Selasa, 24 Januari 2012

NASKH DAN MANSUKH DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah dalil pertama dan utama dalam perujukan dan penetapan hukum syari’at islam. Al-Qur’an merupakan pokok agama, dasar aqidah, sumber syari’at dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman :
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين “Kitab (Al-Qur’an ), ini tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqoroh : 02)
Dalam ayat lain Allah berfirman : وأن احكم بينهم بما أنزل الله “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah”.
Dari Al-Qur’an lah legalitas sumber-sumber hukum yang lain tercetuskan. Kewajiban berpegang dan berpijak dengan As-Sunnah tercantum didalamnya. Begitupula, untuk berpedoman pada ijma’ dan qiyas sebagai hujah, kita harus berdasarkan pada Al-Qur’an. Karena itulah Al-Qur’an dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum islam.
Secara harfiah, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar yang berma’na qiro’ah (bacaan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapakan sebagai kumpulan kalam Allah SWT. Yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminology, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bernahasa arab sebagai mu’jiyat yang diturunkan kepada rosul-Nya, Muhammad Saw. Melalui malikat Jibril yang tertulis dilembaran-lembaran yang teriwayatkan pada kita secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah. Dan Al-Qur’an merupakan kitab yang turun dari langit, yang keashlinnya akan senantiasa dijaga oleh Allah Swt.
BAB II
PEMBAHASAN
NASKH DAN MANSUKH
I. DEVINISI
Secara etimologi NASKH adalah menghilangkan sesuatu dan meniadakannya, seperti ungkapannya orang arab “ Uban menghilangkan sifat muda ”. atau bisa juga berarti النقل (memindah atau menyalin). Sedangkan menurut terminologi, dalam mendefinisikan naskh para Ulama’ terjadi kontradiksi. Namun dari sekian banyak pendefinisian, secara umum terdapat dua pendefinisian yang paling populer.[1]
Pertama : Naskh adalah penjelasan tentang selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ dengan kemunculan hukum syara’ yang lebih akhir. Maksud dari selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ adalah bahwa hukum yang ter-naskh telah ditentukan batas akhir berlakunya disisi ALLAH. Pengertian ini dipelopori oleh Al-Baidlowi dan Ar-Rozzi.
Kedua : Menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir. Maksudnya adalah menghapus evektifitas hukum syara’ dalam kaitannya dengan perbuatan mukallaf.
Dari dua definisi ini Tajuddin As-Subkhi lebih memilih definisi yang kedua, beliau menjelaskan dalam kitab jam’ul al-jawami’, bahwa dengan definisi yang kedua, tercakup pula naskh hukum sebelum mungkin untuk damalkan.[2] Namun, Syaikhul islam Zakariyah Al-Anshori menganggap dua definisi diatas mempunyai subtansi yang sama.[3]
Sedangkan Al-Mansukh adalah dalil syara’ yang dicancel ketetapan hukumnya.
II. SYARAT-SYARAT NASKH
a. Adanya mansukh (hukum yang tercancel) adalah hukum syara’
b. Dalil yang mencancel adalah dalil syara’
c. Dalil yang mencancel (An-Naasiikh) lebih akhir datangnya dari pada mansukh, yang tidak muttashil.
d. Dua dalil terjadi kontra secara haqiqi.
Keempat syarat diatas harus benar-benar wujud untuk adanya naskh menurut mayoritas ulama’. Sedangkan sebagian syarat yang dikontadiksikan adalah :
a. Dalil yang mencancel Al-Qur’an harus berupa dalil Al-Qur’an juga, begitu juga As-Sunnah dengan As-Sunnah.
b. Dalil yang mencancel harus mencakup hukum yang dicancel.[4]
III. MACAM-MACAM NASKH
Dilihat dari objeknya ada tiga macam :
a. Menghapus tulisannya saja, bukan ketetapan hukumnya. Seperti contoh ayat yang berbunyi : الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة “Lelaki yang sudah tua dan perempuan yang sudah tua itu ketika berzina, maka rajamlah keduanya”. Sahabat Umar bin Khotob berkata : “Aku pernah membaca ayat ini”. Kemudian ayat tersebut tulisannya dihapus dari mushaf Al-Qur’an, oleh karena itu tidak lagi dinamakan ayat Al-Qur’an, artinya bagi orang yang berhadats boleh menyentuhnya dan bagi orang yang junub boleh membacanya. Namun hukum pe-rajam-an yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku, dengan bukti Nabi SAW selalu meranjam orang-orang muhshon yang melakukan perzinaan.
b. Menghapus hukumnya bukan tulisannya. Seperti contoh ayat Al-Baqoroh:184 : وعلى الذين يطيقونه فدية.... “dan wajib bagi orang-orang yang mampu menjalankannya (puasa) membayar fidyah”. Pada ayat ini dinyatakan bahwa, bagi orang yang mampu melakukan puasa boleh berpuasa dan juga boleh tidak puasa tapi bayar fidyah. Kemudian hukum yang dikandung ayat ini dihapus (tulisannya masih ditetapkan) dengan mewajibkan berpuasa bagi orang yang mampu berpuasa, tidak hanya sekedar mengganti dengan membayar fidyah.
c. Menghapus tulisannya sekaligus hukum yang terkandung didalamnya. Seperti contoh ayat : عشر رضاعات معلومات يحرمن “Sepuluh kali susuan ang diketahui, menjadikan hubungan mahrom”. Syaidah Aisyah r.a. berkata : “pada mulanya ayat ini dicantumkan didalam mushaf Al-Qur’an dan hukumnya juga berlaku. Kemudian ayat ini dicancel baik tulisannya maupun kandungan hukumnya”. Ayat yang men-naskh- ayat diatas adalah ayat yang berbunyi : خمس رضاعات معلومات يحرمن “Lima kali susuan yang diketahui menjadikan hubungan mahrom”.[5]
Dilihat dari An-Nasiikh (dalil yang mencancel) dan Al-Mansukh (dalil yang tercancel) ada empat macam :[6]
a. Ayat Al-Qur’an di-naskh dengan ayat Al-Qur’an yang lain. Seperti terdapat pada ayat yang menjelaskan tentang iddah dan ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban mempertahankan diri dimedan perang ketika menghadapi orang-orang kafir.
b. Ayat Al-Qur’an yang di-naskh dengan Al-Hadits atau As-Sunnah. Macam yang kedua ini para ulama’ terjadi kontradiksi :
1. Menurut versi Shohih : diperbolehkan men-naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah secara muthlak, baik hadits yang mencancel merupakan hadits mutawatir(Hadits yang diriwayatkan atau diberitakan oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat diantara mereka untuk berdusta) atau hadits ahad (Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang). Mereka berlasan bahwa fungsi hadits adalah menjelaskan yang sebenarnya dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم “ Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (Q.S. An-Nahl: 44). Dan juga mereka berpandsangan bahwa apa yang disabdakan Nabi pasti berdasarkan wahyu, tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu. Allah berfirman : وما ينطق عن الهوى “ Dan tiadalah apa yang diucapkan itu, menurut kemauan hawa nafsu”. (Q.S. An-Najm: 03).
2. Menurut As-Subkhi : yang men-naskh ayat Al-Qur’an hanyalah hadits yang mutawatir. Karena ayat-ayat Al-Qur’an itu semuanya diriwayatkan secara mutawatir. Maka yang bisa men-naskh ayat-ayat Al-Qur’an hanya hadits yang tingkat periwayatannya menyamai Al-Qur’an.
3. Menurut versi yang ketiga : Tidak boleh men-naskh ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan hadits secara muthlak, baik hadits tersebut mutawatir apalagi hadits ahad. Karena men-naskh ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits berarti sama halnya menggantikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Saw, padahal Al-Qur’an itu sama sekali tidak boleh diganti, meskipun oleh Nabi sendiri. Allah berfirman : قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي “ Katakanlah : “ tidak sepatutnya bagiku menggantinya, atas inisiatifku sendiri”. (Q.S. An-Najm :03).
Contoh-contoh men-naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir dan hadits ahad :
^-^Dengan hadits mutawatir, seperti yang dicontohkan oleh imam Al-Baidlowi adalah : men-naskh ayat yang menjelaskan pencambukan atau hukum dera bagi para pezina, dengan menggunakan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Saw meranjam orang-orang muhshon yang berzina.
^-^Dengan hadits ahad, seperti hadits yang diriwayatkan oleh imam At-Turmudzi : لاوصية لوارث “Tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
c. Men-naskh As-Sunnah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. seperti menghapus kewajiban menghadap kearah Baitul maqdis ketika sholat, diganti dengan menghadap kearah Baitullah (ka’bah).
Sebagaimana tertuang dalam surat Al-Baqoroh ayat 149 : فول وجهك شطر المسجد الحرام “Maka palingkanlah wajahmu kearah masjidl karom”.
d. Men-naskh As-Sunnah dengan menggunakan As-Sunnah yang lain. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan imam muslim : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها “Aku telah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah”.
Pada permulaan islam Nabi Saw melarang para sahabat melakukan ziarah kubur, karena keimanan mereka pada umumnya masih lemah, dihawatirkan akan terjadi hal-hal yamng mengarah kepada syirik (menyekutukan Allah). Kemudian setelah keimanan mereka menjadi kuat, Nabi menganjurkan mereka untuk ziarah kubur, dengan tujuan untuk mengingat kematian yang pasti akan dialami oleh semua manusia.
IV. PERBEDAAN NASH DAN TAKHSHIS [7]
Telah kita ketahui apa definisi dari naskh adalah mencancel hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang lebih akhir. Sedangkan tahshis adalah memisahkan atau mengecualikan sebagian kelompok (dari yang lain), yang sebenarnya tercakup didalam suatu lafadz. Seperti mengecualikan kafir dzimmi dari hukum-hukum yang berkaitan dengan orang-orang musyrik, pada ayat : فاقتلوا المشركين “Bunuhlah orang-orang musyrik”. Kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan islam) termasuk dalam katagori musyrikin, namun dalam masalah memerangi orang-orang musyrik, kafir dzimmi dikecualikan. Sedangkan perbedaan antara naskh dan takhshis ada tujuh perbedaan sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syaekh Muhammad Abdul Adzim Adz-Dzarqoni dalam karangannya yang bernama MANAHILUL IRFAN FI ULUUMIL QUR’AN Ad-Dar Al-Hadits vol. 02n hal. 154-155 sebagai berikut :
  1. Lafadz ‘Am (global) setelah ditakhsis adalah sebuah majaz, Karena lafadz lafadz yang ‘Am mengeluarkan selain afrodnya (individu yang terakomodir didalamnya) secara ma’na. Sedangkan secara lafadz masih berbentuk mengkomodir. Sedangkan yang menunjukan pengeliminasian sebagian afrod adalah sebuah qorinah yang dinamakan mukhosis dalam usul fiqh. Sedang mansukh sifatnya menyeluruh.
  2. Sesuatu yang dikeluarkan dengan takhsis keberadaannya tidak dikehendaki sama sekali oleh lafadz ‘Am . Sedangkan sesuatu yang dikeluarkan oleh naskh secara lafdziahnya dikehendaki didalam mansukh.
  3. Takhsis tidak bisa mendatangkan atas sebuah perintah terhadap satu yang diperintah dan tidak bisa sebuah larangan terhadap satu hal yang dilarang. Sedangkan naskh mungkin untuk hal itu. Seperti menaskh sebagian hukum kehususan bagi Nabi Saw.
  4. Naskh mencancel kehujahan yang ada didalam mansukh secara menyeluruh apabila naskh bersifat menyeluruh, dan mencancel sebagian kehujahan mansukh apabila naskh bersifat sebagian. Sedang takhsis tidak dapat mengcancel kehujahan ‘Am selamanya.
  5. Naskh harus dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sedangkan takhsis bisa dengan Al-Qur’an, As-Sunah, dalil kenyataan (بالحس ) dan dalil aqli.
  6. Naskh / Naasiikh (dalil yang mencancel) datangnya harus lebih akhir dari pada mansukh sedangka takhsis bisa dengan dalil yang lebih dulu, yang lebih akhir dan yang bersamaan.
  7. Naskh tidak bisa wujud pada sebuah ikhbar berbeda dengan takhsis yang bisa ada pada ikhbar dan yang lain.
V. TAHQIQ PERBEDAAN PENDAPAT ADANYA AYAT AL-QUR’AN YANG MANSUKH [8]
Dalam menyikapi ayat-ayat Al-Qur’an yang mansukh, para ulama’ terpecah menjadi tiga kelompok.
  1. Meniadakan adanya naskh dan mereka mentakwilkannya dengan tahshis atau sejenisnya. Versi ini dipelopori oleh Abu Muslim Al-Ashfihani.
  2. Versi kedua menyatakan menerima adanya naskh secara wajar, yakni mengarahkan pada naskh sebagai upaya terakhir ketika dijumpai adanya kontradiksi antara dua dalil dan tidak mungkin untuk mengkompromikannya (jami’ ) serta didasarkan pada pengetahuan akan sisi historis turunnya ayat.
  3. Sedangkan kelompok ketiga ini terlalu berlebihan dalam menyikapi naskh dengan memperbanyak jumlah ayat-ayat mansukh. Sehingga ada beberapa ayat yang bukan mansukh mereka katakan ayat yang mansukh. Termasuk dalam kelompok ketiga ini adalah, Abu Ja’far Al-Nuhhas, Hibatullah bin Salamah dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hazm.
Dari ketiga kelompok diatas, pendapat yang paling tepat adalah pendapat kelompok kedua. Karena menurut pandangan komunitas sunni, bahwa secara akal, tidak ada suatu apapun yang wajib dilakukan atas hambanya, bahkan Allah mempunyai kewenangan muthlak untuk memerintah, mencegah, membuat aturan ataupun mencancel aturan pada hambanya. Dan Allah tidak wajib berbuat baik terhadap seorang hamba, akan tetapi hanya sebuah kejaizan bagi Allah hal itu. Sedangkan komunitas mu’tazilah pun sepakat adanya naskh, namun mereka merasionalkan bahwa Allah harus berbuat yang terbaik untuk hambanya, sehingga sangat mungkin terjadinya naskh, bilamana hukum yang lama itu dinilai oleh Allah tidak baik bagi hambanya.[9]
Kemudian secara dalil naqli beberapa ayat menyebutkan sebagai berikut :[10]
1. Surat Ar-Ra’du ayat 39 : يمحو الله ما يشاء ويثبت وعنده أمّ الكتاب “ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki). Dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz)”.
2. Surat Al-Baqoroh ayat 106
ما ننسخ من أية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أنّ الله على كل شئ قدير
“ Ayat yang mana saja kami naskh kan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesunguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu?”.
3. Surat An-Nahl ayat 101 :
وإذا بدلنا أية مكان أية والله أعلم بما ينزل قالوا إنما أنت مفتر بل أكثرهم لايعلمون
“ Dan apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata : “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Secara garis besar dapat kita konglusikan, bahwa naskh adalah Menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir. Maksudnya adalah menghapus evektifitas hukum syara’ dalam kaitannya dengan perbuatan mukallaf.
2. Semua ulama’ sepakat, bahwa secara rasional ataupun factual naskh pada Al-Qur’an bukanlah hal yang mustahil terjadi. Dan secara factual hanya Abu Muslim Al-Ashfihani yang menolaknya. Hanya saja, penolakan ini hanya sebatas keengganannya dalam menyebutkan beberapa hokum yang mengalami penyalinan dengan istilah naskh. Ia menyebutnya dengan istilah takhshis. Sehingga pada dasarnya, tidak terdapat kontradiksi mengenai terjadinya naskh dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Mayoritas ulama’ memperbolehkan penaskh-an ayat Al-Qur’an dengan As-Sunnah, begitupun sebaliknya. Hanya saja, As-Syafi’I dalam beberapa karya beliau menyebutkan ketidaklayakan hal tersebut. Para pengikut madzhabnya yang memiliki pendirian berbeda menjelaskan bahwa statemen beliau hanyalah suatu bentuk etika dalam menjelaskan kesejalanan dua pilar pokok syari’at islam itu. Bahwa setiap kali Al-Qur’an menaskh As-Sunnah, maka pasti terdapat As-Sunnah yang mendukung penaskh-an tersebut, begitupula sebaliknya.
4. Dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur’an yang mansukh, perlu adanya kehati-hatian. Karena ketika terjadi kontradiksi dua dalil atau lebih, maka naskh adalah alternative ang terakhir, setelah terlebih dahulu mencari kemungkinan takhshis, taqyiid (mengqoyidi dalil yang masih global) dan tabyin (menjelaskan dalil yang masih global). Karenanya. Perlu mengetahui runtutan peristiwa turunya suatu khithob (asbabul anuzul dan asbabul wurud). Disamping itu, dalam mengadopsi keterangan generasi salaf mengenai ayat-ayat yang mansukh, perlu penelusuran yang mendalam. Karena, naskh dalam istilah sahabat memiliki ma’na yang berbeda dengan naskh menurut terminology ushul fiqh. Generasi sahabat menyebut naskh dalam pengertian yang lebih umum, akni mencakup takhshis, taqyiid dan tabyin, selain juga ma’na naskh itu sendiri dalam term ushul fiqh.

[1] Wahbah al-Zuhayli, ushul al- fiqh al-islami, vol.II, hlm.933-934
[2] Taj al-Din al-Subkhi, jam’ al-jawami’, vol II, hlm.75 Dar ibn ‘abud 1995
[3] Zakariyah al-Anshori, Ghoyat al-Wushul, hlm. 87, al-Hidayah Surabaya
[4] Asyeh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, manahilul Irfan, vol. II, hlm. 150, Dar al-Hadits, 2001
[5] M. Ridwan Qoyyum Sa’id, terjemah nadzom tashhilut thuruqot, hlm.86-87, mitra gayatri
[6] Ibid, hlm.90-92
[7] Asyeh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, manahilul Irfan, vol. II, hlm. 153-155, Dar al-Hadits, 2001
[8] Asyeh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, manahilul Irfan, vol. II, hlm. 182, Dar al-Hadits, 2001
[9] Asyeh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, manahilul Irfan, vol. II, hlm. 156, Dar al-Hadits, 2001
[10] Ibid, 160-161

DAFTAR PUSTAKA
  1. Manahilul Irfan fi ulumil qur’an, Dar Al-Hadits 2001 vol. II
  2. Jam’ul jawami’, Dar Ibnu Abud,1995 vol. II
  3. Ushul Fiqh al-islami, vol. II
  4. Terjemahan Nadzom waroqot Tashilul Thuruqot, mitra gayatri
  5. Bahrul muhith fi Ushulul Fiqh, Dar al-kutub al-ilmiyah 2000 vol. II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar