain matan (materi). Meninggalkan hasyiyah dan keterangan buku serta mengajarkan matan nya yang dilakukan Muhammad Abduh berhubungan dengan ayat al-Qur’an dan hadits sebab para ulama sebenarnya berbeda pendapat dalam memahami nas-nas tersebut. Muhammad Abduh juga mengarang Ta’liqat dari buku al-Bashair al-Nashiriyah dalam ilmu mantiq, tetapi ia tidak mewajibkan anak didiknya untuk membacanya. Muhammad Abduh mengarang Ta’liqat tersebut untuk mempermudah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir dalam memahami pendapatnya tentang ilmu mantiq.
Muhammad Abduh ketika mengajar meletakkan buku catatan materi di depannya, kemudian ia menulis judul materi pelajaran yang akan diajarkan dengan singkat dan jelas. Selain itu, ia juga menulis beberapa pertanyaan yang akan dijawab setiap tatap muka. Muhammad Abduh tidak lupa menulis tujuan pembelajaran setiap tatap muka dengan ungkapan yang variatif. Menurut Rasyid Ridha langkah-langkah pengajaran atau kegiatan pengajaran seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sangat berbeda dengan yang dilakukan gurunya Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani pertama kali meminta anak didiknya bertanya, kemudian masalah itu diidentifikasi dan selanjutnya ia menerangkannya dengan merujuk suatu buku untuk memahamkan anak didik.
Hendaknya seorang guru kata Muhammad Abduh dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerimanya (materi – pelajaran). Guru ketika ingin mengajar harus memposisikannya sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Ini adalah keterampilan untuk mengetahui tingkat kemampuan otak dan cara menggunakannya. Keterampilan khusus ini harus dipelajari calon guru selama enam belas tahun dan jika inti-intinya saja, maka cuknp ditempuh selama delapan tahun.
Ada beberahal yang harus diperhatikan dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pendidikan dan pengajaran. Ia berpendapat bahwa metode penyampaian ilmu kepada manusia tidak selalu sama. Metode dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman. Contoh yang dikemukakan Muhammad Abduh adalah teknologi pos dalam mengirim uang. Mestinya amanah penitipan uang mesti disampaikan langsung kepada orang yang bersangkutan, tetapi dengan adanya teknologi pos ini, maka caranya pun mengalami perubahan.
1). Pendidik
a. Tugas Guru
Pendidikan adalah tugas guru yang pertama dan pengajaran adalah tugas keduanya. Muhammad Abduh mengatakan; “Tujuan utama mendirikan sekolah adalah untuk pengajaran. Pengajaran yang dimaksud oleh Muhammad Abduh tentu pendidikan sekolah formal yang sangat berbeda dengan pendidikan non formal. Pendidikan Sekolah tentu memiliki keteraturan, sedangkan pendidikan non sekolah tentu tentu tidak ada keteraturan formalnya, seperti tidak ada kurikulum yang sama antara satu pendidikan rumah dengan rumah yang lain, tidak seragamnya tujuan pendidikan rumah tangga, tidak sama waktu belajarnya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pengajaran menurut Muhammad Abduh identik dengan keteraturan belajar. Dengan kata lain, pendidikan tidak selamanya melalui pengajaran tetapi pengajaran adalah salah satu bentuk pendidikan. Jadi antara pendidikan dan pengajaran terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, hendaknya dalam pengajaran di sekolah-sekolah selalu diperhatikan pendidikan akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] , sehingga anak didik menemukan kebahagiaan yang sempurna selama ia hidup.”
Sebenarnya tugas seorang guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, karena tugas utamanya adalah mendidik dan mengajar dalam pengertian yang terbatas. Mengajar adalah sebagian dari perbuatan mendidik. Dalam pengertian yang baru, mengajar merupakan upaya dan proses membuat anak didik mau belajar (Causing Children to learn) [learning how to learn]. Dari sekolah diharapkan anak didik dapat meningkatkan kecerdasannya, terbentuk akhlak dan kepribadiannya, mendapatkan keterampilan dalam bekerja, meningkatkan kemampuan estetikanya, dan berkemampuan secara layak untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya.
Dari penjelasan tentang tugas pendidik yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tugas tersebut disebut tugas profesi. Menurut Mahammad Abduh, di Mesir pada dasarnya substansi pendidikan telah hilang karena para pendidik tidak berkepentingan pada anak didik yang diajarinya karena itu sulit mencapai tujuan. Suatu kritikan tajam dari Muhammad Abduh tentang guru-guru Mesir pada masanya mereka tidak perduli keadaan muridnya, hubungan antara guru dan murid terbatas hanya di kelas, moral guru kurang mulia. Bahkan lebih ekstrimnya lagi guru tidak boleh berhubungan dengan murid. Guru-guru dalam mengajar saat itu tidak menjelaskan tujuan instruksionalnya tidak ada buku pegangan mereka. Sikap afektif merupakan komplementasi bagi ranah kognitif. Ia harus berdisiplin yang benar karena guru bukan saja fungsional yang digaji dan yang mempunyai tanggung jawab tertentu yang justru membatasi kewajiban-kewajiban sehingga membuat terciptannya jarak antara guru, murid, dan masyarakat.
Dan penjelasn tentang kritik Muhammad Abduh terhadap guru yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru hanya berfungsi sebagai pengajar yang menciptakan jarak dari anak didiknya. Dalam kondisi seperti di atas, biasanya anak didik sangat hormat dan takut kepada gurunya. Hubungan seperti ini terkesan birokratis antara atasan dan bawahan. Di sini secara implisit Muhammad Abduh menginginkan guru bersahabat dengan anak didiknya. Guru yang menjadi orang tua kedua bagi anak didik. Dengan demikian, tujuan pendidikan lebih mudah berhasil. Dalam kata lain, Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru memiliki tugas kemanusiaan.
b. Kompetensi Guru
Mempertegas pendapatnya mengenai pengajar yang menurutnya tidak layak mengajar karena umumnya para pengajar masa itu disebut “Fuqaha” tidaklah mengerti sama sekali hal-hal lain kecuali hafal al-Qur’an secara verbal tanpa mengetahui artinya. Dari penjelasan tentang kompetensi guru yang tersebut, Muhammad Abduh menghendaki guru yang professional, mengetahui akan ilmu pendidikan, ilmu psikologi, dan sebagainya. Hanya saja ia tidak merincikan kompetensi seorang guru, tetapi setidaknya kritikannya itu dapat dilihat dari potret dirinya sebagai seorang guru sebagaimana digambarkan oleh C.C.Adams. Mengenai guru yang baik pakar pendidikan C.C Adams menggambarkan bahwa Muhammad Abduh merupakan seorang guru yang bijaksana, mengetahui keadaan objektif muridnya, baik fisik, mental, dan pengetahuan, sehingga dapat mengkomunikasikan segala sesuatunya selama proses pengajaran secara benar.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh berkata; “Seharusnya guru memilik pengetahuan atau pertimbangan yang memadai tentang muridnya, sehingga ia dapat menilai pemikiran dan kesiapan muridnya untuk menerima apa yang dikatakannya. Selanjutnya C.C.Adams bahwa Muhammad Abduh sangat menguasai masalah-masalah Ahli sunnah secara mendalam baik literature primer dan sekunder yang selalu dirujuk dalam pengajarannya. Guru yang professional menurutnya, setidaknya memiliki kompetensi berikut ini; Prilaku yang baik , pengetahuan luas , menguasai materi.
Dari penjelasan tentang kompetensi yang disebutkan di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru yang profesional harus memiliki kompetensi berprilaku yang baik, berwawasan dan berpengetahuan yang luas, dan menguasai materi. Ketiga katagori kompetensi tersebut masih dikenal dalam ilmu pendidikan sekarang ini. Prilaku yang baik sebagai kompetensi guru disebut oleh Muhammad Uzer Utsman dengan kompetensi professional .
c. Sifat Seorang Pendidik
Pendidikan menurut Muhanumad Abduh hendaknya berusaha menghasilkan manusia yang berakhlak mahmudah. Oleh karena itu, pendidikan harus menghasilkan insan-insan berakhlak mahmudah. Karena di antara hasil yang akan dicapai dalam pendidikan pembinaan akhlak mulia, maka sudah pasti guru sebagai tenaga pendidik juga harus berakhlak mahmudah. Muhammad Abduh tidak merinci secara detail apa itu akhlak mulia, tetapi ia mengungkapkannya secara umum dan global.
Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya.
Dalam rangka mengajarkan akhlak mulia, menurutnya seorang guru harus menjadi tauladan bagi anak didiknya, sehingga kesempurnaan sikapnya menjadi pelajaran tambahan bagi mereka (anak didik). Prilaku yang baik dari seorang guru akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan. Hendaknya guru (kata Muhammad Abduh) berusaha menselaraskan Islam dengan peradaban modern dan Islam dengan ilmu. Hendaknya juga guru mengajar dengan keterangan yang jelas dengan menyebutkan judul atau temanya.
Menurut Muhammad Imarah, bahwa Muhammad Abduh menganut madzhab pendidikan demokratis. Ia berpendapat pendidikan harus memperhatikan perkembangan dan periode anak, sehingga bisa menyesuaikan, tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran yang layak digunakan oleh guru.
d. Panduan Khusus Pendidik Islam
Telah dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa agama tidak satu tetapi bermacam-macam dan demikian juga madzhab-madzhab dalam agama masing-masing. Oleh sebab itu, hendaknya satu agama dengan agama yang lain saling menghormati akidah masing-masing dan tidak menghina akidah orang lain. Dari keterngan singkat tentang pelajaran agama terdahulu, dapat dipahami dalam konteks pendidikan guru menurut Muhammad Abduh harus memberikan materi-materi pelajaran agama yang dapat memperkuat akidah anak didik. Guru tidak boleh memberi keterangan yang berupaya untuk mendiskriditkan agama yang lain.
Sebagai panduan operasional dalam pelajaran agama, hendaknya guru menerapkan nilai-nilai berikut: Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya. Membangkitkan rasa kemanusiaan. Hendaknya ditanamakan oleh guru kepada semua anak didik bahwa semua manusia bersaudara bersumber dari satu bapak dan satu ibu, maka hendaknya yang satu memberi manfaat bagi yang lainnya. Oleh sebab itu semua manusia harus saling mencintai.
2). Anak Didik
a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Didik.
Dalam pembahasan pasal ini lebih dahulu kita ketahui bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang fitrah manusia dalam kaitannya dengan perkembangan anak didik. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Muhammad Imarah, pada umumnya pendidikan sekolah pada masa Kerajaan Utsmani tidak membuahkan hasil apa-apa, dan para lulusan sekolah-sekolah dasar itu tidak memperhatikan terjadinya proses perkembangan fitrah mereka. Terbukti bahwa perilaku mereka tidak mencerminkan kesucian fitrah mereka.
Kritikan Muhammad Abduh di atas tentang pelaksanaan pendidikan di Kerajaan Ustmani tersebut lebih lanjut dapat dipahami dari pendapatnya bahwa setiap individu memiliki potensi fitri yang baik, namun individu tersebut kemudian dapat berubah-rubah corak dan bentuknya sejalan dengan pendidikan yang ditempuh atau dialaminya. Lebih tegas, ia mengatakan bahwa manusia tidak jadi apa-apa kecuali dengan pendidikan dengan memahami ajaran yang dibawa oleh Rasul, baik dalam aspek hukum, hikmah, dan lain-lain.
Lebih lanjut, dalam membicarakan fitrah manusia, Muhammad Abduh pernah mengutip hadits nabi pada pidato resepsi di al-Jami’ah al-Khariyah “kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, faabawahu yuhawwidanihi au yunashshiranihi au yumajjisanihi” kata “yuladu ‘ala al-fitrah” adalah menunjukkan pada potensi bawaan manusia, sedangkan tiga fi’il mudhari itu [yuhawidanihi, yunashshiranihi, dan yumajjisanihi,] mengidentifikasikan suatu proses perkembangan anak didik melalui pendidikan. Potensi bawaan [fitrah] ada yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah.
Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Fitrah aqliyah manusia, erat hubungannya dengan kualitas gizi anak selama dalam kandungan dan selanjutnya disempurnakan dalam masa penyusuan selama dua tahun. Setelah dua tahun kata Andi Hakim Nasution, perkembangan otak akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan sebagai alat kecerdasan tidak berarti lagi. Akan tetapi kecerdasan bayi itu akan bertambah melalui kegiatan fisiknya yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam hadits yang menjelaskan tentang fitrah manusia tersebut diatas, dapat dipahami bahwa manusia lahir membawa fitrah. Fitrah lahiriyah berupa potensi aqliyah dan nafsiyah. Kedua fitrah manusia itu berkembang dengan melalui proses pendidikan. Dengan demikian, Muhammad Abduh mengakui pembawaan lahir dan mementingkan proses pendidikan. Jadi jelaslah bahwa Muhammad Abduh sangat dekat dengan aliran konvergensi. Dalam kata lain, proses perkembangan aqliyah dan nafsiyah manusia setelah dua tahun banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (empiris).
b. Tugas Anak Didik
Tugas sebagai anak didik tentunya bermacam-macam. Ada tugasnya terhadap dirinya, terhadap orang tuanya, terhadap teman-temannya, terhadap gurunya, terhadap pendidikan, dan sebagainya. Tugas anak didik terhadap pendidikan menurut Muhammacl Abduh adalah belajar bersungguh-sungguh. Pendapatnya ini didukung oleh data bahwa ketika ia mengajar di Universitas al-Azhar, mewajibkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajar, tidak boleh memiliki kesibukan selainnya. Ia juga mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti ujian umum tahunan setelah mereka mengikuti ujian sesuai dengan tingkatan, kepintaran, dan kapasitas keilmuan mereka secara lisan.
c. Fungsi Motivasi Bagi Anak Didik
Pada fitrahnya, manusia ingin mulia dan dimuliakan. Salah satu bentuk pemuliaan di sekolah adalah pemberian beasiswa, baik beasiswa prestasi ataupun beasiswa tidak mampu. Dalam hal ini, Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di Universitas al-Azhar memberikan beasiswa bagi para mahasiswa berprestasi sebagai motivasi untuk lebih bersemangat lagi dalam belajar. Beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa termasuk leaving cost. Sistem pendidikan yang memberikan beasiswa adalah salah satu bentuk memotivasi anak didik yang masih relevan sampai sekarang. Beasiswa sebagai reword sangat berguna untuk membangkitkan semangat belajar yang berimplikasi pada kompetisi anak didik, karena padu dasarnya manusia ingin lebih mulia dari yang lainnya.
Konsep ini jugalah yang tersirat dalam ayat fastabiqul al-khairat. Muhammad Abduh tidak saja memperhatikan kesejahteraan mahasiswa, ia juga memperlihatkan kesejahteraan guru-guru dengan memberikan perumahan khusus untuk mereka bagi mereka juga disediakan kantor-kantor khusus untuk bekerja.
d. Perpustakaan dan Anak Didik
Belajar untuk memperoleh ilmu tentu tidak cukup hanya didapatkan dari guru. Demi memperluas wawasan, anak didik harus senang membaca. Senang membaca, salah satunya dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fasilitas perpustakaan adalah salah satu wadah untuk menciptakan cinta membaca. Dalam kaitannya dengan perpustakaan, Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di Universitas Al-Azhar sangat apresiatif terhadap pengembangan, perpustakaan yang menginventarisir buku-buku. Sebagian perpustakaan itu ditempatkan di mesjid-mesjid yang dekat.
Oleh sebab itu, Muhammad Abduh menyediakan anggaran [budget] khusus untuk menambah buku-buku di perpustakaan, sehingga perpustakaan Universitas al-Azhar mengoleksi buku-huku dari berbagai ilmu pengetahuan.
e. Sistem Drop Out dan Anak Didik
Dalam rangka menciptakan kesungguhan belajar anak didik, maka perlu dibuat aturan-aturan, salah satunya adalah sistem droup out. Berkenaan dengan drop out, Muhammad Abduh juga menerapkan sistem ini di Universitas al-Azhar. Paling lama seseorang kuliah di Universitas al-Azhar lima belas tahun. Delapan tahun pertama, mahasiswa bisa mendapatkan ijazah lokal dan empat tahun berikutnya bisa mendapatkan ijazah sarjana.
Jika dibandingkan dengan masa studinya dalam menempuh gelar ‘Alim di lembaga pendidikan ini, maka Muhammad Abduh dapat dikatagorikan mahasiswa yang sungguh dalam belajar, karena ia dapat menyelesaikan studinya selama sebelas tahun. Sistem drop out, masih sangat diperlukan dan relevan, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya yang baik, dalam hal ini budaya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

BAB II
PENETAPAN POSISI TOKOH
1.    Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Dalam hal kurikulum seperti apa yang di katakan oleh Muhammad Abduh diatas, maka bisa di katakan dia termasuk dalam Aliran Pragmatis, karena menganggap bahwa kolaborasi antara ilmu agama dan ilmu umum akan menciptakan akhlak yang baik bagi para pelajar atau peserta didik.
2.    Dalam metode menghafal, Abduh berpendapat bahwa hal itu akan membuat anak didik bahkan dirinya prustasi karena tdk memahami apa yang di hafal, menghafal boleh asal jangan sampai hanya berhenti disitu, harus ada tindak lanjut untuk memahami apa yang dihafal. Dan hal ini termasuk dalam Aliran Pragmatis, sebagaimana kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Khaldun terhadap sistem menghafal yang dipakai pada masa itu.
3.    Dari beberapa metode yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh, seperti metode Tanya Jawab dimana seorang anak didik tidak boleh merasa cukup dengan apa yang disampaikan oleh sang pendidik akan tetapi harus memperdalam dengan terus belajar dengan apapun caranya, maka masuk dalam Aliran Pragmatis. Dan sebagai bukti lagi bahwa apa yang disampaikan oleh Abduh diatas adalah masuk dalam Aliran Pragmatis adalah metode Darmawisata, metode Demonstrasi dan metode Latihan. Dimana anak didik tidak hanya menerima materi-materi saja akan tetapi perlu langsung terjun kelapangan dan sekaligus mempraktekan materi-materi itu sehingga akhirnya sang anak didik bisa benar-benar berilmu (ilmu yang bisa difungsikan sebagaimana fungsi dalam dunia nyata, misalkan Pilot nanti bisa menerbangkan pesawat dan yang lainnya).
4.    Hendaknya seorang guru kata Muhammad Abduh dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerimanya (materi – pelajaran). Hal ini juga nampak dalam Aliran Pragmatis.
5.    Kritikan Abduh dalam hal hubungan guru dan anak didik yang terkesan birokratis antara atasan dan bawahan ini adalah seperti yang sampaikan oleh Ibnu Khaldun, bahwa hubungan antara guru dan anak didik harus harmonis, artinya rilek tidak ada tekanan rasa taku satu sama lain, sehingga akan memunculkan hubungan timbal balik yang akan memudahkan transformasi ilmu dari seorang guru terhadap muridnya. Maka termasuk Aliran Pragmatis.
6.    Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya. Dalam hal ini Abduh lebih condong dengan Aliran Konservatif, yang menganggap bahwa guru adalah pengisi jiwa seorang anak didik, panutan anak didik, sehingga harus mempunyai sifat-sifat yang baik.
7.    Abduh berpendapat bahwa seorang guru dalam menjelaskan tentang akidah, maka guru tidak boleh mendiskriditkan a agama lain. Dalam hal ini Muhammad Abduh dapat disebut penganut Madzhab Pluralisme dalam ajaran agama.
8.    Dari keterangan tentang fitrah manusia tersebut di atas, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah, tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativesme dan empirisme.
Jadi secara garis besar, bahwa pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah termasuk dalam Aliran Pragmatis.
BAB III
KRITIKAN
1.    Menurut Abduh : Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan Islam-Kristen. Entah apa yang dimaksudkan dengan mengabaikan dalam pandangan Muhammad Abduh diatas, namun yang jelas dengan adanya perbedaan itulah rahmatal lil alamin Islam bisa nampak dan terdapat hikmah yang sangat besar. Dan ungkapan ini terkesan menafikan hasil ijtihad dari ulama’-ulma’ terdahulu yang telah diakui keautentikannya. Memang semua itu bisa dimaklumi karena Abduh adalah termasuk orang yang mengedepankan rasional yang bisa kita lihat dari beberapa pendapatnya. Kemudian yang ditekankan adalah menyoroti perbedaan antara Islam dan Kristen, tetapi dalam metode pengajaran seorang guru, dia mengungkapkan bahwa seorang guru tidak boleh mendiskriditkan agama lain. Lalu bagaimana cara penyorotan yang akan mengasilkan hasil yang maksimal terhadap anak didik yang sampai menancap didalam hati mereka terhadap perbedaan dua agama itu bila harus tidak ada diskredit salah satunya?
2.    Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak. Pembinaan akhlak adalah suatu masalah yang komplek dala rana dunia pendidikan zaman sekarang, banyak siswa yang menganggap gurunya sebagai seorang teman biasa. Dalam hal ini perlu adanya sebuah sistem yang mngedepankan nilai-nilai moral yang lebih tinggi, dan hal itu tidak ada kecuali pada pelajaran agama. Agama sangat menekankan para pemeluknya berakhlak mulia, sehingga yag lebih diutamakan adalah materi pelajaran agama yang menjelaskan tentang akhlak tentunya. Pencampuran dua hal yang tidak sama malah akan merancaukan anak didik yang belum berkompeten. Sehingga harus ada pemilahan dua hal yang tidak sama tersebut, baru kemudian setelah anak didik telah mempunyai besik yang mapan, kita masukan hal yang berbeda kedalamnya.
3.    Metode menghafal, dalam beberapa karyanya, tidak ada kejelasan apakah Abduh menggunakan metode ini atau tidak, namun ada indikasi bahwa yang digunakannya dalam al-azhar adalah metode diskusi. Metode menghafal juga perlu diterapkan, namun diteruskan pada pemahaman apa yang dihafal, sehingga dimengerti apa yang dipelajarinya. Karena suatu hafalansangat membantu anak didik dalam memahami suatu fan ilmu, seperti yang diterapkan oleh ulama’-ulama’ klasik dan terbukti bahwa mereka berhasil yang akhirnya mereka menjadi ilmuan-ilmuan besar dalam islam. namun tentunya bukan hanya sekedar menghafal saja tanpa di barengi usaha untuk memahami. Hafalan dan usaha pemahan haruslah balance agar berhasil dalam mempelajari sebuah fan ilmu.
4.    Keterangan yang sedikit dan padat mengenai sasaran, atau dengan bahasa sekarang adalah cara belajar siswa aktif (CBSA). Satu sisi memang bagus untuk menimbulkan siswa bisa terbiasa dengan berusaha untuk memahami, sehingga bila dia belum paham dengan keterangan dari guru akan mencari usaha lain. Dengan membaca buku atau bertanya terhadap temannya atau gurunya. Namun satu sisi juga menjadi malapetaka bagi siswa itu sendiri, bila hal yang baik dari suatu sistem itu tidak disadari oleh sang siswa, karena seakan-akan dia sudah dianggap bisa oleh sang guru dengan hanya keterangan yang sedikit, dan tidak didukung dengan kesedaran diri untuk bennar-benar bisa menggapai ilmu, seperti realita yang terjadi dengan para pelajar negeri ini saat ini, maka hasilnya pun telah kita lihat bersama dari pembelajaran CBSA di tanah air ini. tidak sedikit dari pemuda kita yang tidak malah pintar tapi malah sebaliknya.
5.    Pembiasaan berpikir sesuai dengan hukum akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa tidak wajib bepikir kecuali untuk sesuatu yang benar. Jika seseorang menemukan jalan berpikirnya benar, maka ia boleh mengikutinya dan jika ia menemukan jalan berpikirnya salah, maka ia harus meninggalkannya. Mengedepankan akal dalam hukum. Dari sini kita tau bahwa jelaslah Muhammad Abduh adalah golongan rasionalisme. Ini akan memunculkan beberapa mujtahid yang perlu ditinjau ulang hasil ijtihadnya, karena tidaklah semudah itu untuk bisa menghasilkan sebuah putusan hukum yang autentik. Sudahkah orang itu memenuhi beberapa syarat dalam berijtihad? Sehingga sah apa yang telah diijtihadkan darinya. Pembiasaan berpikir yang mengedepankan akal ini juga akan menjadikan menyisihkan hal-hal yang tidak masuk akal, semuanya harus rasional, yang tidak rasional tidak diterima. Ini jelas sama dengan pola pikir dari sekte-sekte terdahulu dalam Islam. bahkan ironi bila pola seperti ini di bawah dalam rana tauhid.
6.    Kemudian masalah metode diskusi, satu sisi sangat baik diterapkan, karena dengan metode diskusi akan menjadikan sebuah motivator tersendiri bagi anak didik disamping akan mendapat ilmu yang belum dia ketahui dari teman diskusi. disisi lain, perbaikan tujuan dan jiwa besar harus ditanamkan terlebih dahulu pada anak didik. Karena dengan tujuan yang benar, dia akan mendapat beberapa manfaat dari apa yan dihasilkan dari diskusi itu bukan sekedar menjadi singa forum akan tetapi akan bisa membentuk jiwa anak didik untuk siap menghadapi permaslahan yang ada di masyarakat ketika dia telah terjun dalam kemasyarakatan. Dengan jiwa yang besar artinya, dia akan senang hati menerima pendapat yang benar meskipun itu datang dari lawannya dalam diskusi tanpa ada kedongkolan karena merasa terkalahkan dalam diskusi. dan dewasa ini, dual hal ini lah yang mulai ditinggalkan oleh kaum terpelajar Negeri ini. padahal bisa sangat fatal bila dua hal ini hilang dari jiwa seorang ilmuan atau calon ilmuan ini. karena bila sudah hal ini terjadi (tidak dengan tujuan yang benar dan tidak berjiwa besar) maka apa yang dia dapat dari diskusi itu malah bisa menjadi malapetaka bagi dirinya. Karena suatu hal meski itu adalah hal yang baik namun diperoleh dengan tidak baik, tentunya akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula. Misakan saja penuntut ilmu atau pelajar, bila dia dalam mencari ilmu tidak dengan tujuan yang benar, maka ketika ilmu telah didapat pasti akan disalahgunakan atau bisa dikatakan tidak bermanfaat. Dalam artian menurt aliran konservatif adalah ilmu yang manfaat adalah semakin sesorang itu berilmu, maka akan semakin baik ibadahnya dan semakin dia bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya.
7.    Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya. Padangan seperti ini dari sisi kemanusian memang sangat harus diterapkan dan dinampakkan dalam realita, namun tetap beranggapan dalam keyakinan bahwa apa yang menjadi ajaran agama lain adalah salah dan harus ada penolakan secara individu (dalam keyakinan mengakui bahwa itu salah dan harus ingkar), meski dalam sebuah komunitas kita tidak boleh menistakan idiologi lain, karena akan melanggar hak kebebasan manusia itu sendiri.
8.    Dari penjelsan tersebut di atas tentang lama masa kuliah dan sistem drop out, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan gelar sarjana minimal membutuhkan waktu dua belas tahun. Jika ditarik dalam konteks sistem pendidikan tinggi saat ini, maka masa dua belas tahun bisa sampai pada tingkat doktoral. disisi lain memang menuntut ilmu tidaklah dibatasi ruang dan waktu, jadi penekanan waktu yang lama adalah suatu hal yang baik. Pengisolasian menuntut lmu yang seharusnya tidak dibatasi oleh ruang yang menjadi masalah. Sebuah formalitas saja harus ditempuh dengan masa 12 tahun. Padahal bila bisa kurang dari itu, namun tidak berhenti hanya disitu dalam menuntut ilmu, seseorang akan bisa bisa bermanfaat bagi orang lain misalnya lingkungan tempat di lahir atau juga keluarga dengan ilmu yang sudah di dapat, dan orang itu bisa memperdalam ilmunya lagi. Tentunya ada dua manfaat yang didapat, satu kembali pada dirinya yaitu, dia bisa memperdalam ilmunya. Dan yang kedua adalah dia bisa menyebarkan ilmu yang telah dia dapat.

BAB IV
KESIMPULAN
1.    Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.
2.    Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa, Melalui al-Azhar, Muhammad Abduh mulai merekonstruksi kurikulum, terutama dengan memberikan materi baru, yakni logika dan filsafat. Demikian pula ilmu-ilmu lain, perlu untuk dijadikan perbendaharaan bagi lulusannya yang diharapkan menjadi ulama modern. Karena Menurut Abduh menganggap bahwa pengajaran yang dilakukan kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.
3.    Selain itu, beliau juga memperhatikan masalah metode pengajaran bahasa arab. Menurut beliau sistem menghafal di luar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
4.    Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Pemikiran dibidang pendidikan dan pengajaran umum:
a.       Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
b.      Perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
c.       Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam. Jika ia rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka baik pula umat Islam.
d.      Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
5.    Muhammad Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam . Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan masa depan.
6.    Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih ada yang relevan pada bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut.
7.    Dari keterangan yang panjang lebar tentang sifat guru di atas, secara umum itu mengandung akhlak mahmudah. Sifat-sifat para nabi, khususnya nabi Muhammad Saw dikenal dengan empat sifat (sidiq, amanah, tabligh, fatanah). Empat sifat nabi Muhammada Saw itu dapat mewakili akhlak mahmudah.
8.    Dari uraian Muhammad Abduh tentang metode pengajaran tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru dalam mengajar tidak perlu menerangkan panjang lebar kalau intinya hanya sedikit, tetapi lebih baik singkat padat dan mengenai sasaran (qalla wa dalla). Hal ini juga menjadi indikasi bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menginginkan anak didik lebih aktif dan kreatif, sehingga guru hanya membantu dan mengantarkan anak didik pada pemahaman materi. Dalam kata lain, guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator. Dalam konteks kekinian, konsep metode pengajaran yang dimaksud oleh Muhammmad Abduh di antaranya sesuai dengan metode diskusi, tanya jawab, dan cara belajar siswa aktif.
9.    Dari uraian tersebut di atas tentang kewajiban belajar dan ujian, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh menerapkan disiplin belajar yang baik. Kemudian sistem ujian umum tahunan yang dimaksud berbentuk tes tulis setelah dilakukan tes lisan untuk melihat kemampuan mahasiswa yang variatif. Konsep disiplin belajar yang diterapkan oleh Muhammad Abduh masih relevan sampai sekarang. Sistem boarding school dan beberapa pesantren di Indonesia juga masih menerapkan system ini. Adapun sistem ujian lisan dan tulis inipun masih banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
10.    Dari penjelasan tersebut di atas tentang perpustakaan, dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan tidak bisa terlepas dari perpustakaan, apalagi perguruan tinggi. Di antara fungsi perpustakaan bagi anak didik, yaitu: alat memotivasi untuk cinta membaca, fasilitas untuk memperdalam ilmu, dan membantu anak didik yang tidak mampu membeli buku.


DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ilyas. 1996. Pioneers of Islamic Revival. Bandung: Mizan
Imarah, Muhammad. 2007. 45 Tokoh Pengukir Sejarah (terj). Solo: Era Intermedia
Mohammad, Herry. dkk. 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Mj Achyadi, Mohammed. file:///E:/syaikh-muhammad-abduh-dan-reformasi.html Selasa, Februari 02, 2010.C. C Adams, file:///E:/sekilas-pandangan-mabduh-tokoh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar