Senin, 23 Januari 2012

PENTINGNYA PENDIDIKAN MENGENAL TUHAN DALAM KELUARGA

BAB I 
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Manusia secara fitroh terlahir dalam keadaan suci, bagaikan kertas putih tanpa coretan tinta sedikitpun. Dia tumbuh dan berkembang seiring dengan berjalannya sang waktu, akhirnya lembaran yang putih tadi penuh dengan coretan-coretan amal yang dia lakukan, bila sebuah kebaikan, maka ditulis dengan tinta kebaikan dan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Begitu juga bila suatu kejelekan, maka akan berupa coretan hitam dan menjadi sebuah bomerang baginya.
Dalam perkembangannya, lingkungan dimana manusia itu hidup sangat ikut berperan dalam membentuk kepribadiannya. Secara alamiyah, manusia melakukan apa yang dilakukan di lingkungannya. Dalam lingkup kecil, seorang anak akan memperhatikan apa yang dilakukan oleh ke dua orang tuanya, yang kemudian hari diaplikasikan dalam kehidupannya. Dan apa yang dipercayai anak, tergantung pada apa yang diajarkan kepadanya oleh kedua orang tuanya di rumah dan guru di sekolah. Disinilah ke dua orang tua berperan sentral dalam membentuk kepribadian anak sekaligus menjadi figur yang baik bagi anaknya.
RUMUSAN MASALAH
  1. Pendidikan mengenal Tuhan sejak dini.
  2. Pendidikan moral.
  3. Pendidikan sosial.
  4. Hasil-hasil keimanan terhadap Tuhan.
                                              BAB II
                                      PEMBAHASAN
I.       PENDIDIKAN MENGENAL TUHAN SEJAK DINI
a.    Membuka kehidupan anak dengan kalimat tauhid
                 Seorang bayi terlahir dalam keadaan suci, bagaikan kertas putih tanpa noda sedikitpun, maka hendaknya diisi dengan coretan-coretan yang baik. Dalam Islam diajarkan untuk mengenalkan sang bayi yang baru lahir dengan kalimat tauhid, misalkan diadzani dan diqomati. Ini dianjurkan kalimat yang pertama kali masuk atau didengar sang bayi di dunia ini adalah kalimat tauhid, sekaligus sebagai penanaman aqidah bagi sang bayi.[1]
                 Anak-anak mulai mengenal Tuhan dari bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya. Pada awalnya dia hanya acuh tak acuh, tetapi setelah dia melihat orang-orang dewasa menunjukkan kekaguman dan takut pada Tuhan, maka sang anak mulain merasa sedikit gelisah dan penuh pertanyaan tentang siapa sebenarnya Tuhan itu. Mulai umur 3 dan 4 tahun anak-anak sering menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Agama, seperti siapa Tuhan, dimana Surga dan lain sebagainya[2].
                 Dan di usia itu anak akan menerima segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, maka disinilah seorang pendidik (Bapak/Ibu) memberikan jawaban tentang pengetahuan tentang Agama yang mudah diterima sang anak.
                 Mengapa pengetahuan ini harus ditanamkan sejak dini dalam keluarga terutama pada seorang anak.? Karena untuk membentuk jiwa anak agar ber-Tuhan atau beriman untuk mengarungi kehidupannya kelak ketika dia sudah dewasa. Karena kekosongan iman bisa mengakibatkan guncangan jiwa dan rasa gelisah. Namun dengan mengenal Tuhan, dan beriman kepada-Nya, akan menentramkan jiwa.[3]
b.    Mengenalkan Sifat-sifat Tuhan
                 Kita berikan pengetahuan bahwa Tuhan adalah Mahapenyayang terhadap hamba-Nya yang senantiasa taat menjalankan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya, namun sebaliknya bila sang hamba durhaka pada-Nya, maka sungguh Tuhan akan memberi balasan yang setimpal, yaitu siksaan yang teramat pedih. Disamping itu, kita harus memberi pengatahuan bahwa Tuhan juga Mahakuasa atas segala sesuatu di muka Bumi dan di Akherat nanti. Dan juga mengenalkan Sifat-sifat Tuhan yang lain secara jelas dan bertahap, agar didalam keluarga tertanam kepribadian yang Beriman, yang ber-Tuhan. Terutama pada jiwa sang anak yang masih belum begitu mengenal siapa Tuhan.
c.    Mengenalkan Utusan Tuhan yang membawa ajaran-Nya
                 Disamping mengenalkan Tuhan pada keluarga, harus kita kenalkan bahwa Tuhan mempunyai Utusan yang diperintah untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya terhadap Umat. Mengenalkan bagaimana Utusan-utusan Tuhan itu menyampaikan ajaran Tuhan pada Umat, apa saja yang beliau alami ketika mengemban tugas mulia itu. Semua itu diajarkan agar sang anak mampu meneladani beliau dalam hidupnya.[4]
d.   Mengenalkan dan menerapkan Syari’at Tuhan
                 Kemudian, setelah tahap pengenalan terhadap Tuhan dan Utusan-Nya. Maka dalam keluarga harus diberikan pengetahuan bahwa Tuhan mempunyai aturan-aturan yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan, dan barang siapa mentaati aturan-aturan itu akan mendapatkan pahala, begitu sebaliknya, bagi para pembangkang akan digaanjar dengan siksa. Seperti wajibnya sholat, zakat dan lain sebagainya. Disamping itu harus ada sedikit penekanan untuk menjalankannya. Langkah yang mungkin bisa ditempuh adalah menyuruh anak melakukan sholat pada usia 7 tahun,[5] melaksanakan Jama’ah dengan keluarga, dan mengajak keluarga berdarma pada sesama.
                 Dalam penerapan ini, hendaknya hubungan antar individu dalam sebuah keluarga terjalin harmonis. Artinya antara suami dan istri saling mengerti dan menyadari apa yang menjadi kewajiban dan hak dalam keluarga, dan juga menjadikan syari’at Tuhan sebagai cara hidup dalam keseharian dalam rumah tangga. Sehingga akan berdampak baik dalam membenuk kepribadian keluarga yang Agamis dan ber-Tuhan, terutama pada perkembangan kepribadian sang anak.
                 Untuk pengenalan terhadap syari’at Tuhan tidak cukup dengan apa yang disebutkan diatas, bila perlu memasukkan anak ke Lembaga Pendidikan Agama, seperti pondok pesantren dan lainnya.
II.      PENDIDIKAN MORAL
                 Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan ber-Agama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber dari Agama. Karena itu, dalam pembinaan generasi muda atau bahkan keluarga, perlulah kehidupan moral dan Agama itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius.[6]
                 Yang dimaksud pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi samudra kehidupan ini.[7] Begitu juga bagi keluarga, moral harus benar-benar dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap, dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertmbuhan sikap keberagamaan sesorang yang benar.
                 Moral dan etika didalam Al-Qur’an disebut “akhlaq” yang berarti budi pekerti atau tata susila atau penilaian baik buruk atas tindakan dan amal perbuatan manusia dengan ukuran-ukuran tertentu. Biasanya ukuran-ukuran itu dipengaruhi oleh budaya, lingungan, dan ajaran Agama, sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah yang lain.[8]
                 Dalam keluarga harus dibiasakan dengan perikemanusiaan yang mulia, dan menghindari empat fenomena yang merupakan perbuatan terburuk, moral rendah, dan sifatnya yang hina. Yaitu, suka berbohong, suka mencuri, suka mencelah dan mencemooh dan kenakalan dan penyimpangan.
III.   PENDIDIKAN SOSIAL
                 Adalah sebuah pendidikan, sekaligus penerapan prilaku sosial yang utama. Agar didalam sebuah keluarga, terutama pada anak, tertanam dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada akidah islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agarv di tengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berprilaku sosial yang baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.[9]
                 K.H. Sahal Mahfudz mengatakan : "Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana, dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat. Atau secara abstraksis berarti masalah-maslah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif.[10]
                 Dari ungkapan diatas, bahwa pendidikan sosial adalah membentuk sebuah karakter yang nnantinya bisa beranfa’at bagi sang anak dalam menempuh hidup bermasyarakat yang Agamis dan sosialis, mampu mewarnai dan bermafaat bagi lingkungan disekelilingnya. Untuk mewujudkan bahwa Islam adalah benar-benar Agama yang rahmatal lil ‘alamin.
IV.   HASIL-HASIL KEIMANAN TERHADAP TUHAN[11]
a.      Munculnya perasaan cinta dan semangat. Seseorang yang menyakini bahwa perbuatannya senantiasa dalam pantauan Tuhan, dan menyakini pula bahwa semua itu tidaklah sia-sia, pasti ada balasan dari-Nya, maka dia akan akan menjalaninya dengan penuh semangat dan cinta.
b.      Menjauhkan diri dari tipu muslihat, kehinaan moral, dan peleceha hak. Seseorang yang menyadari diri seta perbuatannya berada dibawah pengawasan serta kekuasaan Tuhan, maka tidak akan melakukan berbagai bentuk penipuan dan pelecehan hak.
c.      Keagungan, seseorang yang bersedia menjadi hamba-Nya, tidak akan bersedia tunduk pada kekuatan lain. Ia akan memandang keberadaan selain-Nya sama seperti dirinya yaitu sebagai hamba.
d.     Merasakan ketengan jiwa. Dengan beriman pada Tuhan, jiwa kita akan merasa tenang. Dan bila jiwa dalam kondisi tenang, maka dalam melakukan apapun akan berakibat baik, terjadi keharmonisan dalam keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB III 
PENUTUP
KESIMPULAN
a.      Pendidikan mengenal Tuhan sangat penting untuk membentuk keperibadian seorang anak atau dalam keluarga, agar tertanam dalam jiwa mereka bahwa kehidupan di dunia ini adalah atas kuasa-Nya dan hanyalah sementara.
b.      Dari pengenalan terhadap Tuhan, maka akan timbul untuk mengetahui dan menjalankan apa yang menjadi perintah-Nya, dan menjahui apa yang menjadi larangan-Nya.
c.      Kemudian setelah pengenalan dan pelaksanaan diatas terealisasikan, maka akan membentuk jiwa yang peduli dengan sesama dan lingkungan. Karena rasa cinta yang ada pada diri kita akan sesama hamba, sama-sama makhluk yang diciptakan-Nya.
d.     Akhirnya akan terbentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera, yang harmonis dan penuh kasih sayang.


       [1] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hal.166, Pustaka Amani, Jakarta, 1999.
[2] Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, hal.35-36, Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
       [3] Prof. Muhsin Qiraati, Membangun Agama, hal.12, Cahaya, Bogor, 2004.
 [4] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hal.168, Pustaka Amani, Jakarta, 1999.
       [5] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hal.167, Pustaka Amani, Jakarta, 1999.
       [6] Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, hal.131, Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
[7] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hal.193, Pustaka Amani, Jakarta, 1999.
[8] K.H. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hal.172-173,LkiS, Yogyakarta, 2003.
       [9] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, hal.435, Pustaka Amani, Jakarta, 1999.
[10] K.H. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hal.172-173,LkiS, Yogyakarta, 2003.
[11] Prof. Muhsin Qiraati, Membangun Agama, hal.11-12, Cahaya, Bogor, 2004.

Oleh : Lesmana Achmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar