Sabtu, 28 Januari 2012

PANDANGAN AL-GHOZALI TENTANG ETIKA BERAQIDAH

BAB I
PENDAHULUAN

Suatu aqidah atau keyakinan merupakan sesuatu yang urgen dalam menentukan perjalan ketauhidan seseorang, maka sangat perlu kiranya mempelajarinya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan mendalam. Karena pemahaman yang kurang maksimal akan menyebabkan tersesat dan mudah menyalahkan orang lain.
Islam adalah Idiologi yang santun, dan rahmat bagi seluruh umat. Sehingga para pemeluknya dituntut untuk bisa mewujudkan bahwa Islam benar-benar rahmat bagi seluruh umat. Dari sinilah Islam mengatur pemeluknya, bahkan pada seluruh umat suatu aturan bersosial, berinteraksi dengan Tuhannya dan juga dengan sesamanya.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang etika beraqidah menurut pandangan Al-Ghozali. Namun untuk yang pertama akan dipaparkan tentang biografi sang Imam, pandangan beliau tentang aqidah dan baru akan dipaparkan tentang pandangan beliau tentang etika beraqidah.

BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA BERAQIDAH MENURUT AL-GHOZALI


I.    BIOGRAFI
Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Atthusi Al-Ghozali, itulah nama beliau, Hujjatul Islam adalah julukan beliau. Dilahirkan di kota kecil bernama Ghazaleh yang terletak dekat Thus di Khurasan Iran. Pada tahun 405 H / 1059 M. Beliau adalah anak dari seorang pemintal dan penjual bulu woll, ayah beliau tergolong orang yang tidak mampu, namun sholeh yang tidak pernah memakan kecuali dari apa yang ia hasilkan dari pekerjaannya (1).  Ayah beliau termasuk keturunan Persi dan telah meninggal semasa Al-Ghozali dan adiknya masih kecil.
Semasa hidupnya, sang ayah sangat cinta terhadap Ulama’, sangat patuh bahkan siap berkhidmah pada mereka dan memberikan apa yang ia punya. Dan beliau selalu berdo’a agar anaknya nanti menjadi ulama’ besar, ulama’ ahli fiqih, ahli mauidzoh dan tasawwuf. Dan do’a beliau dikabulkan oleh Allah.
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Al-Juwayni atau yang terkenal dengan sebutan Imam Haromain yang merupakan seorang Teolog Asy’ariyah terkemuka saat itu di Naisabur (2).
Kemudian al-Ghazali mulai menjalani kehidupan Asketis, ibadah, penyempurnaan rohani serta moral, dan pendekatan diri kepada Allah. Tahun 488 al-Ghazali menunaikan ibadah haji, selesai berhaji dia pergi ke Syam dan tinggal di Damaskus, dari sini al-Ghazali pergi ke Baitul Maqdis untuk beribadah. Dikisahkan juga al-Ghazali pergi ke Iskandariah dan tinggal untuk beberapa lama. Kemudian al-Ghazali pergi ke Thus untuk menulis karyakaryanya. Al-Ghazali juga sempat mengajar kembali di al-Nizamiah namun al-Ghazali meninggalkan perguruan itu untuk pulang ke Thus mendirikan khanaqah bagi para sufi dan madrasah. al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya dengan mengkhatamkan al-
Qur’an, bertemu para sufi dan mengajar sampai dia menghadap Tuhannya. Al-Ghazali meninggal hari senin 14 jumadil Akhir tahun 505 H (3).
II.    PANDANGAN AL-GHOZALI TENTANG AQIDAH
Didalam kitab beliau ihya’ ‘ulumuddin, Al-Ghozali menginterpretasikan dua kalimat sahadah sebagai berikut (4):
Kalimah pertama أشهد أن لا اله الا الله 
1.    Mengandung ma’na suatu penyeterilan terhadap Dzat Allah dari segala sesuatu sifat kurang, sifat-sifat yang menyamai makhluk, seperti penjisiman terhadap Dzat Allah. Allah tidak dibatasi ruang dan waktu, tidak disanggah oleh ‘arsy dan malaikat penyanggahnya, bahkan ‘arsy dan malaikat penyanggahnya disanggah oleh kekuasaan Allah.
2.    Sifat ketuhanan mangharuskan Allah mempunyai sifat kuasa dan hidup, Allah menjadikan seluruh alam raya ini tanpa bantuan dan tidak butuh bantuan siapapun, karena sifat butuh adalah sifat yang kurang, maka harus disterilkan dari  Tuhan.
3.    Sifat terpaksa adalah sifat yang tidak layak bagi Tuhan yang mmempunyai kekuasaan muthlak, sehinggga Allah harus bersifat berkehendak. Kehendak Allah tidak atas dorongan atau paksaan dari siapa dan apapun.
4.    Kuasa terhadap segala sesuatu tentu harus mengetahuiatas segala sesuatu tersebut. Taunya Allah tidak sama dengan pengetahuan makhluk-Nya, Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi di alam raya ini, baik secara global ataupun hal-hal yang terperinci.
5.    Allah Mahaberfirman untuk menyampaikan pada makhluk-Nya apa yang Ia perintahkn dan apa yang Ia larang.
Kalimah kedua وأشهد أن محمدا رسول الله 
Mengandung ma’na sebuah pengakuan seorang hamba terhadap Tuhannya, bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan-Nya yang terakhir. Dan wajib menyakini dan membenarkan segala sesuatu yang disampaikan dan dibawa olehnya.
    Dalam kitabnya “al-Arba’in fi Ushul al-Din” yang diterjemahkan oleh Muhammad Zaid Su’di dan lulu Zahidiyah, pandangan Al-Ghozali tentang aqidah ketuhanan pada garis besarnya sama dengan ulama’ sunni yang sering kita dengar atau kita ketahui, misalkan tentang ke Qodiman Dzat Allah dan kekudusan Alam raya ini. Allah bukanlah subtansi yang dapat diukur seperti halnya subtansi-subtansi selain-Nya.
Pemikiran akidah al-Ghazali adalah selaras dengan akidah ahl al-sunnah wa al-jama‘ah aliran al-Asha‘irah yang diasaskan oleh al-Asy‘ari (m.324H). Berkenaan kebenaran aliran ini, al-Bayhaqi (m.458H) dan al-Subki (m.771H) menjelaskan al-Asy‘ari bukanlah pembuat bid’ah yang bertentangan dengan ulama salaf terdahulu, sebaliknya beliau menggunakan pandangan mereka, di samping membuat tambahan dan penerangan atas pandangan mereka berdasarkan syara’ dan akal yang sahih untuk mempertahankan akidah setelah ia diselewengkan (5).
Dalam kitab “Tahafut al-falasifah”, beliau tidak setuju bila Tuhan harus disterilkan dari beberapa sifat yang akan menjadikan Tuhan berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al. Bagi al-Ghozali hal ini ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia menjadi sesuatu yang lain dari Dzat (6).
III.    PANDANGAN AL-GHOZALI TENTANG ETIKA BERAQIDAH
Al-Ghozali melihat sumber kebaikan pada manusia bersumber pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqorrub) terhadap Tuhan. Beliau juga menganggap Tuhan adalah Pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan kebaikan bagi sekalian alam. Ini sangat bertenttangan dengan anggapan filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia (7).
Menurut beliau, bahwa manusia sebisa mungkin berusaha untuk meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, ber-idiologi, dan lain sebagainya (8)
Didalam ihya’ beliau menjelaskan ketika seseorang beradu argumen, maka harus bertujuan mencari kebenaran. Sehingga apabila kebenaran itu berada atau datang dari lawan debatnya, maka dia harus bersyukur atas apa yang telah dilakukan lawannya, yaitu memberi tau kesalahannya dalam memahami suatu fan ilmu, tidak boleh menganggap lawan debatnya sebagai musuh bahkan dianggap sebagai orang yang telah menunjukkan dirinya dari jalan yang salah (9).
Didalam kitab beliau “Maqasyid Falasifah”, beliau menyatakan dalam dalam pengantar kitab tersebut :
“Amma ba’du… Saya berpegang pada perbincangan yang positif-konstruktif dalam mengungkap kerancuan pemikiran para filsuf, kontradiksi pendapat mereka, penipuan dan penyesatan pemikiran mereka. Janganlah anda terlalu berlebih-lebihan dalam berpegang pada suatu madzhab kecuali setelah anda mengetahui madzhab mereka dan anda mengungkapkan keyakinan mereka, karena berpegang pada madzhab yang salah sebelum menguasai pikiran-pikirannya adalah mustahil bahkan merupakan pendapat yang sesat (bodoh) dan menyesatkan.
Karena itu, kami hendak mendahulukan menerangkan kerancuan mereka secara singkat, meliputi latar belakang ilmu mereka, berupa: logika, fisika dan metafisika, tanpa membedakan kebenaran dan kesalahannya, bahkan saya hanya bermaksud untuk memberikan pemahaman tentang orientasi pembicaraan mereka, tanpa bertele-tele dengan tidak perlu menyebutkan sesuatu yang tidak menjadi bagian dari maksud yang sebenarnya. Dan kami akan menyajikannya dengan cara yang sama (mengikuti langkahnya) dan deskriptif disertai dengan dalil yang mereka yakini.
Orientasi buku ini adalah menceritakan tentang “tujuan-tujuan para filsuf”. Inilah nama buku “Maqosyid Falasifah”. Pertama-tama, kami akan memperkenalkan pada anda bahwa ilmu-ilmu mereka terbagi menjadi empat bagian, yaitu: ilmu pasti (al-Riyadiyat), logika (al-mantiqiyat), fisika (al-thabiiyat) dan metafisika (al-ilahiyat).”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa tidak semena-mena kita mengklaim kesalahan suatu aqidah orang lain sebelum kita memahami aqidahnya orang tersebut.
    Dalam menyikapi perbedaan tentang kenyakinan belajar ilmu kalam, beliau tidak langsung mengklaim salah mereka yang melarang dan tidak langsung membenarkan mereka yang melegalkan, akan tetapi beliau memaparkan seberapa kebutuhan terhadap ilmu tersebut, dan bagaimana kondisi dari sang mutholib itu sendiri baru memberi kesimpulan hukumnya (10).
Pemahan diatas diperkuat lagi bila kitab melihat kitab beliau yang bernama “Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah”, dalam masalah Allah dilihat atau tidaknya beliau mengatakan :
“Tidak seyogyanya mengkafirkan setiap lawan kita dalam Aqidah ketika melihat kesalahan terhadap dalil yang digunakan, akan tetapi boleh mengatakn mereka adalah sesat atau pembuat bid’ah, dikatakan sesat, karena mereka sesat dalam memahami dalil atau jalan yang mereka gunakan. Sedangkan dikatakan Pembuat bid’ah, karena mereka mengadakan sebuah ungkapan yang tidak pernah dikatakan dan tidak ditemukan keterangan dari ulama’ salaf” (11).
Beliau juga mengatakan bahwa dalam masalah ta’wil ada beberapa cara dan tidak boleh berpindah dari cara satu ke cara yang lainnya kalau tidak ada hal yang sangat mendesak (dlorurot). Dalam masalah yang sama (melihat Allah), beliau mengatakan cara-cara itu adalah kurang lebihnya demikian (12):
1.    Wujud Dzati (dhohir)
2.    Wujud Hisbii
3.    Wujud Khoyali atau ‘Aqlii
4.    Wujud Sibhii al-Majazii
Kemudian lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa, apabila pena’wilan terhadap suatu ayat Al-Qur’an yang akan membuat orang-orang awam terganggu dalam beraqidah, maka orang yang membuat ta’wil itu dikatakan sebagai orang pembuat bid’ah, dengan catatan pena’wlan itu masih berdasarkan sebuah dalil, namun apabila tidak berdasarkan dalil, maka orang tersebut bisa dikatakan orang yang kafir (13).

BAB III
PENUTUP

I.    KESIMPULAN
a.    Al-Ghozali adalah ulama’ sufi, filosuf  dan juga ahli dalam bidang fiqih, ushul fiqh dan merupakan seorang tabib.
b.    Beraqidah perlu menggunakan etika, baik etika beraqidah dengan Sang Pencipta atau etika beraqidah dengan sesama.
c.    Beliau mengajarkan pentingnya menghargai orang lain meski kita tidak sependapat dengannya.
d.    Pengetahuan yang mendalam tentang aqidah akan memjadikan seseorang semakin bijak dalam menyikapi perbedaan dari beberapa pandangan orang lain tentang aqidah itu sendiri.
II.    PESAN
a.    Apa yang telah kami paparkan diatas semoga bisa bermanfaat bagi diri kami dan pada pembaca semua.
b.    Dan apa yang tertera adalah sekelumit tentang Imam Al-Ghozali, yang merupakan Ulama besar yang mendapat julukan Hujjatul Islam.
c.    Dan itu sangatlah belum bisa dikatakan sempurnah, sehingga kritik dan saran yang bisa menjadikan lebih baik sangat diharapkan.

__________________________________________
FOOTNOTES :
(1) Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Atthusi Al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Hal.3-4, Vol.1, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut Lebanon, 2005.
(2) Drs. Sudarsono, SH. M.Si. Filsafat Islam, Hal.62, Renika Cipta, Jakarta, 2004.
(3) WWW.WALIJO.COM© 2010
(4) Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Atthusi Al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Hal.129-132, Vol.1, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut Lebanon, 2005.
(5) http://www.ukm.my/nun/prosiding%20atas%20talian.htm
(6) http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/
(7)Drs. Sudarsono, SH. M.Si. Filsafat Islam, Hal.72, Renika Cipta, Jakarta, 2004
(8)Ibid, Hal.71.
(9)Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Atthusi Al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Hal.67, Vol.1, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut Lebanon, 2005.
(10)Ibid. Hal.137
(11)Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Atthusi Al-Ghozali, Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah, Hal.48, Huququth at-Thob’i, 1993
(12)Ibid, Hal.47
(13)Ibid, Hal.55-56

DAFTAR PUSTAKA

        Muhammad Abu Hamid Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Darul Kutub ‘Ilmiah, Beirut Lebanon, 2005.
Muhammad Abu Hamid Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Al-Ghozali Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah, Huququth at-Thob’i, 1993
Sudarsono, Filsafat Islam, Renika Cipta, Jakarta, 2004.
WWW.WALIJO.COM© 2010.
http://www.ukm.my/nun/prosiding%20atas%20talian.htm.
http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/.









       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar