Rabu, 25 Januari 2012

Empat Puluh Dasar Agama

                                           Empat Puluh Dasar Agama
                                           Penulis: Imam al-Ghazali
                                           Diterjemahkan dari judul asli, Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din

Dalam kitab Kasyf al-Dzunnun dikatakan: naskah Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din ini merupakan bagian dari kitab al-Ghazali yang berjudul Jawahir al-Qur’an. Namun al-Ghazali tidak berkeberatan jika naskah ini diterbitkan secara terpisah dan menjadi kitab yang mandiri.

Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah swt. penguasa alam semesta. Salawat serta salam Allah swt. semoga tercurah atas Muhammad dan semua keluarganya.
Amma ba’du. Barangkali Anda akan berkata bahwa ayat-ayat yang kami lansir dalam bagian kedua (yakni kitab Jawahir al-Qur’an, penj.) mencakup beragam kelompok ilmu dan amal perbuatan, jadi apakah mungkin menguraikan pesan-pesan dan penjelasan globalnya secara terperinci yang memugkinkan adanya penarikan pemikiran dari tiap-tiap satuannya, agar masyarakat mempunyai pengetahuan tentang pintu-pintu kebahagiaan dalam ilmu dan amal secara detil serta mudah bagi mereka mengakses kunci-kuncinya melalui mujahadah dan tafkir?. Menurut saya, hal itu sangat mungkin. Secara global ayat-ayat tersebut membagi garis besar maksudnya menjadi ilmu dan amal. Amal  terbagi menjadi amalan yang lahir dan batin. Amalan batin terbagi menjadi amalan yang harus dijauhi (tazkiyah) dan amalan yang patut dijadikan perhiasan (tahliyah). Amalan-amalan ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam: ilmu-ilmu dan amalan-amalan lahir, akhlak tercela yang harus dibersihkan dan akhlak terpuji yang harus dijadikan perhiasan. Tiap-tiap bagian ini merujuk kepada sepuluh dasar agama. Nama kitab ini adalah Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din. Barang siapa yang hendak menerbitkannya secara terpisah maka tidak masalah karena ia juga mencakup mutiara ilmu-ilmu al-Qur’an.

Bagian Pertama
Tentang garis besar ilmu dan sepuluh dasar-dasarnya

Dasar pertama tentang Dzat:
Segala puji bagi Allah swt. yang mengenalkan (diri) kepada hamba-hamba-Nya melalui Kitab yang diturunkan melalui lisan Rasul Saw.-Nya, bahwa Ia adalah zat yang Esa dan  tidak memiliki sekutu. Yang Tunggal dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Yang kekal dan tidak ada lawan bagi-Nya. Yang mengesakan diri tanpa ada yang menyangkal. Yang sendiri dan tidak ada yang sepadan dengan-Nya. Yang qadim dan tidak ada awwalnya. Yang azali dan tidak ada permulaannya. Yang selalu Ada tanpa akhir. Yang kekal tanpa ujung. Yang selalu jaga tanpa putus-putusnya. Yang langgeng dan tidak akan binasa. Yang selalu dan selalu dilingkari sifat-sifat keagungan. Yang tidak bakal terjamah hukum keterpisahan dan kehabisan ajal. Ia adalah yang Awal dan Akhir yang Zahir dan yang bathin. Ialah yang maha tahu segala sesuatu.

Dasar kedua, tentang ke-Kudusan
Ia bukan jasad yang dapat diabstraksikan. Bukan subtansi (jauhar) yang terukur. Ia tidak menyerupai jasad yang dapat diukur maupun dapat dibagi. Ia bukan subtansi dan tidak ada subtansi yang menempel pada-Nya. Ia bukan aksiden (‘ardl) dan tidak ada aksiden yang bersandar dengan-Nya. Ia tidak menyerupai sesuatu yang maujud. Dan tiada maujud yang menyerupai-Nya. Tidak ada sesuatupun yang yang serupa dengan-Nya dan Ia bukan yang serupa dengan sesuatu. Tidak ada ukuran yang membatasi-Nya. Arah tidak melingkungi-Nya, tidak ada sisi-sisi yang mengurung-Nya. Langit tidak melingkupi-Nya. Ia tinggal (mustawa) di atas arsy seperti Ia katakan dan dengan arti yang Ia maksudkan. Istawa-Nya benar-benar steril dari sentuhan dan ketetapan, dari (konotasi) berdomosili, bergeser dan berpindah. Arsy tidak memangku-Nya. Tetapi Arsy dan semua yang memikul-Nya berdiri di atas kelembutan kudrat-Nya, terkendali di atas genggaman-Nya. Ia berada di atas Arsy dan di atas segala sesuatu, bahkan ketinggian bintang surayya tidak menambah kedekatan-Nya dengan Arsy dan langit. Ia menempati posisi yang lebih tinggi di atas Arsy seperti juga Ia menempati derajat yang tinggi di atas bintang surayya.

Namun demikian Ia juga maha dekat dengan segala yang maujud. Ia lebih dekat kepada hamba dari pada urat leher. Ia menjadi saksi atas segala sesuatu. Sebab tidak ada kedekatan jasadi yang menyerupai kedekatan-Nya. Seperti tidak adanya zat jasadi yang menyerupai zat-Nya. Ia tidak tinggal di  dalam sesuatu dan tidak ada sesuatu yang tinggal dalam diri-Nya. Maha suci Ia dari kungkungan tempat, seperti kekudusannya dari batasan waktu. Ia Ada sebelum penciptaan waktu dan tempat. Keberadaan Allah swt. saat ini seperti keberadaan-Nya sediakala. Maha suci Ia dari perubahan dan pergeseran. Tidak ada peristiwa yang mempengaruhi-Nya. Ia selalu diliputi oleh sifat-sifat keagungan yang mensucikan-Nya dari kebinasaan. Sifat-sifat sempurna-Nya tidak memerlukan penambahan dan penyempurnaan.

Keberadaan zat Allah swt. dapat diterima oleh akal dan dapat disaksikan lewat hati. Dan di rumah keabadian (dar al-Qarar) Ia akan memberikan kenikmatan serta kelathifan kepada hamba-hamba yang taat. Kenikmatan tersebut kemudian disempurnakan dengan menatap wajah-Nya yang mulia.

Dasar ketiga, tentang Kudrat
Ia maha hidup, maha kuasa, maha pemaksa dan maha perkasa. Tidak ada kekuatan dan sifat lemah yang melekat pada-Nya. Ia tidak terkena kantuk atau tidur. Tidak ada kefanaan dan kematian yang mendekati-Nya. Ia adalah pemilik kerajaan, keagungan dan alam jabarut. Padanya terengkuh kekuasaan, kesultanan dan keperkasaan, penciptaan dan perintah. Langit terlipat di tangan kanan-Nya. Makhluk-makhluk bersimpuh dalam genggaman-Nya. Ia sendirian dalam mencipta dan berkreasi. Ia tidak memerlukan mitra dalam mengadakan dan membentuk, menciptakan makhluk dan perbuatan mereka, menentukan rizki dan ajal mereka. Tidak ada ketentuan yang menyimpang dari genggaman-Nya. Tidak ada pengelolaan yang luput dari kuasa-Nya. Kekuasan-Nya tidak akan pupus dan pengetahuan-Nya tidak akan surut.

Dasar keempat, tentang Ilmu
Ia maha mengetahui segala obyek pengetahuan. Meliput semua yang berlaku di pelosok bumi hingga yang di langit paling atas. Tidak sebutir debupun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya. Ia bahkan kuasa mengetahui semut hitam yang merangkat di atas padang sahara yang luas di malam yang pekat, menangkap gerak atom (dzurr) di udara. Mengetahui yang samar dan terselubung. Dengan pengetahuan-Nya yang qadim adan azali Ia dapat mengetahui yang terlintas dalam lubuk hati dan yang tergerak dalam pikiran serta terbungkam dalam kesamaran. Ia senantiasa memiliki sifat semacam itu. Pengetahuan-Nya bukan pengetahuan yang diperbarui sebagai hasil perpindahan dan perubahan zat-Nya.

Dasar kelima: tentang Kehendak
Ia sang empunya kehendak atas segala yang ada. Perencana kejadian-kejadian dan peristiwa. Tidak ada sesuatupun--yang sedikit atau banyak, kecil mauapun besar, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya, iman atau kufur, diketahui maupun yang tidak,  menguntungkan atau merugikan, bertambah atau berkurang, taat atau maksiat,-- di atas kerajaan bumi dan alam malakut ini kecuali terselenggara atas keputusan, aturan, kebijakan serta kehendaka-Nya. Apa yang dikehendakinya pasti ada dan apa yang tidak diinginkaannya niscaya tidak bakal ada. Kedipan mata atau lintasan pikiran tidak lepas dari kehendak-Nya. Ia adalah mubdi’ al-mu’id. Yang maha melakukan apa yang dikehendaki. Tidak ada yang (sanggup) menghambat kebijakan-Nya. Tidak ada tempat berkelit dari ketentuan-Nya. Bagi seorang hamba tidak ada tempat berlari dari perbuatan maksiat (membangkang) terhadap-Nya kecuali dengan pertolongan dan rahmat dari-Nya. Tidak ada kekuatan untuk bertakwa kepada-Nya kecuali atas pertolongan dan kehendak-Nya. Andai saja manusia, jin, malaikat dan setan bersatu padu, bahu membahu untuk memindah, menggerakkan atau mempertahankan posisi  sebutir debu yang ada di alam tanpa ada kehendak dan kemauan-Nya, mereka pasti akan gagal melakukannya. Kehendak Allah swt.  berdiri di atas zat-Nya, sekaligus termasuk bangunan sifat-sifat-Nya. Ia selalu akan memiliki sifat semacam itu. Apapun yang Ia kehendaki pada zaman azali (zaman sebelum penciptaan makhluk) untuk mewujudkan sesuatu pada waktu yang telah ia tentukan, pasti bakal terwujud persis seperti yang Ia kehendaki pada zaman azali, tidak akan terlalu awal atau terlambat. Semua akan terjadi sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Tanpa adanya perubahan. Ia mengatur segala urusan tanpa mensistematisasi pemikiran atau menunggu waktu terlebih dahulu. Karena itu tidak ada persoalan apapun yang menggangunya.

Ketahuilah, bahwa persoalan ini banyak mengelincirkan kaki. Banyak langkah-langkah kaki yang menjadi korban. Hal ini disebabkan oleh hakikat kesempurnaannya yang terkait dengan gelombang laut yang besar di balik lautan tauhid. Sementara mereka mencarinya melalui penalaran dan perdebatan. Rasul Saw. Saw. bersabda, “suatu kaum tidak akan tersesat setelah adanya petunjuk, kecuali jika mereka mendatangi perdebatan-perdebatan”. Mereka mengambil dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mentakwilkannya, padahal mereka bukan ahli takwil. Kalau saja semua orang berhak melakukan takwil tentunya Rasul Saw. tidak akan mendoakan Ibnu Abbas r.a., “Ya Allah swt. pahamkanlah ia tentang urusan agama dan jadikanlah ia orang yang alim tentang takwil”. Dan tentunya Ya’kub juga tidak akan berkata kepada Yusuf—dan kepada nabi kita—“demikianlah Tuhanmu memilih kamu dan mengajarimu tentang takwil peristiwa-peristiwa”. Pengarang kitab al-Kasysyaf dalam tafsirnya mengatakan: (yang dimaksud ayat-tersebut) adalah makna-makna Kitab Allah swt. dan sunah para Rasul Saw. Oleh karena itu apa yang menjadi kesamaran bagi manusia (baik dalam maksud dan tujuannya) maka tafsirkan dan terangkan kandungan hikmahnya.

Banyaknya kaki yang tergelincir dalam persoalan ini disebabkan karena sikap mereka yang mengekor orang-orang yang suka mengikuti ‘ayat-ayat’ yang samar (mutasyabihat) untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah swt. dan orang-orang yang mempunyai kedalaman ilmu (rasikh). Sementara mereka bukanlah orang yang rasikh, mereka hanyalah orang-orang bodoh. Dan karena kebodohannya mereka tidak layak memperdebatkan soal ini. Karena itu kekanglah mereka bersama orang-orang yang dungu dari apa yang tidak laik mereka katakan. Dikatakan  kepada mereka “diam kalian, karena bukan untuk ini kalian diciptakan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat, dan merekalah yang akan ditanyai.”. Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata; Rasul Saw. Saw. Menghampiri kami ketika kami tengah berdebat soal qadar. Nabi marah hingga wajahnya yang mulia memerah. Beliau berkata, “apakah untuk ini aku diperintahkan atau apakah untuk ini aku di utus kepada kalian? Sungguh binasa orang-orang sebelum kalian ketika mereka berselisih soal ini. Aku berharap kepada kalian, aku sungguh berharap kepada kalian, jangan pernah berseteru  soal ini.”

Dari Abu Ja’far, ia berkata: aku berkata kepada Yunus bin Ubaid bahwa  aku bertemu dengan sebuah kaum yang berselisih tentang qadar. Yunus lalu mengatakan, “kalau saja mereka memperhatikan dosa-dosa mereka tentu mereka tidak akan memperselisihkan soal qadar. Misykat  sebagian mereka akan dipenuhi cahaya yang dinyalakan dari cahaya Allah swt.. Minyak mereka akan begitu jernih  sampai-sampai (minyaknya saja) bisa menerangi meski belum tersentuh api. Lalu cahayanya menyala di atas cahaya, dan seantero sudut-sudut alam malakut menjadi terang benderang oleh bias cahaya Tuhannya, dengan begitu mereka dapat menangkap persoalan-persoalan sebagaimana semestinya. Dikatakan kepada mereka, “bertingkahlah dengan tingkah Allah swt. dan diamlah. Jika disebut-sebut soal qadar Allah swt., diamlah.” Karena itulah ketika Umar ditanya tentang qadar, ia menjawab: “itu merupakan lautan yang dalam, jadi jangan kau selami.” Ketika kembali ditanya ia menjawab: ia adalah jalan gelap, jangan kau lalui.” Ketika masih juga ditanya untuk ketiga kalinya, ia menjawab: “itu rahasia Allah swt. yang disamarkan dari kalian, karena itu jangan kau selidiki.” Barang siapa yang ingin mengetahui rahasia malakut maka harus melewati pintunya dengan mahabbah, ikhlas, jujur, tidak memusuhi mereka, menjalani perintah-perintah dan berusaha melakukan apa yang mereka diridlai. Begitu juga siapa saja yang berhasrat mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan (rububiyah), sudah sepatutnya melewati pintu Allah swt. dengan jalan mahabbah dan ikhlas, jujur dan mengagungkan, malu dan melaksanakan perintah-perintah, meninggalkan maksiat, bersungguh-sungguh dan bersiap menerima taburan rahmat-Nya, sebagaimana sabda Rasul Saw. Saw. “sesungguhnya pada hari-hari dalam tahun kalian Tuhan menaburkan rahmat untuk kalian. Maka siapkan diri kalian untuk menyongsongnya”, dan mengupayakan apa yang diridali-Nya. Namun apabila tidak mampu untuk itu kita harus terus meneguhkan keyakinan sebagaimana yang dilakukan Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, ketika mereka mengatakan, “menumbuhkan kemampuan hamba adalah pekerjaan Allah swt., sedang mendayagunakan kemampuan merupakan tugas hamba (hal ini merupakan sesuatu yang hakiki bukan metafor). Kaum Qadariyah menyangkal adanya qadla Allah swt.. Mereka berpandangan bahwa kebaikan dan kejahatan bersumber dari diri mereka sendiri. Dengan pandangan tersebut mereka bermaksud mensucikan Allah swt. dari kezaliman dan perbuatan buruk. Akan tetapi mereka salah karena (dengan begitu) tanpa mereka sadari berarti mereka mengaitkan sifat lemah kepada Allah swt.. Kaum Jabbrariyah bersikukuh dan berpegang erat pada qadla. Mereka berpandangan bahwa kebaikan dan kejahatan berasal dari Allah swt.. Mereka tidak berpandangan bahwa dari diri mereka muncul perbuatan sebagaimana tidak melihat dari benda mati. Dengan pandangan tersebut mereka hendak mensucikan Allah swt. dari sifat lemah. Hanya saja mereka keliru, sebab mereka mengkaitkan sifat zalim kepada Allah swt. dalam usaha mereka tersebut dan mereka juga akan menyesatkan orang-orang bodoh mereka. Mereka akan melakukan perbuatan maksiat dan menisbatkannya kepada Allah swt.. Mereka melepaskan diri dari perbuatan cela dan cacat sebagaimana setan ketika berkata, “karena Kau hukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus”.

Alhasil, kaum Qadariyah menimpakan semua ikhtiar  kepada hamba dalam segala perbuatan. Mereka secara total menolak adanya qadla dan qadar Allah swt. dalam aktifitas ikhtiariah. Sementara kaum Jabbariyah menafikan adanya ikhtiar dan perbuatan hamba. Merka berpegang pada qadla dan qadar. Sudah sepantasnya orang-orang yang berdiskusi dengan mereka menghajar mereka, merobek-robek pakaian dan sorban mereka, mencakar wajah mereka, mencabuti rambut, jenggot dan kumis mereka, mementahkan alasan-alasan konyol mereka dalam segala perbuatan bejad yang mereka kerjakan. Adapun kaum Mu’tazilah hanya menyandarkan kejahatan kepada diri mereka saja. Mereka menetapkan semua ikhtiar kepada mereka sendiri demi menjaga penisbatan sifat buruk dan zalim kepada Allah swt.. Tetapi tanpa disadari mereka telah menisbatkan sifat lemah kepada Allah swt. di sana. Maha suci Allah swt. dari semua itu.

Sementara kelompok ahl sunnah wal jama’ah, menempatkan diri pada posisi di tengah keduanya. Mereka tidak menafikan ikhtiar dari diri mereka secara keseluruhan dan tidak menafikan qadla dan qadar dari Allah swt. secara keseluruhan. Sebaliknya mereka mengatakan, “dari satu sisi perbuatan hamba berasal dari Allah swt., dan dari satu sisi berasal dari hamba sendiri. Hamba memegang kendali ikhtiar dalam mewujudkan perbuatannya.

Ketahuilah, bahwa qadla Allah swt. mempunyai empat sisi: qadla taat, qadla maksiat, qadla nikmat, dan qadla bencana. Sikap lurus (yang tepat) dalam hal ini adalah, jika seorang hamba diqadla untuk taat maka ia harus menerimanya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas sehingga ia akan dimuliakan Allah swt. dengan pertolongan dan petunjuk, sebagaimana firman Allah swt., “Dan orang-orang yang sungguh-sungguh menuju Kami niscaya Kami tunjukkan (kepada mereka) jalan Kami”. Yang dimaksud dalam ayat adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan dan agama Kami niscaya mereka akan ditunjukkan ke arah itu. Jika ia diqadla maksiat, ia harus menerimanya dengan istighfar, taubah dan rasa sesal yang mendalam (nadamah) yang kesemuanya dilakukan dengan kebulatan hati. Sebab Allah swt. berfirman, “sesungguhnya Allah swt. menyukai orang-orang yang taubat dan membersihkan diri”. Jika ia diqadla dengan nikmat, ia harus menerima dengan rasa syukur dan bahagia sehingga ia akan dimuliakan dengan tambahan nikmat, sebagaimana firman Allah swt., “Jika kalian bersyukur Kami tentu akan menambahinya untuk kalian”. Dan jika diqadla dengan bencana, ia harus menmerimanya dengan sabar dan ridla sehingga ia akan diberi kemuliaan dan kehormatan di negeri akhirat, sebagaimana firman Allah swt., “Sesungguhnya Allah swt. mencintai orang-orang yang sabar” serta firman-Nya, “sesungguhnya hanya orang-orang sabar yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Al-Fadlil Imam guru kita, Alauddin dalam syarahnya terhadap kitab al-Mashabih menyebutkan, perbedaan antara qadla dan qadar, qadla adalah wujud global (bukan terperinci) dari segala yang maujud di lauh mahfudz. Sedang qadar adalah bentuk rinci dari qadla yang sebelumnya, dalam bentuk materiil, satu demi satu. Dikatakan lagi, qadla adalah kehendak (iradah) yang bersifat azali, pertolongan ilahiah yang ditetapkan untuk mengatur maujudat (semua susunan maujud) menurut urutan-urutan tertentu. Qadar adalah pengkaitan kehendak (iradah) tersebut dengan sesuatu pada waktu-waktu tertentu.

Umat Islam berselisih pendapat tentang persoalan qadar. Sebagian berpendapat bahwa semua yang ada di alam semesta ini baik kebaikan, kejahatan, aktifitas, berjalan mengikuti qadla dan qadar Allah swt.. Tidak ada ikhtiar hamba dalam hal ini. Pandangan ini disebut Jabbariyah. Jabr adalah paksaan dan tekanan. Mereka mengatakan,  “Allah swt. memaksa hamba-hamba-Nya dalam ucapan dan perbuatan mereka tanpa adanya ikhtiar dari diri mereka.” Mereka menganggap bahwa penyandaran terhadap diri mereka tak ubahnya penyandaran terhadap benda mati. Seperti omongan kita,  “gilingan berputar dan air mengalir ” ini merupakan pendapat yang batil. Sebab jika mereka mengatakan hal ini maka  lepaslah taklif dari diri mereka dan mereka telah menyejajarkan (derajat) diri mereka dengan anak-anak atau orang gila, yakni dalam hal tidak berlakunya khitab bagi mereka. Mereka menjadi kafir karena pendapat mereka termasuk membatalkan Kitab-Kitab dan Rasul Saw.. Kendati mereka berdalih bahwa  hal tersebut demi mengagungkan Allah swt. dan untuk (menyatakan) kehinaan dan kenaifan mereka menolak qadla Allah swt., tapi sebenarnya mereka tengah membuat bid’ah dengan penyimpangan terhadap ijma’. Sebagian mereka berpandangan bahwa semua yang keluar dari diri hamba dan kehendak mereka merupakan hasil dari kehendak dan pilihan mereka sendiri dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan qadla dan kehendak Allah swt.. Mereka disebut kaum Qadariyyah, (justru) karena penafian mereka atas qadar dan bukan karena penetapan mereka. Ini juga pandangan yang batil. Apabila mereka mengatakan bahwa pendapat ini muncul dari keyakinan mereka tentang lemahnya taqdir Allah swt., maka mereka menjadi kafir. Maha suci Allah swt. dari semua itu. Jika mereka mengatakan itu karena kekeliruan ijtihad mereka dan (semua itu) demi mensucikan Allah swt. yang maha Hak dari taqdir-taqdir atas perbuatan buruk, maka sebenarnya mereka telah membuat-buat bid’ah karena penyimpangan mereka terhadap ijma’. Dari kelompok ini ada pihak-pihak yang mengatakan, “semua kebaikan merupakan taqdir Allah swt. dan kejahatan bukan berasal dari taqdir-Nya.” Pendapat yang benar adalah bahwa segala sesuatu mencakup dua qudrat, qudrat Allah swt. dan qudrat hamba. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seorang hamba semuanya keluar karena qadla Allah swt. dan qadar-Nya, tetapi manusia memiliki usaha. Takdirnya berasal dari Allah swt. dan kasabnya dari hamba. Ini adalah pendapat yang moderat antara Jabbariyah dan Qadariyah. Dan itulah pendapat kaum Ahlusunnah wal Jama’ah.

Dalam kitab al-Maqshad al-Aqsha saya telah mengulas tentang  pengaturan zat maha mengatur dan penyebab dari sebab-sebab. Penyebab (awal) yang meletakkan  sebab-sebab, karena penegakannya terhadap sebab universal yang asasi yang permanen yang tidak bakal lenyap dan berubah, seperti bumi langit yang tujuh, bintang-bintang, tata-surya serta rotasinya yang teratur yang tidak berubah dan tidak musnah hingga tiba tempo yang ditentukan, sebagaimana firman Allah swt., “Maka Dia menjadikan tujuh petala langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” Pengaturan Allah swt. terhadap sebab-sebab ini—dengan gerakan-gerakannya yang tertentu, harmonis, teratur sampai penyebab-penyeba timbulnya yang detil—merupakan takdir-Nya. Sedang hukum adalah perencanaan pertama yang universal. Dan amar azali seperti kedipan mata. Sementara qadla adalah ketatapan global terhadap sebab-sebab universal yang abadi. Dan qadar adalah pengarahannya terhadapsebab-sebab universal dengan gerakannya yang tertentu dan teratur hingga penyebabnya yang beragam, terukur sesuai dengan kadar yang diketahui, tidak kurang atau lebih. Karena itu tidak ada satupun yang bisa menyimpang dari qadla dan qadar-Nya. Anda akan kesulitan memahami kecuali dengan perumpamaan. Anda mungkin pernah menyaksikan kotak jam, yang berfungsi mengenali waktu salat, meski Anda tidak melihatnya. Pada kotak jam tersebut pasti terdapat ada alat yang berbentuk silinder yang dipakai untuk menampung air dalam kadar tertentu. Kemudian ada alat lain yang berlubang yang diletakkan di atas air. Ditambah dengan benang yang dibentangkan antara ujung dan pangkalnya ada alat yang berlubang tersebut. pada ujung yang lain yang berada di bawah ada tempat kecil yang di letakkan di atas alar berlubang tadi. Dan di dalamnya ada bola dan di bawanya ada papan. Jika bola tersebut jatuh, akan menimpa papan tersebut dan memperdengarkan suara bel. Kemudian pada alat yang bulat panjang dilubangi bagian bawahnya, dengan ukuran tertentu sebagai jalan air yang menetes sedikit demi sedikit. Bila air menurun, maka turun pula alat yang berlubang yang diletakkan para arah air, kemudian tali yang terkait menjadi melar, sehingga pangkal, yang di dalamnya ada bolanya, bergerak dengan gerakan yang berlawanan. maka bola itu menggelinding dan jatuh pada papan, sehingga belnya berbunyi. Bila telah melewati satu jam, suarannya akan berbunyi. Adanya dua kali jatuh, tergantung kadar keluar dan turunya air, juga ditentukan oleh luasnya lubang tempat air, hal demikian diketahui melalui hitungan. Turunnya air juga menurut kadar tertentu, akibat faktor luasnya lubang turunnya air yang di atas dengan kadar tertentu, yang kemudian menentukan perkiraannya. Sementara turunnya alat yang berlubang serta bergeraknya benang yang terkait juga  ditentukan oleh kadar tersebut, termasuk yang melahirkan gerakan dalam tempat yang ada bolanya. semuanya itu bisa diukur dan diperkirakan melalui kadar sebab-sebab yang mengerakkannaya, tidak kurang tidak lebih. Kemungkinan jatunya bola pada papan tersebut menyebabkan gerakan yang lain. Begitu juga gerakan yang lain itu mengakibatkan gerakan selanjutnya, sampai berkali-kali sehinga timbul gerakan demi gerakan yang teratur dan mengagumkan dengan ukuran yang sudah ditentukan. Sebab peraturannya adalah turunnya air dengan kadar tertentu di atas. Jika gambaran tersebut bisa dicerap, maka sebenarnya duduk persoalannya bertumpu pada tiga hal, pertama, adalah perenungan. Suatu hukum yang menentukan mana komponen-komponen tersebut yang layak, sehingga menjadi sebab-sebab berantai dan gerakan-gerakan yang menghasilkan tujuannya,  kedua, mewujudkan komponen tersebut yang merupakan dasarnya. Yaitu komponen-komponen antara lain, silinder penampung air, alat yang berlubang yang dilekakkan berhadapan dengan air, benang pengikat, tempat bola  dan papan yang menjadi tempat jatuhnya bola. Elemen inilah yang disebut qadla. Ketiga, bagian penyebab yang bisa menggerakkan gerakan tertentu, terhitung dan terukur, yaitu lubang di bawah, dengan ukuran luas tertentu, yang bisa menyebabkan gerakan karena turunnya air dari lubang tersebut, yang bisa mendatangkan gerakan ke arah air melalui, kemudian menggerakkan tempat yang di dalamnya ada bola, sampai menggetarkan bola tersebut. Kemudian guncangan melalui papan—bila bola jatuh—sampai pada bunyi dentang yang dihasilkannya, bahkan bunyinya ke telinga orang yang mendengarnya yang menggertarkan mereka untuk melakukan salat dan amal-amal ketika mereka mengetahui datangnya waktu. Semua itu dengan ukuran yang terukur dan dengan ukuran yang dipastikan, yang muncul dari gerakan pertama. Yaitu gerakan air.

Jika anda mencermati komponen-komponen tersebut, pasti ada asal usul yang menggerakkannya. Gerakan itu sendiri harus ada yang mengaturnya untuk memastikan sesuatu yang akan dihasilkannya. Demikian juga, pahamilah, terjadinya peristiwa-peristiwa yang dipastikan, yang tidak didahului atau diakahiri oleh apapun, apabila telah sampai pada waktunya. Yakni ketika sebabnya datang. Semuanya [terjadi] dengan kadar yang diketahui, bahwa Allah swt. yang telah mewujudkan perintahnya, benar-benar menjadikan segala sesuatu dengan kepastian tertentu. Langit-langit dan cakrawala bintang-bintang, bumi, lautan dan udara, seluruh jisim yang besar ini ibarat komponen-komponen dalam jam di atas. Faktor yang menggerakkan cakrawala, bintang-bintang, langit dan rembulan, dengan hitungan yang diketahui, laksana lubang yang dipasang dengan ukuran tertentu bagi turunnya air. Peran gerakan matahari, bulan dan bintang-bintang yang menyebabkan timbulnya berbagai peristiwa di muka bumi, seperti peran gerakan air yang meluber hingga menjatuhkan bola, yang mengabarkan tibanya waktu. Dan perumpamaan gerakan-gerakan langit yang memberi perubahan pada bumi adalah bahwa matahari dengan gerakannya ketika terbit di arah timur, alam menjadi terang, sehingga mudah bagi  manusia untuk melihat. Dengan demikian mudah pula bagi mereka untuk menyebar mencari kesibukan. Ketika waktu maghrib menjelang mereka menjadi kesulitan sehingga mereka kembali ke rumah-rumah mereka. Apabila matahari berada lurus dengan ubun-ubun, udara terasa panas sehingga terasa menyengat, dan buah-buhan menjadi ranum. Jika musim panas usai, muncul musim dingin yang menggingit. Bila datang udara yang berimbang munculah musin semi, dan tumbuhlah berbagai tanaman bumi, kemudian bumi tampak hijau. Analogikan semua ini dengan hal-hal yang anda ketahui, dan hal-hal yang belum anda ketahui. Pergantian musim-musim ini,  semua terjadi dengan kadar tertentu, karena terkait dengan gerakan matahari dan bulan. Allah swt. berfirman, “Mahatari dan bulan beredar menurut perhitungan” yakni gerakan kedua planet tersebut mengikuti ukuran dan perhitungan tertentu. Inilah yang disebut taqdir. Dan aturan sebab-sebab universal adalah qadla. Sementara rencana pertama yang seperti kedipan mata adalah hukum.sebagaimana gerakan komponen-komponen; benang, bola tidak menyimpang dari kehendak yang meletakkan komponen, bahkan dialah yang menghendaki posisi dari komposisi komponen tersebut, demikian pula segala pertiwa di jagad raya, baik dan buruk, manfaat dan tidak, tidak kuasa membelot dari kehendak Allah swt. Memahami persoalan-poersolan ilahiah dengan contoh-contoh yang telah diketahui sangat sukar. Tetapi tujuan contoh-contoh tersebut adalah sebagai peringatan. Maka tinggalkan misal dan ingatlah pada tujuan. Waspadalah pada tamsil dan tasybih.

Dasar keenam, tentang Mendengar dan Melihat
Allah swt. taala maha mendengar dan maha melihat. Ia mendengar dan melihat. Tidak ada sesuatupun yang terlewat dari pendengaran-Nya sekalipun begitu samar. Tidak ada objek yang luput dari penglihatan-Nya sekalipun teramat lembut. Kejahuan tidak menjadi penghalang pendengaran-Nya. Kegelapan tidak mengaburkan pandangan-Nya. Ia melihat tidak dengan biji mata atau kelopak mata. Ia mendengar tidak dengan gendang dan daun telinga seperti halnya Ia mengetahui tanpa qalb, menangkap tanpa tangan, menciptakan tanpa alat. Semua itu disebabkan oleh ketidaaan persamanan antara sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk seperti juga ketidaksamaan hakikat-Nya dengan hakikat makhluk.

Dasar ketujuh, tentang Berbicara:
Dialah yang mengatakan perintah dan larangan, yang mengeluarkan janji dengan perkataan azali yang qadim. Ia berdiri di atas zat-Nya sendiri yang tidak sama perkataan-Nya dengan perkataan makhluk, seperti halnya tidak ada kesamaan hakikat-Nya dengan hakikat makhluk. Ia berbicara tidak dengan suara yang keluar dari sela udara atau pergesekan tubuh, tidak dengan huruf yang akan terpotong oleh terkatupnya bibir atau gerakan lidah. Al-qur’an, Injil, Taurat dan Zabur merupakan Kitab-Kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul Saw.-Nya. Bahwa al-Qur’an dibaca dengan lisan, di tulis dalam mushaf-mushaf, di hapal namun selain itu ia juga bersifat qadim dan melekat dalam zat Allah swt..  Musa –alaihi salam—mendengar kalam Allah swt. tanpa suara dan huruf. Seperti kaum hyang berbakti kepada Allah swt. (al-abrar) yang melihat zat Allah swt. tanpa jauhar (subtansi), bentuk, warna atau raga. Karena Ia memiliki atribut-atribut ini maka Ia berarti zat yang hidup, mengehatui, kuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berbicara dengan kehidupan, pengetahuan, qudrat dan iradat, mendengar, melihat dan berbicara. Tidak hanya dengan zat-Nya.

Dasar kedelapan, dalam hal Tindakan
.
Tidak sesuatu yang maujud selain Allah swt. kecuali sesuatu tersebut mewujud karena perbuatan-Nya. Mengalir dari keadilannya dalam bentuk yang paling baik dan sempurnanya. Ia mahabijaksana dalam perbuatannya. Maha adil dalam keputusannya. Keadilan-Nya tidak dapat diperbandingkan dengan keadilan hamba. Jika seorang hamba digambarkan sebagai orang zalim karena menggunakan harta yang bukan miliknya, Allah swt. tidak dapat digambarkan sebagai yang zalim sebab Ia tidak menyerobot milik orang lain, sehingga penggunan-Nya dapat dikategorikan kezaliman. Selain diri-Nya; manusia dan jin, setan dan malaikat, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, subtansi (jauhar) dan aksiden (‘aradl), yang terlihat dan teraba, semuanya ada dari ketiadaan melaui kuasa-Nya. Semuanya berasal dari ketiadaan. Sebab pada zaman azali hanya Ia yang ada, tidak ada yang selain-Nya. Karena itu Ia menciptakan makhluk untuk menampakkan kekuasaan-Nya, merealisasikan kehendak-Nya, dan mengejawantahkan kalimat-kalimat-Nya pada zaman azali. Ia berfirman, “Aku adalah harta yang tersembunyi. Aku senang dikenali”, jadi bukan terdorong oleh hajat dan kebutuhan-Nya (terhadap makhluk). Ia menciptakan makhluk semata karena keutamaan-Nya bukan karena keharusan.  Pemberiannya atas anugerah, nikmat, kesejahteraan bersumber dari keutamaan-Nya, bukan karena  kewajiban-Nya. Sebab Allah swt. pun maha kuasa menimpakan beraneka macam azab bagi hamba-hamba-Nya, menguji mereka dengan terjangan penyakit dan kesengsaraan. Kalupun Ia melakukan hal itu pasti di sana ada keadilan dan sama sekali tidak ada keburukan dan kezaliman. Ia memberi pahala kepada hamba-hamba yang taat lebih disebabkan oleh prinsip kemuliaan dan keadilan bukan karena prinsip hak dan kewajiban. Ia tidak berkewajiban untuk berbuat dan Ia tidak bisa digambarkan berbuat zalim. Seseorang juga tidak wajib memiliki hak padanya. Haknya untuk taat merupakan kewajiban makhluk sebagaimana disampaikan melalui lisan nabi-nabi-Nya bukan semata karena akal. Allah swt. mengutus Rasul Saw.-Rasul Saw. dan menampakkan kebenaran mereka dengan mukjizat yang jelas sehingga sehingga mereka dapat menyampaikan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya. Karena itu sudah merupakan kewajiban bagi semua makhluk untuk membenarkan semua yang mereka bawa.

Dasar kesembilan: tentang hari akhir.
Dengan kematian Ia memisahkan antara ruh dan jasad. Kemudian pada hari mahsyar dan kebangkitan Ia akan mengembalikannya kembali. Sesorang akan dibangunkan dari alam kuburnya, dan semua yang ada dalam dada dikeluarkan. Setiap mukallaf akan melihat perbuatan baik dan jahatnya dihadirkan. Detil perbuatannya akan dipertontonkan secara tertulis dalam suatu buku. Tidak ada satu perbuatan--baik yang besar yang kecil kecuali semuanya terliput di sana. Setiap orang akan mengetahui ukuran perbuatannya, yang baik maupun yang buruk dengan standar yang tepat, yang diistilahkan dengan mizan (timbangan). Meski tidak sama antara timbangan amal dan timbangan berat badan seperti halnya tidak sama antara istirlab yang menjadi timbangan waktu dengan penggaris yang menjadi timbangan jarak serta ilmu arud yang menjadi timbangan syair. Semuanya adalah timbangan. Selanjutnya semua tindakan, perkataan, rahasia-rahasia, hati, niat-niat, keyakinan-keyakinan yang ditampakkan atau disamarkan   dihisab. Mereka diperlalukan berbeda-beda di sana, ada yang diintrogasi, ada yang diberi toleransi dan ada yang masuk sorga tanpa hisab. Mereka selanjutnya digiring menuju sirat. Ini merupakan jembatan yang terhubung antara tempat yang mencelakakan dan yang membahagiakan. Tajamnya melebihi pedang. Lebih lembut ketimbang rambut. Mereka yang dalam kehidupan dunianya berjalan lurus akan diperingan dan dipermudah ketika melintasinya. Dan mereka yang menyimpang dari jalan lurus akan digelincirkan, kecuali bagi mereka yang diampuni atas prinsip kemuliaan (Allah swt.). Pada saat itu mereka semua akan ditanya. Para nabi akan ditanya tentang tugas risalahnya, orang-orang kafir disoal perihal penyangkalannya tehadap para Rasul Saw., orang-orang yang melakukan bid’ah diintrogasi tentang sunnah, orang-orang muslim dicecar soal amal perbuatannya, orang-orang shidiq diminta jawabannya tentang kejujurannya dan para munafik  disidik soal kemunafikannya. Selanjutnya orang-orang yang beruntung digiring menuju Allah swt. dan orang-orang yang melakukan kejahatan dihalau menuju neraka jahanam. Orang-orang yang pernah menyatakan tauhid diperintahkan agar diangkat dari neraka setelah mendapatkan balasan, hingga tidak tersisia sedikitpun di neraka orang yang dihatinya terdapat iman yang seberat butiran debu.  Sebagain yang lain—dengan perantaraan syafaat para nabi,  ulama, syuhada dan mereka yang memiliki kehormatan memberi syafaat--akan dikeluarkan setelah menyempurnakan hukuman. Kemudian mereka ditetapkan sebagai orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan di dalam sorga dengan dikaruniahi nikmat selama-lamanya, menikmati karunia dengan melihat wajah Allah swt. yang mulia. Orang-orang celaka tetap tinggal dalam neraka di bawah beragam azab. Dijauhkan dari pandangan untuk dapat melihat wajah Allah swt. yang mulia, pemilik keagungan dan kemuliaan.

Dasar kesepuluh, tengang kenabian
Allah swt. menciptakan para malaikat dan mengutus para nabi. Melengkapi mereka dengan mukjizat-mikjizat. Seluruh malaikat adalah hamba Allah swt.. Siang malam mereka bertasbih tanpa henti. Para Rasul Saw. adalah utusan-Nya kepada makhluk. Wahyu diturunkan kepada mereka melalui perantara malaikat. Dengan begitu mereka berbicara berdasarkan wahyu yang dilimpahkan kepada mereka bukan dengan hawa nafsunya. Allah swt. mengutus nabi yang ummi dari kaum Qurays, Muhammad Saw., dengan risalah yang berlaku umum untuk semua masyarakat Arab maupun non-Arab, jin dan manusia. Syariat yang dibawanya menasakh syariat-syariat (sebelumnya). Menjadikannya sebagai pemimpin umat manusia, mmengokohkan kesempurnaan iman dengan kesaksian tauhid. Itu adalah perkataan “tiada tuhan selain Allah swt.” yang yang disempurnakan dengan syahadat Rasul Saw.. “dan Muhammad adalah utusan Allah swt.”. Merupakan keharusan bagi semua makhuk menerima semua berita darinya tentang urusan dunia dan akhirat. Mereka harus mengikutinya, Allah swt. berfirman, “apa saja yang diperintahkan Rasul Saw. kepadmu maka lakukanlah dan apa saja yang dilarangnya maka jahuilah”. Tidak ada sesuatupun yang dapat mendekatkan kepada Allah swt. kecuali hal itu diperintahkan Rasul Saw. kepada mereka, dan menujukkan jalannya. Apa saja yang mendekatkan kepada neraka, menjauhkan dari Allah swt. terdapat dalam larangannya dan ditunjukkan caranya. Semua itu tidak dapat diperoleh melulu melalui pencerapan akal, analisa dan kecerdasan, tetapi semua itu merupakan rahasia-rahasia yang dapat disingkap melalui getaran suci hati para nabi. Segala puji bagi Allah swt. atas petunjuk pan penyuluh-Nya, yang menunjukkan dengan asma-asma yang indah, sifat-sifat-Nya yang luhur. Salawat serta salam semoga terlimpah kepada Muhammad yang terpilih, penutup para nabi, kepada para sahabat dan keluarganya. Amin ya rabba l-alamin.

Penutup
Penjelasan mengenai kitab-kitab yang menjelaskan hakikat keyakinan ini.

Ketahuilah, apa yang kami paparkan merupakan hasil penggalian dari ilmu-ilmu al-Qur’an. Yang saya maksud adalah semua yang berkaitan dengan Allah swt. dan hari akhir. Semua itu merupakan terjemah akidah yang harus diringkus dalam hati semua orang islam. Dalam arti dipercaya dan diyakini dengan sunguh-sunguh. Dibalik akidah yang zahir ini ada dua tingkatan: mengetahui dalil-dalil akidah yang jelas ini tanpa menyentuh rahasia-rahasianya. kedua: mengetahui rahasia dan makna terdalamnya serta hakikat penampakannya.

Kedua tingkatan ini bukan merupakan kewajiban bagi orang-orang awam. Artinya, keselamatan mereka di akhirat kelak tidak ada kaitannya dengan keduanya, keberuntunganya tidak tergantung kepada keduanya. Hanya saja pemahaman terhadap keduanya merupakan bagian dari sempurnanya kebahagian. Yang saya maksud dengan keselamatan adalah keterbebasan dari siksa, dan yang saya maksud dengan keberuntungan adalah perolehan nikmat. Yang saya maksud dengan kebahagiaan adalah perolehan nikmat yang sejati 

Ketika seorang penguasa berhasil menaklukkan sebuah negeri, maka seseorang yang tidak dibantai dan disiksanya dapat dikatakan  sebagai orang yang selamat sekalipun ia diusir dari negeri. Seseorang yang yang tidak disiksa dan dibiarkan tinggal di negeri itu beserta keluarga dan pekerjaannya maka termasuk orang yang beruntung dan selamat. Seseorang yang dipekerjakan, direkrut dan diberi kedudukan di kerajaan dan  pemerintahannya adalah orang yang selamat beruntung dan bahagia. Tingkatan-tingkatan kebahagiaan terus bertambah dan tidak terbatas. Ketahuilah, di akhirat makhluk-makhluk dibagi ke dalam kelompok-kelompok ini. Bahkan lebih banyak. Kami sudah menjelaskannya sebisa mungkin dalam kitab taubah. Bagi yang hendak mengetahui lebih jauh silahkan merujuk ke sana.

Tingkatan pertama adalah mengetahui dalil-dalil akidah ini. Kami sudah memaparkannya dalam al-Risalah al-Qudsiyah kira-kira duapuluh halaman. Ini merupakan salah satu pasal kitab “Qawaid al-Aqaid” (kaidah-kaidah akidah) dari kitab Ihya. Sementara argumen beserta penjelasan tambahan yang seksama yang menjawab beberapa pertanyaan dan problematika, telah kami jelaskan dalam kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, yang tebalnya sekitar seratus halaman. Ini satu kitab yang utuh dan otonom yang meliput inti sari ilmu para teolog (mutakallilin). Bahkan kitab ini lebih seksama dan lebih dekat dengan pintu makrifat  ketimbang ulasan-ulasan formal yang bisa dijumpai dalam kitab-kitab para teolog. Semua itu merefer kepada keyakinan (I’tiqad) bukan kepada pengetahuan (ma’rifat). Teolog  tidak berbeda dengan orang awam kecuali karena keberadaannya yang arif, berpengetahuan dan keberadaan orang awam yang berkeyakinan (mu’taqid). Bahkan ia juga berkeyakinan serta mengetahui dalil-dalil dari keyakinannya untuk mengokohkan keyakinan dan memegangteguhinya, menjaganya dari bid’ah yang menggoda dan membuat was-was. Keyakinan akidah tidak menguraikan soal pengetahuan.

Jika Anda berkeinginan mengetahui ruh pengetahuan dapat dengan segera melihat dalam kitab al-shabr dan syukr, kitab mahabbah dan bab tauhid dari awal kitab tawakkal yang semuanya terkumpul dalam kitab Ihya. Ada baiknya juga Anda mengetahui bagaimana mengetuk pintu ma’rifat dalam kitab al-maqshad al-Aqsha fi ma’ani Asma Allah swt. al-Husna. Juga tentang asma-asma yang merupakan derivasi dari af’al. Jika Anda menginginkan kejelasan pengetahuan tentang hakikat-hakikat akidah ini tanpa harus bersusah payah tidak perlu dicari kecuali dalam sebagian kitab saya yang tidak diperuntukkan bagi orang yang tidak ahli. Awas, jangan Anda tertipu dan mengatakan pada diri anda sendiri bahwa anda adalah ahlinya lalu anda berupaya mencarinya—yang dimaksudkan untuk mengatakan penjelasan yang sebaliknya--kecuali jika anda memenuhi tiga persyaratan. Pertama, membebaskan diri dari segala disiplin ilmu zahir dan ambisi memperoleh derajat pemimpin di dunia. Kedua, membebaskan hati dari dunia secara total, setalah menghapus akhlak-akhlak tercela hingga tidak lagi tersisa kecuali dahaga kecuali kepada Allah swt.. Tidak ada hasrat kecuali kepada-Nya. Tidak ada kesibukan kecuali untuk-Nya dan tidak ada penghentian kecuali pada-Nya. Ketiga dalam diri anda telah tersedia kebahagian dalam akar fitrahnya. Watak yang jernih, kecerdasan yang mumpuni, tidak gampang menyerah dan buru-buru mengambil kesimpulan ketika menghadapi kerumitan dan dilema ilmu. Sebab orang pandir ketika memayahkan pikiran dan jiwanya juga menemukan kerumitan. Namun seringkali mereka dapat menemukan persoalan yang gampang dalam waktu yang cukup lama. Karena itu tidak laik meneliti pengetahuan hakikat, kecuali hati yang tulus seperti kaca cermin yang bersih. Hal ini dapat terjadi dengan kekuatan fitrah dan kebersihan tujuan kemudian dengan menghilangkan kotoran-kotoran dunia dari permukaannya sebab kotoran-kotoran tersebut dapat menghalangi hati dari ma’rifat kepada Allah swt.. Allah swt. berfirman, “sesungguhnya Allah swt. membatasi antara manusia dan hatinya.”
 

2 komentar:

  1. Where can I play on the mobile version of a slot machine?
    There are a 호벳 lot of mobile casinos that allow players to play on mobile phones, 인터넷 바카라 but there are plenty 유로 스타 사이트 of 솔레어 slots that can be 승인 전화 없는 토토 사이트 played on

    BalasHapus
  2. The 13 best casino games - JeMhub.com
    From table games to bingo to live casino, you've never thought of it 전주 출장샵 before! Choose 강원도 출장마사지 the right 태백 출장안마 game, and then play it 원주 출장마사지 online for 경산 출장샵 real money.

    BalasHapus