Rabu, 25 Januari 2012

ISLAM SEBAGAI PARADIGMA NILAI

                                                                   BAB I
                                                           PENDAHULUAN
    Segala puji bagi Allah SWT, yang mengutus manusia pilihan di tengah-tengah terdegradasinya moral manusiawi yang mendekati moral hewani. Sholawat serta salam, semoga tetap terhaturkan pada beliau Nabiyullah Muhammad SAW, yang merupakan revulotor sejati, rahmat bagi semua makhluk, pelita kehidupan di dunia dan akhirat, ang senantiasa kita harapkan syafa’at beliau.
    Selanjutnya, makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliyah MSI (Metedologi Studi Islam), dan juga sebagai aktualisasi ajaran islam yang senantiasa relevan pada apapun zamannya. Namun makalah ini hanya menyajikan sekelumit pemahaman tentang islam yang hamba ketahui, sehingga sangatlah terbuka bagi kami adanya saran atau kritik yang membangun, yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai parameter untuk yang lebih baik.
    Dalam makalah akan dibahas tentang islam sebagai paradigma nilai, yang di dalamnya akan kami uraikan apakah peran islam dalam membuktikan ke-rahmatal lil ‘alamin-nya? Dan apakah nilai keunggulan islam yang menjadikannya agama yang santun terhadap pemeluknya ataupun pada alam ini? Bahkan yang menjadikannya lebih unggul dibandingkan dengan agama-agama lain dalam segala aspek kehidupan.
    Hubungan tauhid dengan ilmu pengetahuan, yang akan dikaji adalah apa kegunaan ilmu tauhid, dan apa peran ilmu pengetahuan bagi ilmu tauhid dan sebaliknya.
    Paradima keilmuan islam, kajian dalam hal ini adalah bagaimana para cendikiawan muslim dalam menggali hukum dari dua sumber hukum islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan sebuah tujuan untuk mengaktualkan ajaran islam dalam segala zaman.
    Yang terakhir adalah sain dalam dunia islam, bagaimana islam merespon tentang sain?, dan apa itu sain menurut kacamata islam adalah merupakan kajian yang kami uraikan dalam term ini.
                                                               BAB II
                                                        PEMBAHASAN
                                       ISLAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA

I. ISLAM SEBAGAI  PARADIGMA NILAI
     Nilai-nilai kemanusiaan (humanissi), liberasi, dan transendensi yang dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
    Pertama tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia dari proses humanisasi, industrialisasi yang kini terjadi terkadang menjadikan manusia sebagai bagian dari masyarakat absrak tanpa wilayah kemanusiaan.kita menjalani objektifasi ketika berada ditengah tengah mesin politik dan mesin pasar.melihat manusia reduksionalistik dengan cara pasrah manusia telah menjadi bagian dari sekrup mesin kehidupan yang tidak lagi menyadari keberatan secara utuh.
    Sementara itu tujuan liberalisasi adalah pembebasan manusia dari kungkungan tekhnologi pemerasan kehidupan,menyatu dengan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.
    Selanjutnya tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan, kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme,matrealisme,dan budaya dekaden lainnya kini yang harus dilakukan adalah membersihkan diri dengan mengikatkan kembali pada kehidupan pada dimensi transendentalnya.
Menurut Wilfred cantwell smith menyatakan bahwa dari tradisi keagamaan didunia, tradisi islam akan tampak sebagai satu satunya nama yang built-in (terpasang tetap). Nama islam bukan nama yang lahir berdasarkan nama pendirinya seperti agama bhuda karena yang mendirikan adalah bhuda ghautama;agama masehi atau Kristen karena yang mendirikan adalah nabi isa atau yesus yang bergelar al-masih atau kristus konfusianis-me, dan agama-agama lainnya.
    Sebagaimana implikasi dari penamaan tersebut, maka islam merupakan agama universal, karena berasal dari Dzat yang menguasainya, mengatur, dan memelihara sekalian alam.islam dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, bukan utuk kelompok tertentu, karena nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia ( QS Al-Anbiya’:107 ). berbeda dengan para rosul sebelumnya yang hanya diutus untuk satu bangsa dan wilayah tertentu. Kehadiran Nabi/Rosul berikutnya adalah untuk mennyempurnakan ajaran Nabi/Rosul sebelumnya dan meluruskan ajaran yang telah diselewengkan oleh bangsa diwilayah tertentu.
Oleh karena keunggulan islam itu, maka ia dapat dida’wahkan secara mudah dimuka bumi ini. Eksperimen eksperimen tersebut akan berlaku bagi masyarakat lainnya, untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi berhadapan dengan pandangan hidup jahiliyah dan matrealisme dikalangan masyarakat. Tegaknya nilai-nilai kemanusiaan itu merupakan tuntutan dan kebutuhan  setiap manusia, kapan dan dimana saja. Kehadiran dakwah islam pertama kali dilakukan oleh Nabi SAW. Adalah utuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaaan itu.
Islam adalah agama santun yang dibawah makhluk pilihan yang mempunyai akhlaq yang sangat luhur. Tak berlebihan kiranya bila islam dikatakan rahmat bagi alam ini dan bagi para pemeluknya. Dalam bahasa Muhammad bin Al-Hasan Al- Hajwi, islam mengolaborasikan aspek duniawi dan ukhrowi.  Islam tidak mengabaikan terhadap aspek lahir ketika menjelaskan urusan batin begitu juga sebaliknya. Misalkan islam mengajarkan tentang kebersihan, walaupun pada awalnya kebersihan diproyeksikan untuk mendukung keabsahan sholat, ternyata banyak hadits yang telah memperluas pemaknaan dari kebersihan. Bukan hanya dalam rana ibadah saja, namun juga dalam konteks adah-mu’amalah. Yakni, menjaga kebersihan dalam aktivitas sehari-hari dan kebersihan untuk menjaga ketertiban sosial. Dan contoh lagi hukuman bagi para pelaku kriminalpun tiak luput dari ajaran islam.  
Kemudian menstatuskan para pemeluknya, islam tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Manusia adalah umat yang satu  (QS Al Baqoroh;213). Manusia memang diciptakan dalam berbagai jenis ras, bangsa, dan suku bangsa, tetapi mereka dianjurkan untuk saling berbagi jenis ras, bahasa dan suku bangsa tetapi mereka dianjurkan untuk saling mengenal, saling memahami dan berkerja sama, bukan untuk saling bermusuhan, sebab tingkat perbedaan manusia yang satu dengan yang lainnya hanya ditentukan oleh identitas dan kwalitas taqwanya bukan jenis ras, suku bangsa, dan bahasanya ( QS Al Hujorot :13 ). Islam juga menghapus system perbudakan budaya jahiliyah. Dari sini nampaklah bahwa islam adalah agama rahmatal lil ‘alamin.
Dilihat dari sejarahnya, bahwa nabi Muhammad SAW, melalui dakwah islamnya telah menyelamatkan dunia yang tenggelam dalam kebiadaban,dan islamlah yang membantu suatu peradaban yang dasar-dasarnya rapuh.islam juga telah meletakkan dasar-dasar baru dan menegakkan kultur dan etika baru mengenai ide persatuan dan kesatuan umat manusia secara keseluruhan, bukan hanya kesatuan suatu bangsa, sehingga menjadikan bangsa-bangsa menjadi satu dengan yang lainnya. Bahkan islam menyatukan orang-orang yang mempunyai persamaan, kecuali sama-sama sebagai manusia. Islam menghilangkan perbedan warna kulit, ras, bahasa,batas geografi, bahkan perbedaan kebudayaan. Karena itu islam bukanlah satu-satunya kekuatan yang menyatukan.hal ini disebabkan karena jika agama-aganma lain ( yang dibawa Rosul-rosul sebelumnya )hanya berhasil dalam menyatukan elemen-elemen yang berbeda-beda dari satu ras atau bangsa,sedangkan islam telah berhasil menyatukan banyak ras dan mengharmoniskan berbagai macam elemen yang berbeda dari umat manusia.

II. HUBUNGAN TAUHID DENGAN ILMU PENGETAHUAN
    Sebelum menjelaskan kolerasi antara tauhid dengan ilmu pengetahuan, sekilas kami paparkan devinisi tauhid, pengertian iman dapat disederhanakan dalam tiga domain. 
1. Domain efektif ( al-majal al-infialiy ); iman adalah pembenaran  dalam kalbu (tasdiq). Mengapa harus dengan hati (qolbu) dalam membenarkan keimanan..?, karena hati merupakan struktur nafsani yang mampu menerima doktrin keimanan yang metaempiris (ghoib), informasi wahyu (sam’iyah), dan suprarasional. Struktur akal hanya mampu menerima doktrin keimanan ang rasional.
2. Domain kongnitif (al-majal al-ma’rifiuy ); iman adalah pengucapan dengan lisan. kata kunci domain kongnitif adalah pengucapan dua kalimat sahadat. Kalimah sahadah pertama menandung arti peniadaan tuhan-tuhan relati dan temporer seperti hawa nafsu, harta, dan kedudukan untuk kemudian ditetapkan Tuhan yang Maha Sempurna, Yakni Allah Swt. Sedangkan sahadah yan kedua menyakini bahwa Muhammad Saw adalah utusan Allah yang menerima wahyu dan ajarannya harus direalisasikan dalam kehidupan nyata.
3. Domain psikomotorik (al-majal al-nafsiy al-harakiy); iman adalah pengamalan denan angota tubuh. Amal merupakan buah atau bukti keimanan seseorang.
Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Dalam Al-qur’an (Al-Ikhlas: 1-4), Allah berfirman: “katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak melakhirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Sebagaimana dikatakan di atas, sisi kedua adalah cegahan syirik. Dalam Al-Qur’an (Luqman: 13), Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya ketika ia memberi pelajaran kepada anaknya: Hai anakku, jangalah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk kepada Tuhan. Ia tidak boleh tunduk pada selain-Nya karena ia adalah puncak ciptaan-Nya. Karena ia hanya boleh tunduk kepada Tuhan, manusia oleh Allah dijadikan sebagai khalifah (Al-baqarah : 30). Karena manusia adalah khalifah di bumi, maka alam selain manusia ditundukkan oleh Allah untuk manusia seperti firman Allah dalam Ibrahim : 32-33,  An-Nahl:12-13,…
Firman Allah di atas, menunjukkan bahwa bumi, langit, laut serta segala yang ada dibumi dan laut telah ditundukkan Allah untuk kepentingan manusia. Apabila tunduk kepada selain ALlah, berarti manusia telah menyalahi fungsinya sebagai khalifah, tunduk kepada alam berarti tunduk kepada selain Allah, tunduk kepada selain Allah berarti syirik (mempersekutukan Allah).
Dengan demikian, tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah diperuntukkan bagi manusia. Perintah mengesakan Tuhan di barengi dengan cegahan mempersekutukan Tuhan. Jika manusia mempersekutukan Tuhan, berarti ia dikuasai oleh alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai alam karena alam telah ditundukkan oleh Allah. Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
Dengan demikian, sumbangan atau peran Islam dlaam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, memelihara dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan ilmu dan sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan saja termasuk alam saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada Allah…
Sayang, yang terjadi saat ini didunia Islam adalah kebodohan, kejumudan dan kemiskinan yang tiada henti-henti, padahal konsep tentang tauhid saja bisa membuat umat Islam menjadi umat yang maju.
Dengan demikian, ajaran tauhid melarang manusia untuk tunduk pada alam tapi sebaliknya justru menguasai alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia yang pada gilirannya memaksa manusia untuk menguasai hukum alam, yang darinya bersumber ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan ilmu pengetahuan identiknya adalah intelektual manusia memahami alam. Yang akhirnya nanti akan mewujudkan suatu peradaban yang lebih baik, maju dan modern. Dan sebenarnya ilmu pengetahuan bisa dijadikan mediator untuk membenarkan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Yaitu dengan cara memperhatikan fenomena alam sebagai bukti adanya Allah Swt, misalkan melalui :
a.    Cosmologi (memperhatikan fenomena alam makro), seperti an diisyaratkan dalan surat al-Baqoroh: 22,164, Yunus: 34, an-Nahl: 60,64, al-Mu’minun: 86,88, as-Syuro’:23,24, al-Syams: 5,6, an-Nazi’at:27-30, Qof: 6-8;
b.    Astronomi (memperhatikan fenomena bintang-bintang), seperti yang diisyaratkan dalam surat al-Buruj: 1, at-Thoriq: 1-3, al-Syams: 1-2, al-A’rof: 54, Yasin: 37-40;
c.    Antropologi (manusia sebagai makhluq individu), seperti yang diisyaratkan dalam surat at-Thoriq: 5-7, ar-Rum: 20, al-Balad:4-9, al-Baqoroh: 5, at-Tin: 4, dan al-Mu’minun: 78-79.
Dari sini dapat kita pahami bahwa ternyata ilmu pengetahuan dapat dijadikan menebalkan dan menguatkan iman bagi pemiliknya, tapi tentunya kita harus sadar kedudukan ilmu pengetahuan tidak lebih hanya sebagai pengantar demi kehidupan yang abadi, yakni kehidupan setelah hidup didunia yang fana ini. Dan kita tempatkan ilmu pengetahuan pada porsi nomor dua setelah menempatkan tugas-tugas rohani pada tempat teratas tentunya.

III. PARADIGMA KEILMUAN ISLAM
    Diatas telah dijelakan bahwa islam adalah agama rahmatal lil alamin, ini menuntut para pakar ilmuan islam untuk melestarikan tatanan spiritual ataupun sosial yang penuh rahmat yang telah dituturkan dalam wahyu ilahi yang telah di interpretasikan oleh prilaku Nabi Muhammad SAW, semasa masa hidup beliau. Dalam hal ini terjadi beberapa fase, yang akan kami jelaskan sebagai berikut:
a. MASA NABI SAW
    Pada masa ini orang-orang muslim lebih dimanjakan dengan adanya Nabi SAW ditengah-tengah mereka, karena setiap ada problematika, mereka langsung bertanya pada Nabi SAW, dan beliau langsung memberikan jawaban yang membuat mereka langsung puas an menerimanya tanpa banyak protes pada beliau. Namun sebagai pemimpin, Nabi tidak semena-mena semua harus dari beliau, terbukti ketika beliau mengutus sahabat Mu’adz sebagai qodli kenegara yaman, beliau bertanya padanya: “ Nabi bertanya kepadanya: dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz? Lalu Mu’adz menjawab; dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah. Nabi SAW. Kalau tidak engkau dapati dalam kitabullah? Mu’adz, saya akan memutuskan dengan sunaturrosulullah, Nabi, jika kamu tidak menemukan pada putusan rosulullah? Mu’adz, saya akan berijtihad dengan menggunakan akal saya. Nabi, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari Rasul-Nya”. (H.R. al-Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad dan al-Darimi).
    Hadits diatas merupakan anjuran untuk berijtihad dalam memutuskan berbagai problematika kehidupan yang tidak tersurat dalam tekstual Al-Qur’an atau Al-Hadits. Dan masih banyak lagi putusan-putusan Nabi tentang hal ini. Seperti hadits yang diriwayatkan al-Bukhori dan Muslim:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر                            
    “Apabila seorang hakim menetapkan hokum dengan berijtihad, kemudian dia benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menetapkan hokum dengan berijtihad, dan ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala”. 
b. MASA SAHABAT
    Pada masa ini, para sahabat dalam menetapkan hukum sangat hati-hati dalam menerima informasi, tawadhu’ (bersikap toleran tafsir terhadap pendapat sahabat lain yang kontra), dan realistis-pragmatis. Oleh karena itu mereka selalu bersikap :
1)    Hanya brijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi;
2)    Suka tukar-menukar informasi atau saling bertanya mengenai suatu masalah;
3)    Sering bermusyawaroh untuk memecahkan suatu masalah secara bersama ( ijma’ );
4)    Tidak menganggap paling benar pendapatnya sendiri, tetapi sangat menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan untuk diikuti oleh orang lain, sekalipun ia menjadi pemimpin. Dan;
5)    Segera menarik fatwanya setelah mengetahui ketetapan sunnah yang bertentangan dengan fatwanya.
c. MASA DAULAH UMAYYAH (661-750 M)
    Pada masa ini keberlakuan ijtihad sama dengan priode-priode sebelumnya, walapun situasi dalam keadaan perpecahan politik, banyak pemalsuan Hadits, serta tersebarnya fatwa yang berlawanan.
d. MASA BANI ABASSIYAH
    Pada masa inilah munculah para pemikir-pemikir islam yang karyanya sampai saat ini dapat kita nikmati hasil karya beliau. Yaitu merupakan masa puncak dari pada masa sebelumnya. Hal tu dikarenakan beberapa faktor sebagai berikut:
1)    Hasil ijtihadnya dikodivikasikan dalam sebuah kitab, dan dilestarikan oleh asha-ashabnya;
2)    Mereka mempunyai kaidah tersendiri dalam men-istimbath-kan hokum;
3)    Masing-masing mujtahid memiliki rasa toleransi tinggi terhadap mujtahid ang lain;
4)    Pengikut mereka rakyat biasa yang didukung oleh pihak penguasa;dan
5)    Sikap penguasa selalu menghargai hasil ijtihad mereka, bahkan diberi tempat tersendiri untuk keeksistensian madzhab-madzhabnya.
Menurut sebagian ulama’, inilah masa berakhirnya ijtihad dalam hazanah islam, karena kekuasaan islam yang mulai terpecah belah dalam beberapa Negara, sedikit banyak mempengaruhi iklim keilmuan. Aktivitas ijtihad menampakkan gejala-gejala kelesuan, melemahnya kebebasan berfikir, bekunya semangat dan antusiasme terhadap pengetahuan ilmu agama, munculnya bibit-bibit fanatisme madzhab dan bahkan sampai menimbulkan ketegangan antara pengikut masing-masing madzhab. Aktivitas keilmuan tak lebih hanya sebatas pembukuan pemikiran-pemikiran mujtahid terdahulu, atau meresum dan mengomentari karya-karya terdahulu. Berangkat dari sinilah sebagian ulama’ menyerukan agar kaum muslimin tetap konsisten pada madzhab-madzhab mujtahid terdahulu. Dan juga sebagai langka antisipasi terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk berijtihad, kemudian mengaku sebagai mujtahid dan membuat hukum yang menyesatkan.
Pada masa inilah munculah nama-nama pemikir muslim yang hasil karya beliau menjadi pedoman dalam memahami ajaran islam sesuai dengan ajaran Rosulullah SAW. Beliau adalah:
a)    Imam Abu Hanifah, pola pikir beliau lebih mengedepankan rasional dalam meng-istinbath-kan suatu hukum, dan lebih hati-hati dalam menerima hadits, karena pada periode ini banyak bertebaran hadits-hadits palsu. Selain empat sumber hukum islam, beliau juga menggunakan metode istihsan.
b)     Imam Malik bin Anas, dalam meng-istimbath hukum, beliau dikenal dengan sebutan Ahlu al-Hadits. Selain empat rujukan hukum islam, beliau juga menggunakan dalil amal ahlul Madinah, masal mursalah, praktik sahabat, dan ishtisan.
c)     Imam As-Syafi’I, beliau mengkolaborasikan antara metode Ahlu Al-Ro’u (rasional) dengan dalil-dalil syara’.beliau menolak adanya istihsan, karena sama halnya dengan membuat hukum syara’ sendiri.
d)     Imam Ahmad bin Hanbal, beliau menggunakan metode Ahlul Hadits dalam ber-istinbath, dan juga fatwa-fatwa sahabat yang tidak bertentangan, hadits mursal da haidts dlo’if disamping empat rujukan hukum islam.
Dan ke empat imam ini disebut dengan madzahibul al-arba’ah.  Dan hanyalah empat imam inilah yang diakui keoutentikannya dalam menggali hukum dari dua sumber pokok, Al-Qur’an dan Al-Hadits.



IV. SAINS DALAM DUNIA ISLAM
    Sebelum menjelaskan sains dalam dunia islam perlu kiranya kami definisikan apa itu sains bahwa sains dalam ma’na yang populer, adalah sering digunakan untuk menunjuk jenis ilmu yang berkaitan dengan alam dan hukum-hukumnya, seperti : biologi, kimia, fisika dan sejenisnya. Ma’na ini lebih sempit dari pada ma’na ashlinya sains itu sendiri, yaitu segala bentuk ilmu pengetahuan, yang mencakup segala disiplin ilmu.  
    Dalam Rangkuman diskusi INSISTS, 02/10, di UIA. Dijelaskan tentang ma’na, sejarah dan tanggapan komunitas ilmuan islam mengenai sains tersebut.
Banyak orang berasumsi bahkan berkesimpulan bahwa sains hanya untuk sains. Sains itu netral dan tak pernah ada sains yang ditunggangi ideologi, kepercayaan atau agama tertentu. Maka istilah “sains Islam” itu hanya isapan jempol, ilusi belaka, katanya. Bahkan, upaya-upaya islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh beberapa kalangan selama ini hanya khayalan belaka dan lebih ke arah justifikasi sains dengan dalil-dalil agama.Istilah lainnya, “tempelisasi” sains dengan ayat-ayat agama.
Itulah beberapa kecurigaan umum yang terjadi di kalangan beberapa sarjana belakangan. Namun, sebelum kita terburu-buru berkesimpulan seperti di atas, ada baiknya kita mencoba kroscek lagi, apa betul sains itu netral, apa memang dalam Islam tidak ada sains…?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengajak kita menjumpai atau mencari ulang beberapa hal penting terkait dengan sains; definisinya, sejarahnya, dan apa yang berlaku didunia Islam terkait dengan diskursus sains.
Untuk itu penting disimak diskusi INSISTS cabang Malaysia minggu ini, (02/11), yang menghadirkan senior INSISTS, dosen IRK-IIUM, Dr. Syamsuddin Arif, untuk mengotak-atik kembali sains dan hubungannya dengan Islam. Pada kesempatan itu Ustadz Syamsuddin – begitu sebagian memanggilnya – melemparkan poin-poin yang mendesak untuk dibahas, yakni tentang definisi sains, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah sains, dan yang terakhir diskursus Islamisasi sains. Menurutnya, selama ini sains tidak mempunyai definisi tunggal. Bahkan para saintis tak pernah memikirkan apa itu sains walaupun ia melaksanakan sains sehari-hari. Walaupun demikian ada rumusan secara sengaja atau tidak sengaja disepakati dan dibuat pijakan bahwa sains itu merupakan upaya manusia untuk mengerti, memahami, dan menjelaskan alam tabi’i yang terbatas pada alam syahadah (dapat diserap oleh panca indera). Sedang yang tak bisa ditangkap oleh panca indera tidak lagi masuk obyek sains, menurut rumusan tersebut.
Kalau merujuk ke akar katanya, istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang bermakna ”aku tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun dalam perjalanan waktu telah dan terus mengalami pengerucutan maknawi (semantic reduction) hingga sekarang dibatasi untuk menunjuk pengetahuan manusiawi (bukan ilahi) mengenai alam jasmani (bukan rohani) dan alam nyata (bukan alam ghaib) secara empiris, induktif dan quantitatif.”
Dengan demikian, yang disebut sains itu hanyalah seperti fisika, biologi, kimia, dan cabang-cabangnya yang meliputi astrofisika, geofisika, thermofisika dan lain-lain, dan di luar itu bukanlah sains. Nampaknya, sains sekarang yang sangat sempit ini adalah hasil reduksi yang telah berabad-abad dan menjadi cara pandang yang mapan melalui icon utamanya, yakni tokoh-tokoh sains seperti Isaac Newton dengan Newtonian Revolution-nya, Albert Einstein dengan teori relativitasnya, Neils Bohr dengan teori Atomnya, Charles Darwin dengan teori evolusinya, Antoine Laurent Lavoisier dengan revolusi kimianya, Johannes Kepler dengan Motion of the Planets-nya, Nicolaus Copernicus dengan Heliocentric Universe-nya, dan lain sebagainya.
Lalu seperti apa sains sebelum pengertiannya menyempit? Nah inilah permasalahnya. Ketika sains yang menyempit itu sudah establish, orang cenderung melupakan sejarah. Padahal sejarah itu yang menguatkan akar suatu peradaban. Suatu peradaban terlihat kukuh dan kokoh kalau ia didukung dengan histori yang mapan. Oleh karena itu, melihat sejarah sains ke belakang, sejauh apapun jaraknya, amat penting bagi seseorang.
Di masa peradaban Islam berpapasan dengan keilmuan dari luar, utamanya Yunani, maka pemimpin Islam dan ulamanya berdiskusi panjang apakah ilmu ini perlu diambil atau ditinggalkan. Diskusi ini terjadi cukup sengit di antara ulama dan pemimpin Umat Islam
saat itu, antara Khalifah Al-Makmun dan Imam Ahmad bin Hambal dan diteruskan
oleh al-Ghazali dan Ibn Rusd, bahkan Ibn Taimiyyah juga mempunyai tempat yang
tidak kalah pentingnya mengenai hal ini.
Menurut Al-Ghazali, Sains itu manusiawi (kasbi), yakni ilmu yang didapatkan oleh manusia melalui upaya yang dilakukannya. Ilmu seperti ini tidak pernah mencapai puncak kepastian,tapi hanya mendekatinya saja. Sedangkan menurut Ibn Rusd, sains itu tidak pasti, tapi ia bisa benar. Karena, menurutnya, kalau ia tidak benar pasti tidak ada gunanya. Nyatanya,sampai sekarang ia digunakan berguna kepada banyak orang.
Jadi, dalam sejarahnya, yang dimaksud sains itu sebenarnya ilmu yang secara langsung tidak diajarkan nabi. Sebab itulah ia disebut kasbi dan karena itu pula ia menjadi perdebatan. Namun walaupun menjadi perdebatan, ulama-ulama dulu mencoba memproses ilmu itu dengan tasawwur Islami (islamic worldview). Dan ilmu ini belum mengalami penyempitan sebagaimana saat ini.
Naifnya, sains sekarang yang sudah menyempit pengertiannya itu sudah terlanjur menjadi instrumen untuk mengukur kemajuan suatu peradaban. Makanya Islam sekarang dianggap mundur gara-gara tidak banyak memegang peranan dalam sains dan teknologi.
Bagaimana umat Islam menyikapi kondisi keterbelakangannya terkait dengan kemajuan sains?
Menurut Dr. Syamsuddin, sekarang ini ada tiga arus pendapat dalam merespon sains dari kalangan orang Islam. Tapi ketiga-tiganya menurutnya bermasalah. Arus pertama, menyatakan ”Islam yes dan sains no!”; arus kedua menyatakan ”Islam yes dan sains yes!”; dan ketiga menyatakan ”sains yes dan Islam no”. Ketiga-tiganya bermasalah, karena yang pertama sangat ekstrem tidak mau tahu tantang sains. Kelompok ini dikomandani oleh Syekh al-Bakri. Sedangkan kelompok kedua, walaupun kelihatannya hendak mengkompromikan antara Islam dan sains, ternyata ending-endingnya mau menundukkan agama kepada sains, dimana ayat-ayat agama harus ditafsir mengikut selera sains. Kelompok ini dimotori oleh Ahmad Khan, Afghani. Sementara yang ketiga, sangat ekstrem menolak Islam dan sangat pro sains. Menurut kelompok ini, untuk memajukan Islam haruslah mempelajari sains. Jika setelah belajar sains tidak juga maju-maju, maka berarti yang bermasalah adalah agamanya, maka tinggalkan agama itu dan teruskan gunakan sains. Kelompok ini dimotori oleh ThahaHusayn.
Selanjutnya Dr. Syamsuddin menyebut empat macam cara bagaimana orang menghidupkan sains dalam Islam; cara saintisis, historis, sosiologis, dan yang holistik.
1. Cara saintis. Cara ini seperti yang dilakukan Akhmad Khan di atas. Namun ujung-ujungnya westernisasi Islam, memaksa Islam mengikuti gaya sains. Masih cara-cara saintis, apa yang dilakukan Jawhari, Buchaille, Nursi, dan Harun Yahya adalah upaya yang disebut oleh pemateri sebagai ”saintifikasi al-Quran”.
2. Cara historis. Cara ini bagaimana kembali lagi ke sejarah. Menghidupkan sejarah lama dengan mengangkat lagi sains-sains di masa ulama silam. Ada dua arus penggiat cara ini. Pertama para orientalis seperti Renan dan Goldziher dan kedua revisionisme seperti Sabra, Sezgin dan Saliba.
3. Cara sosiologis. Cara ini adalah apa yang dijalankan oleh Ziauddin Sardar dan kawan-kawannya.
4. Cara holistik. Cara ini dibagi kepada empat macam. Pertama apa yang dilakukan oleh Syed Hussein Nasr yang dikenal dengan ”desekularisasi ilmu”. Kedua, apa yang diusung oleh Ismail Raji al-Faruqi yang masyhur dengan ”Islamisasi Ilmu”. Ketiga, yang dijalankan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang dikenal dengan ”dewesternisasi ilmu-ilmu kontemporer”.
Menurut pemateri, kerja Nasr cukup mendalam dan menyuluh. Namun sayangnya, ide desekularisasinya ternyata ditunggangi oleh pluralisme agama. Sementara kerja keras al-Faruqi hanya untuk mengislamkan sain sosial dan tidak sain tabi’i. Karena menurutnya, yang perlu diislamkan adalah sains sosial yang memang penuh penyakit yang komplikasi. Sedangkan sains tabi’i menurutnya sudah Islam, tak perlu lagi diislamkan. Sedangkan bagi Naquib al-Attas, pada ilmu-ilmu kontemporer saat ini, ada virus yang telah menjadikannya tidak Islam. Worldview Islam telah dijangkiti oleh cara-cara pandang non-Islam yang pada giliran berikutnya ilmu-ilmu itu semakin menjauh dari Islam.
Oleh karena itu, untuk mengatasinya perlu mengenal virus itu dan cara membunuhnya. Kebanyakan dari penjelsannya, virus itu datangnya dari ideologi Barat. Virus-virus itu berupa sekularisme, pluralisme, ateisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya. Jika virus itu bisa dihilangkan, maka ilmu-ilmu itu selanjutnya akan memasuki proses islamisasi.
Kalau kita cermati, mengapa sarjana-sarjana ini berusaha keras mengangkat isu islamisasi, dewesternisasi, atau desekularisasi? Nampaknya mereka sepakat bahwa ilmu itu selamanya tidak pernah netral. Ia selalu diboncengi ideologi di mana ia tumbuh dan berkembang. Jika demikian adanya, maka setiap ilmu punya konsekuensi-konsekuensi baik positif maupun negatif, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, secara terbatas ataupun luas, dan bersentuhan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.
Sains, dengan demikan juga merupakan pengetahuan yang tidak berdiri di ruang hampa. Ia merupakan upaya-upaya manusia untuk memahami alam tabi’i ini pasti tidak netral. Hanya saja mungkin ada yang sifatnya universal, seperti teknologi dan metodologi, namun ada yang partikular yang sifatnya ekslusif pada masing-masing aliran seperti yang ontologikal, epistemologikal dan aksiologikal yang berbeda-beda yang terdapat pada masing-masing aliran. Semua itu berlaku didunia sains.
Islam pernah mencatat pencapaian sains dan teknologi yang sangat mencengangkan. Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya spirit pencarian-pengembangan sains. Tapi, saat ini dunia Islam tertinggal jauh dari Barat. Data yang menyebutkan bahwa sekitar 55 persen dari total umat Islam yang melek aksara sangatlah memalukan. Sungguh ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi raksasa sains sampai abad pertengahan.
Ketertinggalan sains-teknologi menyebabkan dunia Islam mudah ditipu dan dieksploitasi. Menurut ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI (dengan 1,1 miliar penduduk dan wilayah seluas 26,6 juta kilometer) menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia. Disebabkan problem di atas, gabungan negara-negara Islam itu hanya memiliki GNP sebesar 1,016 miliar dolar AS. Berbeda dengan Prancis (hanya penduduk 57,6 juta dan wilayah 0,552 juta kilometer) bisa memiliki GNP 1,293 miliar dolar AS.
Faktor KemunduranSufisme sering dikambinghitamkan sebagai sebab kemunduran sains Islam. Dikatakan bahwa gerakan moral spiritual yang dipelopori kaum sufi saat itu telah mengkristal menjadi tarekat-tarekat yang kebanyakan diikuti orang awam. Popularisasi tasawuf dianggap bertanggung jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan irrasional di masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek mistik supranatural. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan sejenisnya telah menyuburkan berbagai bidah, tahayul dan khurafat. Akibatnya, perkembangan iptek disalib oleh ilmu sihir, perdukunan serta aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon dan perjimatan.
David Lindberg menyebutkan bahwa kemunduran sains Islam erat kaitannya dengan oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi-politik dan keterasingan. Sains dan saintis pada masa itu sering ditentang dan disudutkan, misalnya dalam kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat di Cordoba. Krisis ekonomi, kekacauan politik dan keterasingan umat Islam memiliki sumbangan signifikan pada kejatuhan sains ini. Kehilangan dukungan pilar-pilar ini membuat perjalanan sains menjadi mandeg, bahkan berhenti.
Di samping faktor-faktor di atas dan faktor lainnya, kemunduran sains Islam jelas diawali dengan kehilangan spirit sains Islam itu sendiri. Para ilmuwan terkemuka zaman keemasan Islam senantiasa mengaitkan setiap aktifitas ilmiahnya dengan ajaran Islam. Mereka mendalami sains tidak semata-mata untuk menjadi saintis, tetapi menjadi hamba Allah yang menjalankan tugas kehambaannya dengan baik. Spirit seperti ini tidak hanya hilang dari saintis, tapi banyak pihak yang terkait dengan kebijakan sains, terutama pemerintah.

                                                                 BAB III
                                                               PENUTUP
I. KESIMPULAN
a.    Islam Sebagai Paradigma Nilai, merupakan sebuah parameter yang sangat tepat, bila kita mengacu pada ajaran islam dalam membentuk nilai-nilai kemanusian. Karena kalau kita renungkan tentang aajaran yang ditawarkan islam, disana sangat sarat dengan norma-norma kemanusian.
b.    Hubungan Tauhid dengan Ilmu Pengetahuan, Tauhid mengajarkan manusia tidak boleh tunduk pada alam, tapi alamlah yang seharusnya dimanfaatkan oleh manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Ini adalah sebuah ajaran yang mengandung perintah bahwa manusia harus berilmu yang dengan ilmu itu dia bisa mengekploitasi alam ini. Dan juga sebuah ajaran yang membuat manusia sadar sepenuhnya, bahwa apa yang dimampuinya hanyalah sekedar kehendak Allah SWT yang maha mencipta dan maha melakukan sesuatu.
c.    Paradigma Keilmuan Islam, dalam menentukan hukum, para ilmuan islam sangat hati-hati dalam menentukan aturan-aturan islam. Dengan sebuah motif, yaitu menjadikan umatnya selamat di dunia dan akhirat. Dan islam sangat peduli terhadap penganutnya untuk berpikir, bukan hanya sekedar manut, namun masa dalam batas kewajaran.
d.    Sains Dalam Dunia Islam, Sains haruslah dijadikan seorang muslim sebagai hamba yang senantiasa merealisasikan tugas-tugas dari Allah SWT. Bukan malah menuhankan sains itu sendiri.

II. SARAN
    Sebegai generasi muslim, harus mampu mengaktualkan rumusan-rumusan hukum yang telah dicetuskan ulama’-ulama’ terdahulu. Dan insyaallah pasti bisa untuk menjawab problematika perkembangan zaman, karena para ulama’, dalam mencetuskan hukum tidak hanya dengan intelektual beliau, tapi juga dengan hati nurani yang seteril dari nilai-nilai kedunia’an yang fana ini. Jika memang tidak secara eksplisit dalam rumusan-rumusan beliau, pastilah secara implisit ada rumusan itu. Tinggal kita harus mampu untuk mengaktualkan atau tidak. Tetap berpeganglah pada salafusholihin.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Hajwi, Al-Hasan, Muhammad. Al-Fikr As-Sami fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islami.
Atang, Abd. Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam. 2009. Bandung  T.
     Ibn Abdul Karim Al ‘Aql, Nashir. Tauhid dalam Pengetahuan dan Keyakinan, http://alsofwah.or.id.
Kalimasada, Team MHM Lirboyo, Kearifan Syari’at, 2009.
Makalah yang dibuat untuk memenuhi persyaratan mengikuti LK 2 HMI Cabang Malang yang dilaksanakan pada 7 Oktober 2007 di sekolah Masjidil Ilm Bani Hasyim, Singosari, Malang.
Muhaimin, MA, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Kencana Prenada Media Group, 2005.
Mujieb, Abdul AS, Tujuan Hidup Manusia dalam Pandangan Islam, karya utama (tanpa tahun).
Nata, Abidin, Metodologi Study Islam, Bumi Aksara 2006.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar